Seminggu jelang
lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami
bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, semestinya kami lalui dengan
berkumpul di Bulukumba; tanah kelahiran suami. Kami telah mengatur jadwal
gilir-bergilir antara kampung saya, dan suami secara bergantian setiap tahunnya.
Namun apalah daya, lebaran musim sekarang dilalui dengan cara berbeda; tidak
pulang kampung. Segala hal dikembalikan ke rumah. Termasuk rindu berkumpul dan
merasakan nasu likku' ibu mertua
(untuk urusan masak-memasak beliau sungguh ahlinya), tertunda. Saya kurang
pandai memasak makanan satu ini, bersyukur orang-orang di rumah tetap semangat
menikmati olahan ayam saya meski hanya dibumbui bawang dan kecap.
Ini pun kali
pertama, saya membikin ketupat dan burasa
sendiri. Menjemur daun pisang, memeras santan, dan menanak beras sampai
setengah matang, membungkusnya dengan lembaran daun pisang yang sudah diukur
sedemikian rupa, sampai mengikat hasil burasa
tersebut dengan tali rumput jepang, saya lakukan sendiri. Memasak makanan ini,
di atas perapian susunan batu bata dan bara kayu bakar di halaman, membuat
aroma kampung jelang lebaran menyala-nyala. Apatah lagi, diiringi suara
takbiran dari masjid yang pagarnya berhadapan langsung dengan rumah kami.
Sungguh terasa syahdu. Saya tidak ingin galau, saya telah berikhtiar akan
membuat suasana lebaran dari kampung pindah ke rumah kami.