Jumat, 22 Juni 2018

JALAN SUNYI SEORANG GURU

Kata guru, memiliki definisi demikian luas. Orang-orang India, Cina, dan Mesir memosisikan guru sebagaimana imam/ orang yang demikian dihormati. Ucapan dan tindakan mereka dijadikan rujukan dalam keseharian masyarakatnya. Penganut agama Hindu bahkan mengumpamakan guru sebagai sebuah kuil berisi pengetahuan sebagai panduan spiritual/ kejiwaan pengikutnya. Ini hampir sama oleh pengikut ajaran Budha, mereka memandang guru sebagai titisan dewa demi mengarahkan pada jalan kebenaran. Secara garis besar, guru disamakan sebagai sebuah simbolitas kenenaran dan keagungan. Karena itu, keberadaan mereka adalah meluruskan kesalahan, dan menjaga poros kebenaran.


Dalam keseharian,  saya seringkali teringat perkataan seorang kawan, bahwa guru bukan sebuah pekerjaan melainkan panggilan hati. Sebab manusia pada dasarnya berasal dari kebenaran manunggal, lantaran itulah telah tersemat tugas-tugas keguruan sebagai pondasi dasar manusia dalam memperjuangkan kebenaran tersebut. Beraktivitas di sekolah, mendampingi tumbuh kembang dan belajar anak-anak, merupakan bonus agar “guru” dalam diri manusia menemukan banyak variasi menyempurna. Hanya saja, belakangan ini kata guru seolah terjebak pada kerumitan administrasi dan membuatnya diartikan sempit. Bahwa guru haruslah yang mengajar di sekolah, punya gelar kesarjanaan, punya Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), berlomba-lomba ikut sertifikasi, serta diasupi gaji/ tunjangan. Akibatnya, menjadi guru bukan lagi ajakan jiwa, melainkan sekadar menggugurkan kewajiban di sekolah, demi awal bulan terima gaji penuh. (Kalimat terakhir ini, anggap saja saya sedang curhat)

Melalui catatan sederhana ini, saya sedang belajar menjadi guru. Karena saat ini saya adalah teman belajar anak-anak usia dini pada sebuah sekolah Taman Kanak-kanak (TK) sederhana di pinggiran kota Makassar. Banyak yang mengatakan, mengajar di TK sungguh rumit dan butuh kesabaran berlipat. Saya membenarkan itu! Anak-anak di usia 4-6 tahun adalah makhluk unik yang memiliki banyak kejutan dan jebakan. Jika tidak sabar, hal yang seharusnya menjadi kejutan, bisa saja berbuah jebakan yang merugikan anak, dan guru. Maka, menyelaminya, tidak membutuhkan rumus kecepatan cahaya yang ditemukan Enstein, tetapi lebih dari itu. Apatah lagi, jika di hadapan berjejal banyak anak dengan kecerdasan yang berbeda-beda. Rumit bukan? Tetapi cobalah dahulu, ini sungguh mengasyikkan dan penuh tantangan.


“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Sengaja saya mengutip surah Al-Nahl ayat 125 sebagai penegasan. Kami menyederhanakannya pada ungkapan “Gaya mengajar guru, mengikuti gaya belajar anak”, demikian cara kami mengurai kerumitan yang dirumitkan. Anak-anak belajar dengan gaya suka-suka semisal di halaman atau di ayunan, bahkan melantai dan tiduran pun boleh. Toh, mereka memang masih anak-anak yang harus dinutrisi dengan bermain. Di tempat ini, anak-anak dan guru bergaul seperti kakak adik yang saling mengasihi dan menghormati, serta sepasang sahabat tempat membuang gelisah. Tak sedikit di antara mereka lebih terbuka bercerita hal-hal pribadinya kepada guru dari orang tua sendiri. Aspek kognitif bukanlah menjadi buruan di sekolah, melainkan pembenahan afektif yang dimulai dengan membetahkan anak-anak belajar, lalu mencontohkan/ membiasakan perbuatan-perbuatan baik sederhana, dan ujungnya tanpa diminta, merekalah yang menemukan jalannya belajar huruf, angka, serta baca tulis. Inilah yang saya maksud kejutan, sekaligus bonus bagi mereka. (Bukankah, hanya Dialah yang tahu orang-orang yang mendapat petunjuk?)

Karena memberlakukan cara demikian, kami kadang dianggap “gila”/ keluar dari kebiasaan sebuah sekolah. Tetapi ini bukan masalah, justru ada sebuah jalan yang hendak dibuat dengan cara tersebut untuk mengembalikan “kebenaran” pada porosnya. Di tolak khalayak, kadang membuat semangat luruh, dan melontarkan ke jalan kesunyian. Itu manusiawi, namun jauh di kedalaman jiwa bahwa kebenaran memanglah senantiasa beriringan dengan kesunyian. Tetapi ingat, sunyi itu hening, bukan sepi. Bunda Teresa berkata, “Buah keheningan adalah doa. Buah doa adalah iman. Buah iman adalah cinta. Buah cinta adalah pelayanan. Buah pelayanan adalah damai.” Inilah kesunyian, sementara sepi buahnya hanya air mata, penderitaan, dan kebencian.

Menjadi guru, sama halnya menyusun setapak kesunyian. Taruhlah misalnya, saya sebagai guru TK. Setelah minimal setahun sungguh akrab dengan anak-anak, di akhir tahun ajaran haruslah merelakan mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Setelah itu, datang lagi anak-anak lain, kami akrab, lalu berlalu. Momen-momen ini selalu dijalani dengan derai air mata. Anak-anak, sungguh selalu membuat saya menangis, walau jika mereka tersenyum. Dan ini terus berulang dari tahun ke tahun. Jauh di kedalaman hati, ada miris yang mengiris. Sunyi tidak bisa disembunyikan, ketika jiwa saya dan anak-anak itu telah menyatu, lalu terbang jauh, saya memilih keheningan/ menjahui kebisingan. Di sini, diri sebagai guru didaur ulang, dievaluasi, dan diasah terus menurus. Menepi di jalan kesunyian semisal relaksasi memulihkan cidera, yang setiap hari selalu saja ada dari niat berbelok, amarah tak terbendung, pun kesalahan-kesalahan keseharian yang tanpa disadari terekam dalam memori jangka panjang seorang anak. Jika itu berhasil,  kelak akan membuahkan cinta di jalan pengkhidmatan/ pelayanan, meski hanya sekecil-kecilnya. Setelahnya, benar!  Ada damai di kedalaman kalbu. 

Guru bukanlah manusia suci. Bersunyi-sunyi, berarti meluruskan kesalahan pada diri sendiri, barulah orang lain. Karena, guru adalah contoh/ teladan meski dia bukan nabi. Ucapan dan perbuatannya digugu murid-muridnya. Demikianlah seharusnya guru menegakkan kebenaran. “Sebab seorang guru mempengaruhi keabadian; dia tidak pernah tahu dimana pengaruhnya berhenti.” Demikinlah kata Hendry Adams (seorang sejarawan Amerika). Dan “kebenaran” itulah satu-satunya keabadian. 
 
Makassar, 22 Juni 2018


2 komentar:

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...