Senin, 17 Oktober 2016

Menakar Feminisme (Catatan Retak “Feminisme untuk Pemula”)

Datang kembali ke saya, Gongyla, di sini malam ini,
Anda, mawar saya, dengan kecapi Lydian Anda. 
Ada melayang selamanya di sekitar Anda menyenangkan:
Sebuah keindahan yang diinginkan….
                    
Tahukah siapa pemilik puisi di atas? Sappho, nama yang asing dan nyaris terlupakan dalam dunia kepenyairan. Plato memasukkan wanita kelahiran Yunani Kuno ini ke dalam sepuluh penyair terbesar dunia. Lantas apa yang hebat dari dirinya? Yaitu, dia berani memilih jalan kepenulisan, saat kaumnya tidak peduli dengan persoalan tersebut, dan saat Cleopatra lebih fokus memugar kecantikannya, Sappho menajamkan penanya, lalu menerbitkan karyanya. Dalam buku “Feminisme untuk Pemula” milik Marisa Rueda dan kawan-kawan, Sappho dituliskan sebagai contoh perempuan hebat yang pernah hidup, dan buah pikirnya tanpa diskriminasi.


Selain Shappo, dalam buku ini juga tertulis deretan nama perempuan hebat lainya semisal Boadicea, sang prajurit ratu yang menentang pendudukan Roma atas Inggris. Pun seorang wanita pengarang novel terpanjang pertama asal Jepang (978-1026), Murasaki Shikibu. “The Tale of Genji” dia menamai karyanya. Yang patut dicermati dari Sappho, Boadicea, dan Murasaki adalah landasan gerak mereka yang jauh dari tedensi dan embel-embel feminisme. Lantas, kapan setiap gerak perempuan ditelikung feminisme? Marisa Rueda, menuliskan bahwa feminisme bermula ketika kaum perempuan mulai secara sadar mengorganisir dirinya dalam suatu skala yang cukup besar, dan cukup efektif untuk memperbaiki keadaan mereka.

Apakah Feminisme Itu?

Feminisme oleh Marisa Rueda dan kawan-kawan disebutkan sebagai sebuah perlawanan terhadap pembagian kerja di suatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yang berkuasa dalam ranah publik; pekerjaan, olah raga, perang, dan pemerintahan. Sementara perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah di rumah, dan memikul seluruh beban kehidupan keluarga. Dari definisi ini, terbaca jelas bahwa feminisme yang akan disajikan Marisa, adalah sebentuk pemberontakan perempuan atas kuasa laki-laki. Maka tidak heran, ketika mulai dari awal sampai akhir buku “Feminisme untuk Pemula” tak henti-hentinya menyuarakan perlawanan.

Ini terbaca pada runutan aktivitas perlawanan yang bermula pada zaman feodal saat ruang-ruang domestik publik yang awalnya terjalin harmoni, rusak oleh perkembangan industri yang dinilai memisahkan pekerjaan kaum laki-laki dan perempuan, lalu mendikotomi laki-laki sebagai pencari nafkah, dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Kesenjangan ini terus berlanjut pada zaman pencerahan, dan kaum perempuan memilih bersuara perihal ketidaksetaraan dan penentangan tirani laki-laki dalam rumah tangga. Salah satu tokoh utama yang menyuarakan ini adalah Mary Wollstonecraft (1759-1797). Perempuan kebangsaan Inggris tersebut menulis buku “A Vindication of the Rights of Woman”, yang selanjutnya dijadikan rujukan oleh kaum feminisme modern. Mary, melatar belakangi perlawanannya di rumahnya sendiri. Ayahnya yang seorang pemalas dan pemabuk kerap kali melakukan kekerasan pada ibunya. Dia membenci anak perempuan, dan ibunya adalah tipikal perempuan acuh terhadap kondisi di sekitarnya. Mery, belajar melawan dari keadaan itu, lalu dialah yang memelopori gerakan feminisme awal sekitar abad ke 18.

Dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, Mary tidaklah sendiri. Revolusi Perancis tahun 1789 juga mengundang perlawanan kaum perempuan. Motivasi geraknya adalah kelangkaan bahan makanan, upah, seksualitas, perbudakan, dan kesamaan hak dalam hukum, pemerintahan, dan pendidikan. Di Amerika tahun 1793-1850, berkembang pula gerakan afro Amerika perihal perbudakan perempuan kulit hitam yang dipelopori oleh Sarah Mapp Douglas dan Margaretta Forten.

Isu selanjutnya yang bergulir sekitar tahun 1850-1914 di Inggris adalah pilihan perempuan antara menikah dan kerja. Perempuan yang bekerja merasa merdeka dengan penghasilannya sendiri, sementara yang menikah berasumsi bahwa rumah adalah tempat perlindungan dari kebusukan, kebejatan, dan persaingan yang kejam. Meski pada akhirnya, perempuan yang memilih menikah menyadari bahwa mereka bukan bidadari dalam rumah, melainkan seorang tahanan dalam rumah. Kesadaran inilah yang menjembatani perempuan kulit hitam yang mewakili para pekerja, dan perempuan kulit putih yang lebih banyak memilih menikah melawan dominasi laki-laki. Menurut buku ini, butuh tiga generasi kaum feminis Inggris (generasi perempuan Langham Place, generasi feminism kemurnian sosial, dan generasi serikat sosial dan politik perempuan), untuk mendapatkan sebagian besar hak sipilnya; hak mendapatkan pendidikan, upahnya sendiri, dan hak pilih.
           
Feminisme Sosial dan Ceritanya

Adalah Flora Tristan (1803-1844), seorang gadis yang lahir dari hasil hubungan luar nikah lalu bertemu dengan salah satu partai serikat buruh, dan menulis “The Workers Union”. Dialah yang didaulat sebagai feminis sosial awal, dengan ide emansipasi sosial dan kaum buruh. Gagasan Flora ini disebut sebagai sosialis utopis karena masih berkaitan dengan ide-ide komunitas-komunitas model buruh. Ide Flora selanjutnya banyak diadopsi oleh feminis sosialis Paris selama revolusi 1848

Gerakan feminis sosial banyak terilhami dari model-model gerakan sosial baru yang merebak saat itu. Isu-isu yang diangkat pada masa tersebut adalah kemiskinan dan eksploitasi perempuan. Selain Flora, Friedrich Engel juga merupakan orang yang bersaja dalam perkembangan feminisme sosialis ini. Dia merupakan seorang pendukung berat terpenuhinya hak-hak perempuan. The Origins of the Family, Private Property and the State, karya Engels sebagai bukti untuk menguatkan dukungannya bahwa posisi kaum perempuan tidaklah selalu inferior. Lewat buku ini, Engels melacak subordinasi yang dipaksakan kepada kaum perempuan, semisal menjadikan perkawinan sebagai aliansi antara elit-elit yang saling berperang, dan menentang asumsi bahwa suami memiliki kuasa penuh atas hak-hak istri. Dia mengiritik kontrol akut laki-laki pada  hal-hal yang berkaitan dengan pemingitan dan pengasingan kaum perempuan, pengkultusan keperawanan, dan hukuman mati terhadap perempuan yang berzina.

Ide-ide Engels ini, dianggap menarik oleh salah satu partai sosialis di Jerman. Karena itu, hadirlah Auguste Bebel dengan karyanya “Women Under Socialism”. Dalam buku ini, gagasan Engelslah yang menjadi penopang utamanya.

Bukan hanya Auguste, seorang tokoh perempuan yang bernama Clara Zetkin, juga menjadi penggerak feminisme Jerman. Dia beranggapan bahwa kaum perempuan harus mengorganisir diri dan berjuang demi kebebasan mereka sendiri. Clara menikah dengan seorang revolusioner Rusia bernama Ossip Zetkin, lalu virus-virus feminisme sosialis akhirnya menyebar di Rusia. Kerja sama yang apik para feminis akhirnya memuahkan hasil. Sekitar tahun 1936, Stallin dan Lenin bergandengan tangan mendukung hak-hak perempuan dengan disahkannya tanda jasa keagungan ibu, undang-undang anti aborsi, undang-undang anti perceraian, dan dilarangnya homoseksualitas.

Problematika Feminisme

Di saat gadis-gadis Eropa dan Amerika Utara telah mendapatkan apa yang diperjuangkan oleh feminis terdahulu, semisal hak pendidikan, hak bekerja, maka pada saat itulah feminisme pelan dianggap sebagai sesuatu yang usang. Matinya feminisme ini, melenakan kaum perempuan. Dan tanpa mereka sadari, isu-isu “persaingan” laki-laki dan perempuan mengakut lagi, saat perempuan menjadi sasaran kemarahan karena dianggap “mencuri pekerjaan laki-laki.

Model “balas dendam” para lelaki kali ini dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan media. Kaum perempuan dijadikan sasaran iklan, film, dan psikoanalisis vulgar agar tetap tinggal di rumah dan bahagia menjadi ibu rumah tangga. Ini sebentuk cuci otak bagi kaum perempuan agar para lelaki kembali merebut “lahan” kerjanya yang pernah “dicuri” perempuan.

Seperti sebuah roda sepeda yang terus berputar dan tak pernah selesai. Problematika yang hadir setelah perempuan merasa “menang”, justru menghadirkan masalah baru. perlahan, perempuan yang dulu menjadi tulang punggung feminisme kembali tersadar. Karenanya, bermunculan lah feminis-feminis baru, semisal Simone de Beauvoir dengan buku The Second Sex pada tahun 1949. Pun Rosa Park yang memikul kembali persoalan perempuan yang menyeruak lagi di Amerika mengenai hak-hak perempuan kulit hitam.

Feminisme yang bergulir, juga menggiring kaum perempuan pada identitas ganda antara perkerjaan yang terlanjur digeluti lalu dinikmati, dan rumah yang bernaung di dalamnya suami dan anak-anak. Mereka merasa terperangkap dalam peran sekunder tradisoinal mengurus laki-laki dan berjuang demi merebut perhatian dan persetujuan laki-laki. Argumentasi ini disuarakan oleh para perempuan kiri baru.

Hadirnya Miss Amerika 1968, yang dianggap mengeksploitasi tubuh perempuan, meski sebelumnya para feminis di Amerika dan Eropa memperjuangkan hak-hak publiknya. Juga dianggap tidak layak lagi, dan harus dihentikan. Konsistensi perempuan dalam memperjuangkan haknya, sebagaimana bahasan yang disajikan buku ini terkesan rapuh dan terburu-buru, meski telah dituangkan panjang lebar. Rapuh yang saya maksud, karena ketidakjelasan ideologi gerak yang melandasi para feminis bergerak. Kebanyakan para tokoh yang ditulis, memiliki latar belakang keluarga yang “miris” lalu itulah yang dijadikan modal awal bergerak. Saya melihat, feminisme yang lahir di Eropa, semisal ajang “pelarian” untuk menuntaskan memori masa lalu tokoh feminis yang nyaris kelam. Dan terburu-buru yang dimaksud karena, feminisme yang diperjuangkan seakan tak pernah tuntas, lalu bertunas lagi masalah yang baru. Maka pantas saja, jika feminisme menjelma momok yang menghantui tidur nyenyaknya kaum perempuan. Mungkin sepanjang masa.

Dalam buku ini, maklumat Sappho yang telah di bahas sebelumnya seakan menyata. Bahwa feminisme semisal mawar dan perempuan adalah kecapinya. Seperti sebatang mawar, feminisme pernah subur, namun pada batas waktu tertentu akan melayu. Dan perempuan bagai dawai kecapi yang terus digesek agar berirama. Kadang keras, kadang pula pelan, demikianlah ritme yang datang. Dan mungkin inilah sebuah “keindahan yang diinginkan”?!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...