What Is Love
Suatu hari Plato bertanya kepada gurunya, Socrates
tentang makna cinta? Socrates menjawab, “Pergilah ke ladang, petik dan bawalah
setangkai gandum yang paling besar dan paling baik. Tetapi ingat satu hal, kamu
hanya boleh berjalan satu arah. Setelah kamu lewati, kamu tidak boleh kembali
dan kesempatanmu hanya sekali.” Lalu Plato melakukannya. Tetapi dia kembali
dengan tangan kosong. Melihat ini, Socrates bertanya, “Mengapa engkau kembali
dengan tangan kosong?” Plato menjawab, “Aku melihat beberapa gandum yang besar
dan baik saat melewati ladang, tetapi aku berpikir mungkin ada yang lebih besar
dan lebih baik dari yang ini, jadi aku melewatinya saja. Namun ternyata aku
tidak menemukan yang lebih baik dari yang aku temui di awal, akhirnya aku tidak
membawa satu pun.” Socrates lalu menimpali, “Itulah Cinta!”
Cinta semisal sebuah perburu kebaikan. Namun batas
kemampuan manusia mengindrai cinta, selalu terkotak pada perbandingan yang baik,
atau lebih baik. Sebagaimana kisah Plato di atas, ada kalanya perburuan itu
justru berakhir dengan kekosongan karena pencarian tersebut sebatas
mengandalkan mata pada fisikal, dan naluri untuk kepuasan material.
Jika demikian, bagaimanakah cinta di sisi pernikahan? Menurut
hemat saya, pernikahan tetap membutuhkan cinta. Konsep cinta yang bermuar pada
keindahan rasional (keindahan yang tak mampu diindrai), semisal ketulusan,
kelembutan, dan kesabaran. Sebab itu adalah sebentuk cinta yang terus-menerus
menjadi. Ia tidak tergerus oleh usia, dan tak lekang oleh waktu. Lantas apakah
cintalah yang menjadi dasar utama pernikahan? Saya mengutip potongan tulisan
Muhsin Labib, bahwa saling mencintai antar pasangan tidak menentukan keabsahan
nikah, meski sangat berpengaruh pada keharmonisan. Nikah bisa langgeng dengan
kesadaran laki-laki dan perempuan tentang tanggung jawab dan hak masing-masing
sesuai dengan agama dan norma yang dianut kedua belah pihak. Cinta semestinya
menjadi laba kesetiaan dan komitmen mutual, bukan tanda jadi awal hubungan.
Yang perlu digaris bawahi pada pernyataan Muhsin labib
adalah saling mencintai bukanlah penentu keabsahan nikah. Ini boleh dibenarkan
jika melihat fenomena orang-orang “jatuh cinta” masa kini yang telah dijalani
lebih jauh, namun tidak berlanjut pada pernikahan. Boleh dikata, jika cinta
sepenuhnya berbanding lurus dengan pernikahan, maka orang-orang patah hati
niscaya menjadi nihil. Tetapi faktanya tidak demikian. Cinta model begini,
memang tidak dapat diandalkan menjadi corong pernikahan.
Hal selanjutnya, cinta semestinya menjadi laba kesetiaan
dan keharmonisan mutual. Ini menarik. Sebab jika sebuah pernikahan memosisikan
cinta sebagai laba, maka diibaratkan pedagang, ia akan bekerja keras demi
memperoleh laba yang memuaskan. Artinya, jika cinta adalah laba dalam
pernikahan, setiap pasangan pasti berlomba menjaga dan meningkatkan
keharmonisan rumah tangga demi menggunungnya cinta.
What is Marriage
Kisah klasik Plato pun berlanjut. Di hari yang lain, dia
menanyakan pada Socrates tentang makna pernikahan. Socrates lalu menyuruhnya
kembali ke hutan mencari pohon yang paling tebal dan kuat. Syaratnya tetap
sama, tidak boleh kembali dan kesempatan hanya sekali. Plato pun berangkat melaksanakan titah Sang Guru. Tidak berselang
lama, datanglah Ia membawa pohon yang bagus.
“Mengapa engkau membawa pohon itu?” Tanya Socrates.
“Aku melihat beberapa pohon yang bagus dalam perjalanan
di hutan, tapi kali ini aku belajar dari kasus gandum, jadi aku memilih pohon
ini. Karena jika tidak, aku takut kembali dengan tangan kosong lagi. Kurasa
inilah pohon terbaik. Tegas Plato.
Socrates pun berkata, “Itulah makna pernikahan.”
Dalam hal ini, menikah adalah persoalan mengambil
keputusan. Seperti Plato yang memutuskan mengambil sebatang pohon, meski di
sekeliling hutan masih banyak pohon yang lebih bagus. Keputusan yang dimaksud
adalah menemukan pasangan yang tepat, lalu menjadi orang yang tepat. Saya
mengaitkan ini, pada firman tuhan dalam QS. An Nuur ayat 26 bahwa, wanita yang
baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik
pula. Bagi mereka ampunan dan reski yang melimpah (yaitu surga).
Benjamin Franklin berkata, “Buka mata lebar-lebar sebelum
pernikahan, dan setengah tertutup sesudahnya.” Untuk apa membuka mata? Agar
kita kenal calon pasangan, kenal keluarganya, dan orang-orang yang ada di
sekitarnya, pun pada problematika yang melingkupinya. Sebab menikah bukan
persoalan sehari dua hari, melainkan persoalan setahun, lima tahun, bahkan
berpuluh-puluh tahun. Menikah bukan pula melulu antara aku dan kamu, melainkan menyatukan
dua hati, dua keluarga, dua kampung, dua suku, bahkan dua negara yang mungkin
memiliki varian kebiasaan yang berbeda-beda. Lalu untuk apa menutup setengah
mata sesudahnya, karena setelah menikah selalu saja ada “pemeran ketiga” yang
menjadi pemicu konflik rumah tangga. “Pemeran ketiga” itu bisa berupa opini
orang di sekitar, belum ada ketersambungan rasa antara menantu dan mertua, atau
bisa juga persoalan ekonomi. Memilih menutup mata separuhnya, berarti setelah
menikah, memundukkan pandangan dan hati dari tetatrikal “pemeran ketiga” tadi,
akan menjadi pilihan bijak menyiasati keharmonisan rumah tangga. Dalam buku Merriage With Heart (MGH), Elia Daryati
dan Anna Farida, gamblang menuliskan contoh-contoh “pemeran ketiga” ini dalam
memainkan lakonnya, beserta solusi untuk hal tersebut.
Pernikahan itu rumit, saya diplomatis mengatakan
demikian. Tidak seindah Cinderella yang bahagia dengan pangeranya. Kecuali jika
kita hanya ingin bahagia di alam imajinasi. Pada keyataannya, menikah umpama
ujian masuk perguruan tinggi. Ada debaran menanti kelulusan atau kegagalan
dalam menjalaninya. Para penulis buku MWH, mengiyakan hal ini. Mereka menulis,
pernikahan adalah ikatan antar dua manusia yang menghadirkan Allah di
antaranya. Komitmen yang diikrarkan bertautan langsung dengan Sang Pencipta,
pun alam semesta. Sehingga, ada pertanggungjawaban vertikal dan horizontal yang
menanti kita di penghujungnya. Meski demikian, menikah bukan hal yang
menakutkan, maka dari itu segerakanlah, lalu berbahagialah.
Dalam kisah yang tidak asing ini, Plato kembali bertanya
kepada Socrates tentang Kebahagiaan.
“Pergilah melewati taman, petiklah bunga yang paling
cantik, tapi ingat kamu tidak boleh kembali dan kesempatanmu hanya sekali.”
Tantang Socrates
Plato pergi melakukan apa yang diminta, tak lama ia
kembali membawa bunga yang cukup cantik.
Socrates bertanya, “Apakah itu bunga yang paling cantik?”
“Aku melihat bunga ini, lalu aku memetiknya, dan
menyakini ini adalah bunga yang paling cantik. Dalam perjalanan di taman aku
melihat sangat banyak bunga yang cantik, namun aku tetap yakin bunga yang aku
petik adalah yang paling cantik. Dan aku pun membawanya kemari.”
Socrates mafhum, “Itulah kebahagiaan.”
Bahagianya pernikahan, terletak pada rasa syukur kita
pada pasangan masing-masing. Berlapang dada dengan kekurangannya, dan saling
terus belajar pada kelebihan masing-masing. Sejatinya pernikahan, ketika kita
selalu merasa pasangan kitalah yang terbaik dan tak tertandingi. Kalau sudah
begini, apa yang menghalangimu untuk menikah? Cinta? Akh.... janganlah dikau
jadikan dia kambing hitam.
Makassar,
06 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar