Datang
kembali ke saya, Gongyla, di sini malam ini,
Anda,
mawar saya, dengan kecapi Lydian Anda.
Ada
melayang selamanya di sekitar Anda menyenangkan:
Sebuah
keindahan yang diinginkan….
Tahukah siapa pemilik puisi di atas?
Sappho, nama yang asing dan nyaris terlupakan dalam dunia kepenyairan. Plato
memasukkan wanita kelahiran Yunani Kuno ini ke dalam sepuluh penyair terbesar
dunia. Lantas apa yang hebat dari dirinya? Yaitu, dia berani memilih jalan
kepenulisan, saat kaumnya tidak peduli dengan persoalan tersebut, dan saat
Cleopatra lebih fokus memugar kecantikannya, Sappho menajamkan penanya, lalu
menerbitkan karyanya. Dalam buku “Feminisme untuk Pemula” milik Marisa Rueda
dan kawan-kawan, Sappho dituliskan sebagai contoh perempuan hebat yang pernah hidup,
dan buah pikirnya tanpa diskriminasi.
Selain Shappo, dalam buku ini juga
tertulis deretan nama perempuan hebat lainya semisal Boadicea, sang prajurit
ratu yang menentang pendudukan Roma atas Inggris. Pun seorang wanita pengarang
novel terpanjang pertama asal Jepang (978-1026), Murasaki Shikibu. “The Tale of
Genji” dia menamai karyanya. Yang patut dicermati dari Sappho, Boadicea, dan
Murasaki adalah landasan gerak mereka yang jauh dari tedensi dan embel-embel
feminisme. Lantas, kapan setiap gerak perempuan ditelikung feminisme? Marisa
Rueda, menuliskan bahwa feminisme bermula ketika kaum perempuan mulai secara
sadar mengorganisir dirinya dalam suatu skala yang cukup besar, dan cukup
efektif untuk memperbaiki keadaan mereka.
Apakah
Feminisme Itu?
Feminisme oleh Marisa Rueda dan
kawan-kawan disebutkan sebagai sebuah perlawanan terhadap pembagian kerja di
suatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yang berkuasa dalam ranah
publik; pekerjaan, olah raga, perang, dan pemerintahan. Sementara perempuan
hanya menjadi pekerja tanpa upah di rumah, dan memikul seluruh beban kehidupan
keluarga. Dari definisi ini, terbaca jelas bahwa feminisme yang akan disajikan
Marisa, adalah sebentuk pemberontakan perempuan atas kuasa laki-laki. Maka
tidak heran, ketika mulai dari awal sampai akhir buku “Feminisme untuk Pemula”
tak henti-hentinya menyuarakan perlawanan.
Ini terbaca pada runutan aktivitas
perlawanan yang bermula pada zaman feodal saat ruang-ruang domestik publik yang
awalnya terjalin harmoni, rusak oleh perkembangan industri yang dinilai memisahkan
pekerjaan kaum laki-laki dan perempuan, lalu mendikotomi laki-laki sebagai
pencari nafkah, dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Kesenjangan ini terus
berlanjut pada zaman pencerahan, dan kaum perempuan memilih bersuara perihal ketidaksetaraan
dan penentangan tirani laki-laki dalam rumah tangga. Salah satu tokoh utama
yang menyuarakan ini adalah Mary Wollstonecraft (1759-1797). Perempuan
kebangsaan Inggris tersebut menulis buku “A Vindication of the Rights of Woman”,
yang selanjutnya dijadikan rujukan oleh kaum feminisme modern. Mary, melatar belakangi
perlawanannya di rumahnya sendiri. Ayahnya yang seorang pemalas dan pemabuk
kerap kali melakukan kekerasan pada ibunya. Dia membenci anak perempuan, dan
ibunya adalah tipikal perempuan acuh terhadap kondisi di sekitarnya. Mery,
belajar melawan dari keadaan itu, lalu dialah yang memelopori gerakan feminisme
awal sekitar abad ke 18.
Dalam memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan, Mary tidaklah sendiri. Revolusi Perancis tahun 1789 juga mengundang
perlawanan kaum perempuan. Motivasi geraknya adalah kelangkaan bahan makanan,
upah, seksualitas, perbudakan, dan kesamaan hak dalam hukum, pemerintahan, dan
pendidikan. Di Amerika tahun 1793-1850, berkembang pula gerakan afro Amerika
perihal perbudakan perempuan kulit hitam yang dipelopori oleh Sarah Mapp
Douglas dan Margaretta Forten.
Isu selanjutnya yang bergulir sekitar
tahun 1850-1914 di Inggris adalah pilihan perempuan antara menikah dan kerja.
Perempuan yang bekerja merasa merdeka dengan penghasilannya sendiri, sementara
yang menikah berasumsi bahwa rumah adalah tempat perlindungan dari kebusukan,
kebejatan, dan persaingan yang kejam. Meski pada akhirnya, perempuan yang
memilih menikah menyadari bahwa mereka bukan bidadari dalam rumah, melainkan
seorang tahanan dalam rumah. Kesadaran inilah yang menjembatani perempuan kulit
hitam yang mewakili para pekerja, dan perempuan kulit putih yang lebih banyak
memilih menikah melawan dominasi laki-laki. Menurut buku ini, butuh tiga
generasi kaum feminis Inggris (generasi perempuan Langham Place, generasi
feminism kemurnian sosial, dan generasi serikat sosial dan politik perempuan),
untuk mendapatkan sebagian besar hak sipilnya; hak mendapatkan pendidikan,
upahnya sendiri, dan hak pilih.
Feminisme
Sosial dan Ceritanya
Adalah Flora Tristan (1803-1844), seorang
gadis yang lahir dari hasil hubungan luar nikah lalu bertemu dengan salah satu
partai serikat buruh, dan menulis “The Workers Union”. Dialah yang didaulat
sebagai feminis sosial awal, dengan ide emansipasi sosial dan kaum buruh.
Gagasan Flora ini disebut sebagai sosialis utopis karena masih berkaitan dengan
ide-ide komunitas-komunitas model buruh. Ide Flora selanjutnya banyak diadopsi
oleh feminis sosialis Paris selama revolusi 1848
Gerakan feminis sosial banyak terilhami
dari model-model gerakan sosial baru yang merebak saat itu. Isu-isu yang
diangkat pada masa tersebut adalah kemiskinan dan eksploitasi perempuan. Selain
Flora, Friedrich Engel juga merupakan orang yang bersaja dalam perkembangan
feminisme sosialis ini. Dia merupakan seorang pendukung berat terpenuhinya
hak-hak perempuan. The Origins of the Family, Private Property and the State,
karya Engels sebagai bukti untuk menguatkan dukungannya bahwa posisi kaum
perempuan tidaklah selalu inferior. Lewat buku ini, Engels melacak subordinasi
yang dipaksakan kepada kaum perempuan, semisal menjadikan perkawinan sebagai aliansi
antara elit-elit yang saling berperang, dan menentang asumsi bahwa suami
memiliki kuasa penuh atas hak-hak istri. Dia mengiritik kontrol akut laki-laki
pada hal-hal yang berkaitan dengan
pemingitan dan pengasingan kaum perempuan, pengkultusan keperawanan, dan
hukuman mati terhadap perempuan yang berzina.
Ide-ide Engels ini, dianggap menarik oleh
salah satu partai sosialis di Jerman. Karena itu, hadirlah Auguste Bebel dengan
karyanya “Women Under Socialism”. Dalam buku ini, gagasan Engelslah yang menjadi
penopang utamanya.
Bukan hanya Auguste, seorang tokoh
perempuan yang bernama Clara Zetkin, juga menjadi penggerak feminisme Jerman.
Dia beranggapan bahwa kaum perempuan harus mengorganisir diri dan berjuang demi
kebebasan mereka sendiri. Clara menikah dengan seorang revolusioner Rusia
bernama Ossip Zetkin, lalu virus-virus feminisme sosialis akhirnya menyebar di
Rusia. Kerja sama yang apik para feminis akhirnya memuahkan hasil. Sekitar
tahun 1936, Stallin dan Lenin bergandengan tangan mendukung hak-hak perempuan
dengan disahkannya tanda jasa keagungan ibu, undang-undang anti aborsi,
undang-undang anti perceraian, dan dilarangnya homoseksualitas.
Problematika
Feminisme
Di saat gadis-gadis Eropa dan Amerika
Utara telah mendapatkan apa yang diperjuangkan oleh feminis terdahulu, semisal
hak pendidikan, hak bekerja, maka pada saat itulah feminisme pelan dianggap
sebagai sesuatu yang usang. Matinya feminisme ini, melenakan kaum perempuan.
Dan tanpa mereka sadari, isu-isu “persaingan” laki-laki dan perempuan mengakut
lagi, saat perempuan menjadi sasaran kemarahan karena dianggap “mencuri
pekerjaan laki-laki.
Model “balas dendam” para lelaki kali
ini dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan media. Kaum perempuan
dijadikan sasaran iklan, film, dan psikoanalisis vulgar agar tetap tinggal di
rumah dan bahagia menjadi ibu rumah tangga. Ini sebentuk cuci otak bagi kaum
perempuan agar para lelaki kembali merebut “lahan” kerjanya yang pernah
“dicuri” perempuan.
Seperti sebuah roda sepeda yang terus
berputar dan tak pernah selesai. Problematika yang hadir setelah perempuan
merasa “menang”, justru menghadirkan masalah baru. perlahan, perempuan yang
dulu menjadi tulang punggung feminisme kembali tersadar. Karenanya, bermunculan
lah feminis-feminis baru, semisal Simone de Beauvoir dengan buku The Second Sex
pada tahun 1949. Pun Rosa Park yang memikul kembali persoalan perempuan yang
menyeruak lagi di Amerika mengenai hak-hak perempuan kulit hitam.
Feminisme yang bergulir, juga menggiring
kaum perempuan pada identitas ganda antara perkerjaan yang terlanjur digeluti
lalu dinikmati, dan rumah yang bernaung di dalamnya suami dan anak-anak. Mereka
merasa terperangkap dalam peran sekunder tradisoinal mengurus laki-laki dan
berjuang demi merebut perhatian dan persetujuan laki-laki. Argumentasi ini
disuarakan oleh para perempuan kiri baru.
Hadirnya Miss Amerika 1968, yang
dianggap mengeksploitasi tubuh perempuan, meski sebelumnya para feminis di
Amerika dan Eropa memperjuangkan hak-hak publiknya. Juga dianggap tidak layak
lagi, dan harus dihentikan. Konsistensi perempuan dalam memperjuangkan haknya,
sebagaimana bahasan yang disajikan buku ini terkesan rapuh dan terburu-buru,
meski telah dituangkan panjang lebar. Rapuh yang saya maksud, karena ketidakjelasan
ideologi gerak yang melandasi para feminis bergerak. Kebanyakan para tokoh yang
ditulis, memiliki latar belakang keluarga yang “miris” lalu itulah yang
dijadikan modal awal bergerak. Saya melihat, feminisme yang lahir di Eropa,
semisal ajang “pelarian” untuk menuntaskan memori masa lalu tokoh feminis yang
nyaris kelam. Dan terburu-buru yang dimaksud karena, feminisme yang
diperjuangkan seakan tak pernah tuntas, lalu bertunas lagi masalah yang baru.
Maka pantas saja, jika feminisme menjelma momok yang menghantui tidur
nyenyaknya kaum perempuan. Mungkin sepanjang masa.
Dalam buku ini, maklumat Sappho yang
telah di bahas sebelumnya seakan menyata. Bahwa feminisme semisal mawar dan
perempuan adalah kecapinya. Seperti sebatang mawar, feminisme pernah subur,
namun pada batas waktu tertentu akan melayu. Dan perempuan bagai dawai kecapi
yang terus digesek agar berirama. Kadang keras, kadang pula pelan, demikianlah
ritme yang datang. Dan mungkin inilah sebuah “keindahan yang diinginkan”?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar