Rabu, 18 Oktober 2017

PEREMPUAN DAN GERAKAN MAHASISWA*

Mengapa Perempuan?

Dewasa ini, kiprah perempuan di ruang publik telah menjamur. Hampir setiap ranah telah terisi dengan jenis kelamin ini. Lihat saja, di ranah perkantoran, ranah politik, pasar, sekolah-sekolah, dan bahkan terminal-terminal bus pun dijamuri perempuan. Dan bukankah seperti inilah yang diperjuangkan para pendahulu kaum perempuan lewat paham dan gerakan feminisme? Yah, hasil yang telah dicapai memang telah terlihat oleh ruang yang tak dilabeli lagi dengan jenis kelamin.

Lantas jika yang diperjuangkan telah tercapai? Telah selesai pulakah yang dicari? Jawabannya bisa “ya”, pun bisa “tidak”. Bergantung pada perencanaan awal terhadap hasil yang ingin dicapai pada saat gerakan itu dimulai. Yang menjadi sulit untuk keluar dari abu-abunya “ya” dan “tidak” adalah banyak perempuan yang bergerak baik secara individu dan kelompok tidak memiliki desain gerakan yang jelas, kerennya gerakan ini biasa dinamai, gerakan setengah hati. Teman-teman saya biasa bilang, gerakan “asal gora-gora” atau “kajili-jili”, maaf!

Mengapa demikian? Lantaran sangat jarang perempuan yang bergerak meletakkan pilihan geraknya pada, pertama, apa masalah utama perempuan? Sebagi landasan ontologinya. Kedua, apa tujuan geraknya dan bagaimana cara mencapainya? Sebagai langkah aksiologinya, dan ketiga, sudahkah gerakan tersebut menganalisis secara jelas sumber atau sebab-sebab masalahnya, lalu menemukan solusinya? Sebagai acuan epistemologinya. Ini yang kadang luput dari analisis kaum perempuan saat mengusung sebuah gerak, maka jangan heran jika sampai waktu kiwari, eksistensi kaum ini selalu saja diusik, dipertanyakan, diperbincangkan, pun selalu diragukan pilihan geraknya dan olah pikirnya. Oleh Viktor Frankl, sang psikiater kebangsaan Austria mewanti-wanti dengan cuitan, “Ketika kita tidak lagi mampu mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri.” Saya menanggapi cuitan ini, bahwa sebelum bergerak, perempuan haruslah menguatkan paradigma geraknya dulu. Ini sebagai penangkal ampuh, agar gerakan tidak setengah hati, dan jauh dari patah hati.

Perempuan dan Gerakan Patah Hati

Pada sekitar abad 17-18 M yang ditengarai sebagai awal munculya gerakan kaum perempuan (gerakan feminisme), yang mengusung isu the second human (manusia kedua). Para perempuan menganggap rumah, semisal jeruji baginya. Di dalam jeruji inilah, mereka mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak, serta setumpuk urusan “pelayanan” lainnya, yang tidak dinilai dengan uang. Sementara, uang bagi kaum perempuan adalah serupa benda ajaib yang dapat menyulap jeruji menjadi panggung hiruk pikuk yang dipenuhi kebebasan dan gelak tawa. Jadi boleh dikata, perempuan awalnya bergerak karena persoalan ekonomi; uang!

Lanjut pada abad 18-19 M, laju gerakan feminism mulai menggugat persoalan hak-hak politik perempuan. Untuk apa perempuan berpolitik? Menurut pelopor gerakan ini, agar perempuan memiliki perwakilan diparlemen sebagai corong menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Nah, jika telah tersampaikan, apa yang akan dilakukan selanjutnya? Boleh jadi yang akan dilakukan adalah bergembira ria! Sebab separuh dari uneg-unegnya telah terbuang di parlemen. Cukupkah? Hemat saya, ini belum cukup. Sebab ruang berpolitik kalau pun telah diisi oleh kaum perempuan, tetapi arus politik tetaplah maskulin. Jika demikan, perempuan pun tetaplah akan menjadi the second human.

Lalu, jelmaan selanjutnya gerakan perempuan tidak lagi melulu pada isu-isu politik dan ekonomi, melainkan berbalik pada persoalan multikulturalisme. Separuh yang dibincang dalam hal ini adalah identitas kaum perempuan. Disinilah perempuan dibedah secara vulgar, termasuk hak perempuan atas tubuhnya. Sebagai contoh, tubuh bukan lagi milik pribadi perempuan, sebab di hadapan banyak orang -utamanya laki-laki- tubuh perempuan harus ditutup dan didisiplinkan dengan tatakrama tertentu jika ingin selamat. Demikian pula perihal akses pendidikan perempuan yang telah dibuka selebar-lebarnya, namun, hanya sedikit perempuan yang setelah sekolah, sukses menyeimbangkan karir dan fitrah dirinya sebagai perempuan dalam keluarga. Karena jika itu tidak berjalan selaras, perempuan dilihat gagal. Sungguh, ini telah lepas dari kejaran dan kajian para feminis.

Dari sekilas pembahasan di atas, adakah yang benar-benar berhasil? Jawablah, tidak? Sebab saya ingin mengatakan bahwa gerakan perempuan selama ini yang begitu menggebu adalah sebentuk gerakan patah hati saja. Sebagaimana seorang insan yang telah patah hatinya, maka segala jalan akan ditempuhnya untuk menyambung yang patah itu. Bahwa, gerakan perempuan yang sering digaungkan, telah membuat perempuan itu sendiri jauh dari “otentik” dirinya (tidak tahu apa yang diperjuangkan, dan “lupa” apa yang seharusnya dilakukan). Meski begitu, saya tetap percaya, perempuan akan sembuh patahnya jika gerakannya dilandasi paradigma yang mumpuni, dan dimotori oleh orang-orang yang giat belajar. Dan satu-satunya harapan kembalinya perempuan-perempuan revolusioner adalah kampus. Sebab ini adalah tempat berhimpunnya orang-orang yang gemar baca buku, dan kritis pada hal-hal yang menyimpang, semoga!

Godaan Perempuan Millennial, dan  Gerakan Mahasiswa

Kenal dengan Butet Manurung sang aktivis sosial dan pendidikan? Atau Gadis Arivia, Ratna Sarumpaet, Marsinah, Mien Soedarpo (ketua Women’s internasional Club)? Apatah lagi yang dulu-dulu semisal, Shappho sang perempuan penyair, Boadicea sang praiurit perempuan, Murasaki Shikibu sang pengarang novel terpanjang di dunia, Cristina Martha Tiahahu, dan Cut Nyak Dien? Atau yang jauh terdahulu, ialah Asiah, Khadijah, Maryam, dan Fatimah Azzahra? Saya meragu akan hal ini. Kebanyakan dari kita, telah berjarak dengan buku dan baca, kecuali baca status atau cuitan. Dan inilah kunci dari dunia millennial. Kata millennial menjadi begitu familiar akhir-akhir ini, media sosial banyak menulisnya. Karenanya, ini mudah dipahami. Orang-orang yang menyandarkan hidupnya dan menghabiskan waktunya pada kecanggihan teknologi demikianlah dinamai manusia millennial. Pun jika orang-orang tersebut terposisikan sebagai konsumen yang mendominasi pasar, maka istilah millennial saya lekatkan padanya. Dan saya akan mengerucutkan istilah ini khusus pada perempuan.

Dalam pusaran kecanggihan teknologi, saya menjadi heran sebab tidak ada sedikit pun perempuan yang mengusung gerakan untuk menolak dominasi ponsel pintar alias android, misalnya. Padahal jelas-jelas, benda ini telah membuat perempuan gagal fokus pada masalah domestik dan publiknya (orang-orang nyata di sekitarnya). Dalam artian, telah ada sebentuk “kepekaan” yang hilang dari diri perempuan. Sementara “kepekaan” tersebut adalah salah satu anak panah untuk perempuan melesat. Dapat kita saksikan, berapa perbedaan persentase perempuan yang menghabiskan waktunya di mall untuk berbelanja, jalan-jalan, dan nonton dengan mereka yang siap bergabung di forum-forum diskusi, pun organisasi-organisasi. Berapa persentase perempuan yang menghabiskan waktunya di rumah-rumah baca, dibandingkan di rumah-rumah bernyanyi? Bukankah ini adalah sebentuk wabah perempuan millennial? Ini adalah godaaan yang begitu melenakan.

Jika kampus adalah satu-satunya tempat lahirnya perempuan pembaharu, apakah yang seharusnya dilakukan perempuan dalam kampus agar dia tidak dicap millennial? Gampang saja, belarlah giat, dan bergabunglah dalam kegiatan-kegiatan yang mencerdaskan otak. Mungkin saja, sehimpun nama-nama tokoh di atas akan ditemukan lagi dalam buku-buku. Setelah itu, carilah komunitas yang dihuni pecinta pengetahuan, dan tenggelamlah di sana. Lalu, bangunlah, bergeraklah, dan ajak orang-orang di sekitarmu (kampus sebagai akses terdekat) untuk juga bergerak bersamamu. Aristoteles pernah berteori bahwa dalam jiwa manusia terdapat rasio aktif dan rasio pasif. Jika apa yang diketahui hanya bertumpuk dalam batok kepala saja, maka itulah rasio pasif. Maka untuk menjadi aktif, pengetahuan haruslah menjadi pemicu gerak dan tindakan. Atau setidaknya tularkanlah kesadaran bagi orang lain. Dan ini haruslah bersifat konsisten meski kelak telah meninggalkan ruang kampus. Sebab gerak yang tidak dinamis dan bermanfaat, juga kembali akan pasif, sebagaimana rasio.

Dalam sealbum puisigrafi, “Perempuan Dalam Hujan”, Lanang Manggala, bertutur, “Kau ialah betina, kalau cuma tahu soal makan, tidur, bersolek, dan kawin. Banyaklah belajar, berpikirlah besar, rancanglah masa depan, dan pandai-pandailah menempatkan diri, maka kau boleh disebut wanita. Tapi, untuk menjadi perempuan, kau juga harus memiliki kesadaran, ketulusan, dan bisa menjadi tempat untuk berpulang, serta kuat untuk dijadikan pijakan. Hemat saya, perempuanlah yang dibutuhkan mahasiswa untuk bergerak, bukan wanita, apalagi betina!

Makassar, 18 Oktober 2017

* Esai ini disajikan sebagai pengantar diskusi tematik, “Perempuan dan Gerakan Mahasiswa”, oleh BEM UNM, pukul 19.30 wita, 18 Oktober 2017
*Penulis adalah seorang guru taman kanak-kanak yang pernah aktif dalam beberapa organisasi intra dan ekstra kampus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...