Kata
guru, memiliki definisi demikian luas. Orang-orang India, Cina, dan Mesir
memosisikan guru sebagaimana imam/ orang yang demikian dihormati. Ucapan dan
tindakan mereka dijadikan rujukan dalam keseharian masyarakatnya. Penganut
agama Hindu bahkan mengumpamakan guru sebagai sebuah kuil berisi pengetahuan
sebagai panduan spiritual/ kejiwaan pengikutnya. Ini hampir sama oleh pengikut
ajaran Budha, mereka memandang guru sebagai titisan dewa demi mengarahkan pada
jalan kebenaran. Secara garis besar, guru disamakan sebagai sebuah simbolitas
kenenaran dan keagungan. Karena itu, keberadaan mereka adalah meluruskan
kesalahan, dan menjaga poros kebenaran.
Dalam keseharian, saya seringkali teringat perkataan seorang kawan, bahwa guru bukan sebuah pekerjaan
melainkan panggilan hati. Sebab manusia pada dasarnya berasal dari kebenaran
manunggal, lantaran itulah telah tersemat tugas-tugas keguruan sebagai pondasi
dasar manusia dalam memperjuangkan kebenaran tersebut. Beraktivitas di sekolah,
mendampingi tumbuh kembang dan belajar anak-anak, merupakan bonus agar “guru”
dalam diri manusia menemukan banyak variasi menyempurna. Hanya saja, belakangan
ini kata guru seolah terjebak pada kerumitan administrasi dan membuatnya diartikan
sempit. Bahwa guru haruslah yang mengajar di sekolah, punya gelar kesarjanaan, punya
Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), berlomba-lomba ikut
sertifikasi, serta diasupi gaji/ tunjangan. Akibatnya, menjadi guru bukan lagi
ajakan jiwa, melainkan sekadar menggugurkan kewajiban di sekolah, demi awal
bulan terima gaji penuh. (Kalimat terakhir ini, anggap saja saya sedang curhat)
Melalui
catatan sederhana ini, saya sedang belajar menjadi guru. Karena saat ini saya
adalah teman belajar anak-anak usia dini pada sebuah sekolah Taman Kanak-kanak (TK)
sederhana di pinggiran kota Makassar. Banyak yang mengatakan, mengajar di TK
sungguh rumit dan butuh kesabaran berlipat. Saya membenarkan itu! Anak-anak di
usia 4-6 tahun adalah makhluk unik yang memiliki banyak kejutan dan jebakan. Jika
tidak sabar, hal yang seharusnya menjadi kejutan, bisa saja berbuah jebakan
yang merugikan anak, dan guru. Maka, menyelaminya, tidak membutuhkan rumus
kecepatan cahaya yang ditemukan Enstein, tetapi lebih dari itu. Apatah lagi,
jika di hadapan berjejal banyak anak dengan kecerdasan yang berbeda-beda. Rumit
bukan? Tetapi cobalah dahulu, ini sungguh mengasyikkan dan penuh tantangan.
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” Sengaja saya mengutip surah Al-Nahl
ayat 125 sebagai penegasan. Kami menyederhanakannya pada ungkapan “Gaya
mengajar guru, mengikuti gaya belajar anak”, demikian cara kami mengurai
kerumitan yang dirumitkan. Anak-anak belajar dengan gaya suka-suka semisal di
halaman atau di ayunan, bahkan melantai dan tiduran pun boleh. Toh, mereka memang masih anak-anak yang
harus dinutrisi dengan bermain. Di tempat ini, anak-anak dan guru bergaul seperti
kakak adik yang saling mengasihi dan menghormati, serta sepasang sahabat tempat
membuang gelisah. Tak sedikit di antara mereka lebih terbuka bercerita hal-hal
pribadinya kepada guru dari orang tua sendiri. Aspek kognitif bukanlah menjadi
buruan di sekolah, melainkan pembenahan afektif yang dimulai dengan membetahkan
anak-anak belajar, lalu mencontohkan/ membiasakan perbuatan-perbuatan baik
sederhana, dan ujungnya tanpa diminta, merekalah yang menemukan jalannya
belajar huruf, angka, serta baca tulis. Inilah yang saya maksud kejutan,
sekaligus bonus bagi mereka. (Bukankah,
hanya Dialah yang tahu orang-orang yang mendapat petunjuk?)
Karena
memberlakukan cara demikian, kami kadang dianggap “gila”/ keluar dari kebiasaan
sebuah sekolah. Tetapi ini bukan masalah, justru ada sebuah jalan yang hendak
dibuat dengan cara tersebut untuk mengembalikan “kebenaran” pada porosnya. Di tolak
khalayak, kadang membuat semangat luruh, dan melontarkan ke jalan kesunyian. Itu
manusiawi, namun jauh di kedalaman jiwa bahwa kebenaran memanglah senantiasa
beriringan dengan kesunyian. Tetapi ingat, sunyi itu hening, bukan sepi. Bunda
Teresa berkata, “Buah keheningan adalah doa. Buah doa adalah iman. Buah iman
adalah cinta. Buah cinta adalah pelayanan. Buah pelayanan adalah damai.” Inilah
kesunyian, sementara sepi buahnya hanya air mata, penderitaan, dan kebencian.
Menjadi
guru, sama halnya menyusun setapak kesunyian. Taruhlah misalnya, saya sebagai
guru TK. Setelah minimal setahun sungguh akrab dengan anak-anak, di akhir tahun
ajaran haruslah merelakan mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Setelah itu, datang lagi anak-anak lain, kami akrab, lalu berlalu. Momen-momen
ini selalu dijalani dengan derai air mata. Anak-anak, sungguh selalu membuat
saya menangis, walau jika mereka tersenyum. Dan ini terus berulang dari tahun
ke tahun. Jauh di kedalaman hati, ada miris yang mengiris. Sunyi tidak bisa
disembunyikan, ketika jiwa saya dan anak-anak itu telah menyatu, lalu terbang
jauh, saya memilih keheningan/ menjahui kebisingan. Di sini, diri sebagai guru
didaur ulang, dievaluasi, dan diasah terus menurus. Menepi di jalan kesunyian semisal
relaksasi memulihkan cidera, yang setiap hari selalu saja ada dari niat
berbelok, amarah tak terbendung, pun kesalahan-kesalahan keseharian yang tanpa
disadari terekam dalam memori jangka panjang seorang anak. Jika itu berhasil, kelak akan
membuahkan cinta di jalan pengkhidmatan/ pelayanan, meski hanya
sekecil-kecilnya. Setelahnya, benar! Ada damai di kedalaman kalbu.
Guru
bukanlah manusia suci. Bersunyi-sunyi, berarti meluruskan kesalahan pada diri
sendiri, barulah orang lain. Karena, guru adalah contoh/ teladan meski dia bukan
nabi. Ucapan dan perbuatannya digugu murid-muridnya. Demikianlah seharusnya
guru menegakkan kebenaran. “Sebab seorang guru mempengaruhi keabadian; dia tidak
pernah tahu dimana pengaruhnya berhenti.” Demikinlah kata Hendry Adams (seorang
sejarawan Amerika). Dan “kebenaran” itulah satu-satunya keabadian.
Makassar,
22 Juni 2018
Sumber gambar lilin:http://www.bluemoon.co.id/images/candle.pdf.jpg)
Wahhh... Keren kakak
BalasHapusTerima kasih,dek. Curhatan tengah malam
BalasHapus