Seminggu jelang
lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami
bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, semestinya kami lalui dengan
berkumpul di Bulukumba; tanah kelahiran suami. Kami telah mengatur jadwal
gilir-bergilir antara kampung saya, dan suami secara bergantian setiap tahunnya.
Namun apalah daya, lebaran musim sekarang dilalui dengan cara berbeda; tidak
pulang kampung. Segala hal dikembalikan ke rumah. Termasuk rindu berkumpul dan
merasakan nasu likku' ibu mertua
(untuk urusan masak-memasak beliau sungguh ahlinya), tertunda. Saya kurang
pandai memasak makanan satu ini, bersyukur orang-orang di rumah tetap semangat
menikmati olahan ayam saya meski hanya dibumbui bawang dan kecap.
Ini pun kali
pertama, saya membikin ketupat dan burasa
sendiri. Menjemur daun pisang, memeras santan, dan menanak beras sampai
setengah matang, membungkusnya dengan lembaran daun pisang yang sudah diukur
sedemikian rupa, sampai mengikat hasil burasa
tersebut dengan tali rumput jepang, saya lakukan sendiri. Memasak makanan ini,
di atas perapian susunan batu bata dan bara kayu bakar di halaman, membuat
aroma kampung jelang lebaran menyala-nyala. Apatah lagi, diiringi suara
takbiran dari masjid yang pagarnya berhadapan langsung dengan rumah kami.
Sungguh terasa syahdu. Saya tidak ingin galau, saya telah berikhtiar akan
membuat suasana lebaran dari kampung pindah ke rumah kami.
Di sela-sela
menunggui ketupat dan burasa matang,
Za dan Ken berlarian di halaman. Telapak tangan sampai siku, pun betis
bertotol-totol hitam karena membongkar-bongkar potongan kayu bakar yang separuhnya
telah dingin menjadi arang. Tidak sebatas itu, mereka melanjutkan bermain tanah
liat sepuasnya, sampai baju yang dipakai berubah kecokelatan. Kebetulan,
kemarin hujan seharian sehingga tanah di sekeliling kediaman kami menjadi
lunak. Saya membiarkan anak-anak melakukan apa saja di halaman selagi itu tidak
membahayakan dirinya. Toh, masa
kanak-kanak saya di kampung ibu dahulu demikian juga. Menyongsong lebaran, para
perempuan dewasa menyiapkan aneka makanan khas di dapur kayu. Para laki-laki
memotong kayu bakar dan menjaga perapian tetap menyala, sementara anak-anak
berkumpul di kolong rumah, membuat kuda-kudaan dan senapan dari tulang daun
pisang, dan bola-bola kecil dari anyaman daun kelapa lalu dijadikan alat
bermain perang-perangan, sambil sesekali saling melempar kaki lawan yang
berlari kencang bersama kuda-kudaannya. Malamnya, orang tua dan anak-anak akan
menunggui panganan lebaran masak, dengan membakar kembang api yang biasanya
diperoleh melalui keluarga dari kota yang mudik. Sering pula, famili yang
berkumpul adu kepandaian bermain domino ditemani kepulan kopi hitam di hadapan
masing-masing, tak lupa ada rebusan singkong dan cobekan terasi.
Semalam, saya
menyeduh kopi. Saya berencana keluar kompleks membeli kembang api, untuk
menghabiskan malam takbiran menyenangkan bersama anak-anak. Meski merayakan
lebaran di kota, Za dan Ken akan saya giring merasai gegap-gempita malam
lebaran, sebagaimana saya biasanya di kampung. Namun, sebelum saya menstarter
motor, Ken merengek minta ditidurkan. Tidak berselang lama, Za juga menyusul
pulas. Bermain kembang api malam itu gagal. Meski begitu, saya tetap senang.
Dari pagi, sampai jelang Magrib, Za dan Ken telah melalui banyak hal yang “ajaib”.
Kondisi tidak biasa yang dirasakan Za ini, membuatnya bertanya-tanya pada saya.
"Wooww, Mama, kenapa makanan enaknya
sangat banyak?
"Karena
besok lebaran, Nak!"
"Apa
lebaran itu, Mama?"
"Lebaran
itu garis finisnya orang berpuasa..."
"Haaa....
Seperti balapan yah?"
"Iya, puasa
kan orang-orang balapan berbuat baik. Nah,
lebaran itu garis finisnya."
"Makanan-makanan
enak ini hadiahnya, yah?"
"Iya....itu
hadiahnya!"
"Oooo
begitu, tapi Mama, aku tidak pukul-pukul adek Ken. Aku baikkan?"
"Hahahaha....iya.
Za, kakak yang baik. Boleh dapat hadiah makanan enak!"
"Horeeee....."
Teriaknya, sukacita.
Jujur, “manusia”
saya sungguh sebenar-benarnya juga berontak. Sebentuk penolakan terhadap banyak
hal yang tidak bisa dan biasa saat lebaran, semisal membeli baju baru dan
mengenakannya sambil berfoto keluarga, melakukan salat idulfitri bersama di
lapangan, sembari menyaksikan anak-anak kecil berkejaran dengan menggenggam
balon-balon gas karakter kartun andalan, bersama rekan sebayanya. Pun berziarah
ke rumah kerabat sambil menerobos ke meja makan menyicipi hidangan lebaran yang
beraneka rupa, dan tangan tak berhenti merogoh stoples-stoples yang ditumpuki
kue-kue kering. Sungguh, ini memantik kerinduan untuk pulang. Pergolakan batin
ini, dianalogikan Buya Hamka seperti perang. Yakni perang yang hebat dalam
rohani manusia. Jika ia menang, akan didapati orang yang tulus ikhlas, luas
pikiran, sabar dan tenang hati. Jika ia kalah, akan didapati orang yang putus
asa, sesat, lemah hati, kecil perasaan dan bahkan kadang-kadang hilang
kepercayaan pada diri sendiri.
Karena ingin
memenangkan peperangan, saya mulai belajar berdamai dengan kondisi. Seperti “melepaskan”
kebahagiaan kecil untuk “mendapatkan” sejatinya bahagia. Lebaran di depan mata,
tidak semestinya diratapi dengan air mata. Saya memencilkan berontak itu dengan
menengok Za dan Ken bermain riang, tanpa beban berlarian, meski dikerangkeng
sebatas pekarangan rumah saja. Kemudian, saya membuat simpulan, ihwal ini
menggiring kita kembali “menjadi” kanak-kanak yang tulus mencinta. Sebuah keadaan
yang senantiasa membuka diri pada hal-hal yang baru, mengecilkan buruk sangka
pada setiap situasi yang beralih, dan tetap membesarkan senyuman dalam peristiwa-peristiwa
kecil yang oleh orang dewasa dilihat biasa saja. Buya Hamka menimpali, “ikhlas
dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil, senyum yang sebenarnya
senyum, senyum yang tidak disertai apa-apa.” Mari, berlebaran dengan senyuman
yang demikian ini.
Jika hakikat
lebaran adalah semisal menang balapan berbuat baik di mata Za. Maka, saya pun
mengambil anutan. Setidaknya, dengan menangguhkan mudik, tidak bergerombol di
pusat perbelanjaan demi memperoleh baju baru, salat di rumah saja, membatasi
silaturahmi secara fisik, dan bersunyi-sunyi di rumah tanpa dikunjungi siapa
pun, sementara masih ada yang lain tetap melakukannya, maka itulah sebentuk “kemenangan”
saya. Karena demikian, saya pun berhak mendapatkan piala bahagia dan makanan
enak.
Lebaran sekarang,
walau senjang tetap memberi jalan pulang. Pergi melakukan perjalanan pada
sebuah ‘kampung” paling hening. Di tempat itu, ambisi ditekuk, tunduk dan geming.
Semua hasrat diredam diam-diam. Kampung itu bernama “jiwa”. Tahun ini, pulang
dan berlebaran di sana adalah kesempatan emas. Sebab di tahun-tahun sebelumnya,
telah banyak waktu terhabiskan pulang kampung. Bersilaturahmi bersama keluarga,
saling melarung maaf, dan berjabat tangan, tetapi setelah kenyang dan libur
lebaran habis, kemudian kembali ke tempat masing-masing, lalu saling “menyakiti”
lagi. Lebaran semisal ini sudah biasa, selalu dihabiskan dengan “tetapi” seperti
“pura-pura” karena “manusia” ini yang masih terombang-ambing.
Jika lebaran
selalu mendesak orang-orang pulang, ayo “pulang”, berlebaran tanpa tetapi!
Meninggalkan kebahagiaan biasa, untuk memenangkan kebahagiaan luar biasa.
Makassar, 24-25
Mei 2020
NB: Nasu Likku' (Olahan daging ayam khas Bugis Makassar dengan rempah utama lengkuas), Burasa' (Santapan lebaran masyarakat Bugis Makassar yang terbuat dari beras dan santan setengah masak yang dibungkus daun pisang, direkatkan dengan tali lalu direbus sampai masak)
NB: Nasu Likku' (Olahan daging ayam khas Bugis Makassar dengan rempah utama lengkuas), Burasa' (Santapan lebaran masyarakat Bugis Makassar yang terbuat dari beras dan santan setengah masak yang dibungkus daun pisang, direkatkan dengan tali lalu direbus sampai masak)
Sumber gambar https://geotimes.co.id/opini/hanya-untuk-satu-kata-pulang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar