Senin, 25 Mei 2020

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!



Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, semestinya kami lalui dengan berkumpul di Bulukumba; tanah kelahiran suami. Kami telah mengatur jadwal gilir-bergilir antara kampung saya, dan suami secara bergantian setiap tahunnya. Namun apalah daya, lebaran musim sekarang dilalui dengan cara berbeda; tidak pulang kampung. Segala hal dikembalikan ke rumah. Termasuk rindu berkumpul dan merasakan nasu likku' ibu mertua (untuk urusan masak-memasak beliau sungguh ahlinya), tertunda. Saya kurang pandai memasak makanan satu ini, bersyukur orang-orang di rumah tetap semangat menikmati olahan ayam saya meski hanya dibumbui bawang dan kecap.

Ini pun kali pertama, saya membikin ketupat dan burasa sendiri. Menjemur daun pisang, memeras santan, dan menanak beras sampai setengah matang, membungkusnya dengan lembaran daun pisang yang sudah diukur sedemikian rupa, sampai mengikat hasil burasa tersebut dengan tali rumput jepang, saya lakukan sendiri. Memasak makanan ini, di atas perapian susunan batu bata dan bara kayu bakar di halaman, membuat aroma kampung jelang lebaran menyala-nyala. Apatah lagi, diiringi suara takbiran dari masjid yang pagarnya berhadapan langsung dengan rumah kami. Sungguh terasa syahdu. Saya tidak ingin galau, saya telah berikhtiar akan membuat suasana lebaran dari kampung pindah ke rumah kami.


Di sela-sela menunggui ketupat dan burasa matang, Za dan Ken berlarian di halaman. Telapak tangan sampai siku, pun betis bertotol-totol hitam karena membongkar-bongkar potongan kayu bakar yang separuhnya telah dingin menjadi arang. Tidak sebatas itu, mereka melanjutkan bermain tanah liat sepuasnya, sampai baju yang dipakai berubah kecokelatan. Kebetulan, kemarin hujan seharian sehingga tanah di sekeliling kediaman kami menjadi lunak. Saya membiarkan anak-anak melakukan apa saja di halaman selagi itu tidak membahayakan dirinya. Toh, masa kanak-kanak saya di kampung ibu dahulu demikian juga. Menyongsong lebaran, para perempuan dewasa menyiapkan aneka makanan khas di dapur kayu. Para laki-laki memotong kayu bakar dan menjaga perapian tetap menyala, sementara anak-anak berkumpul di kolong rumah, membuat kuda-kudaan dan senapan dari tulang daun pisang, dan bola-bola kecil dari anyaman daun kelapa lalu dijadikan alat bermain perang-perangan, sambil sesekali saling melempar kaki lawan yang berlari kencang bersama kuda-kudaannya. Malamnya, orang tua dan anak-anak akan menunggui panganan lebaran masak, dengan membakar kembang api yang biasanya diperoleh melalui keluarga dari kota yang mudik. Sering pula, famili yang berkumpul adu kepandaian bermain domino ditemani kepulan kopi hitam di hadapan masing-masing, tak lupa ada rebusan singkong dan cobekan terasi.

Semalam, saya menyeduh kopi. Saya berencana keluar kompleks membeli kembang api, untuk menghabiskan malam takbiran menyenangkan bersama anak-anak. Meski merayakan lebaran di kota, Za dan Ken akan saya giring merasai gegap-gempita malam lebaran, sebagaimana saya biasanya di kampung. Namun, sebelum saya menstarter motor, Ken merengek minta ditidurkan. Tidak berselang lama, Za juga menyusul pulas. Bermain kembang api malam itu gagal. Meski begitu, saya tetap senang. Dari pagi, sampai jelang Magrib, Za dan Ken telah melalui banyak hal yang “ajaib”. Kondisi tidak biasa yang dirasakan Za ini, membuatnya bertanya-tanya pada saya.

"Wooww, Mama, kenapa makanan enaknya sangat banyak?

"Karena besok lebaran, Nak!"

"Apa lebaran itu, Mama?"

"Lebaran itu garis finisnya orang berpuasa..."

"Haaa.... Seperti balapan yah?"

"Iya, puasa kan orang-orang balapan berbuat baik. Nah, lebaran itu garis finisnya."

"Makanan-makanan enak ini hadiahnya, yah?"

"Iya....itu hadiahnya!"

"Oooo begitu, tapi Mama, aku tidak pukul-pukul adek Ken. Aku baikkan?"

"Hahahaha....iya. Za, kakak yang baik. Boleh dapat hadiah makanan enak!"

"Horeeee....." Teriaknya, sukacita.

Jujur, “manusia” saya sungguh sebenar-benarnya juga berontak. Sebentuk penolakan terhadap banyak hal yang tidak bisa dan biasa saat lebaran, semisal membeli baju baru dan mengenakannya sambil berfoto keluarga, melakukan salat idulfitri bersama di lapangan, sembari menyaksikan anak-anak kecil berkejaran dengan menggenggam balon-balon gas karakter kartun andalan, bersama rekan sebayanya. Pun berziarah ke rumah kerabat sambil menerobos ke meja makan menyicipi hidangan lebaran yang beraneka rupa, dan tangan tak berhenti merogoh stoples-stoples yang ditumpuki kue-kue kering. Sungguh, ini memantik kerinduan untuk pulang. Pergolakan batin ini, dianalogikan Buya Hamka seperti perang. Yakni perang yang hebat dalam rohani manusia. Jika ia menang, akan didapati orang yang tulus ikhlas, luas pikiran, sabar dan tenang hati. Jika ia kalah, akan didapati orang yang putus asa, sesat, lemah hati, kecil perasaan dan bahkan kadang-kadang hilang kepercayaan pada diri sendiri.

Karena ingin memenangkan peperangan, saya mulai belajar berdamai dengan kondisi. Seperti “melepaskan” kebahagiaan kecil untuk “mendapatkan” sejatinya bahagia. Lebaran di depan mata, tidak semestinya diratapi dengan air mata. Saya memencilkan berontak itu dengan menengok Za dan Ken bermain riang, tanpa beban berlarian, meski dikerangkeng sebatas pekarangan rumah saja. Kemudian, saya membuat simpulan, ihwal ini menggiring kita kembali “menjadi” kanak-kanak yang tulus mencinta. Sebuah keadaan yang senantiasa membuka diri pada hal-hal yang baru, mengecilkan buruk sangka pada setiap situasi yang beralih, dan tetap membesarkan senyuman dalam peristiwa-peristiwa kecil yang oleh orang dewasa dilihat biasa saja. Buya Hamka menimpali, “ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil, senyum yang sebenarnya senyum, senyum yang tidak disertai apa-apa.” Mari, berlebaran dengan senyuman yang demikian ini.

Jika hakikat lebaran adalah semisal menang balapan berbuat baik di mata Za. Maka, saya pun mengambil anutan. Setidaknya, dengan menangguhkan mudik, tidak bergerombol di pusat perbelanjaan demi memperoleh baju baru, salat di rumah saja, membatasi silaturahmi secara fisik, dan bersunyi-sunyi di rumah tanpa dikunjungi siapa pun, sementara masih ada yang lain tetap melakukannya, maka itulah sebentuk “kemenangan” saya. Karena demikian, saya pun berhak mendapatkan piala bahagia dan makanan enak.

Lebaran sekarang, walau senjang tetap memberi jalan pulang. Pergi melakukan perjalanan pada sebuah ‘kampung” paling hening. Di tempat itu, ambisi ditekuk, tunduk dan geming. Semua hasrat diredam diam-diam. Kampung itu bernama “jiwa”. Tahun ini, pulang dan berlebaran di sana adalah kesempatan emas. Sebab di tahun-tahun sebelumnya, telah banyak waktu terhabiskan pulang kampung. Bersilaturahmi bersama keluarga, saling melarung maaf, dan berjabat tangan, tetapi setelah kenyang dan libur lebaran habis, kemudian kembali ke tempat masing-masing, lalu saling “menyakiti” lagi. Lebaran semisal ini sudah biasa, selalu dihabiskan dengan “tetapi” seperti “pura-pura” karena “manusia” ini yang masih terombang-ambing.

Jika lebaran selalu mendesak orang-orang pulang, ayo “pulang”, berlebaran tanpa tetapi! Meninggalkan kebahagiaan biasa, untuk memenangkan kebahagiaan luar biasa.

Makassar, 24-25 Mei 2020

NB: Nasu Likku' (Olahan daging ayam khas Bugis Makassar dengan rempah utama lengkuas), Burasa' (Santapan lebaran  masyarakat Bugis Makassar yang terbuat dari beras dan santan setengah masak yang dibungkus daun pisang, direkatkan dengan tali lalu direbus sampai masak)

Sumber gambar https://geotimes.co.id/opini/hanya-untuk-satu-kata-pulang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...