Selasa, 06 September 2016

Korelasi Cinta Dan Pernikahan (Belajar dari Buku Merriage With Heart)

What Is Love

Suatu hari Plato bertanya kepada gurunya, Socrates tentang makna cinta? Socrates menjawab, “Pergilah ke ladang, petik dan bawalah setangkai gandum yang paling besar dan paling baik. Tetapi ingat satu hal, kamu hanya boleh berjalan satu arah. Setelah kamu lewati, kamu tidak boleh kembali dan kesempatanmu hanya sekali.” Lalu Plato melakukannya. Tetapi dia kembali dengan tangan kosong. Melihat ini, Socrates bertanya, “Mengapa engkau kembali dengan tangan kosong?” Plato menjawab, “Aku melihat beberapa gandum yang besar dan baik saat melewati ladang, tetapi aku berpikir mungkin ada yang lebih besar dan lebih baik dari yang ini, jadi aku melewatinya saja. Namun ternyata aku tidak menemukan yang lebih baik dari yang aku temui di awal, akhirnya aku tidak membawa satu pun.” Socrates lalu menimpali, “Itulah Cinta!”

Cinta semisal sebuah perburu kebaikan. Namun batas kemampuan manusia mengindrai cinta, selalu terkotak pada perbandingan yang baik, atau lebih baik. Sebagaimana kisah Plato di atas, ada kalanya perburuan itu justru berakhir dengan kekosongan karena pencarian tersebut sebatas mengandalkan mata pada fisikal, dan naluri untuk kepuasan material.
Jika demikian, bagaimanakah cinta di sisi pernikahan? Menurut hemat saya, pernikahan tetap membutuhkan cinta. Konsep cinta yang bermuar pada keindahan rasional (keindahan yang tak mampu diindrai), semisal ketulusan, kelembutan, dan kesabaran. Sebab itu adalah sebentuk cinta yang terus-menerus menjadi. Ia tidak tergerus oleh usia, dan tak lekang oleh waktu. Lantas apakah cintalah yang menjadi dasar utama pernikahan? Saya mengutip potongan tulisan Muhsin Labib, bahwa saling mencintai antar pasangan tidak menentukan keabsahan nikah, meski sangat berpengaruh pada keharmonisan. Nikah bisa langgeng dengan kesadaran laki-laki dan perempuan tentang tanggung jawab dan hak masing-masing sesuai dengan agama dan norma yang dianut kedua belah pihak. Cinta semestinya menjadi laba kesetiaan dan komitmen mutual, bukan tanda jadi awal hubungan.
Yang perlu digaris bawahi pada pernyataan Muhsin labib adalah saling mencintai bukanlah penentu keabsahan nikah. Ini boleh dibenarkan jika melihat fenomena orang-orang “jatuh cinta” masa kini yang telah dijalani lebih jauh, namun tidak berlanjut pada pernikahan. Boleh dikata, jika cinta sepenuhnya berbanding lurus dengan pernikahan, maka orang-orang patah hati niscaya menjadi nihil. Tetapi faktanya tidak demikian. Cinta model begini, memang tidak dapat diandalkan menjadi corong pernikahan.
Hal selanjutnya, cinta semestinya menjadi laba kesetiaan dan keharmonisan mutual. Ini menarik. Sebab jika sebuah pernikahan memosisikan cinta sebagai laba, maka diibaratkan pedagang, ia akan bekerja keras demi memperoleh laba yang memuaskan. Artinya, jika cinta adalah laba dalam pernikahan, setiap pasangan pasti berlomba menjaga dan meningkatkan keharmonisan rumah tangga demi menggunungnya cinta.

What is Marriage

Kisah klasik Plato pun berlanjut. Di hari yang lain, dia menanyakan pada Socrates tentang makna pernikahan. Socrates lalu menyuruhnya kembali ke hutan mencari pohon yang paling tebal dan kuat. Syaratnya tetap sama, tidak boleh kembali dan kesempatan hanya sekali. Plato pun berangkat  melaksanakan titah Sang Guru. Tidak berselang lama, datanglah Ia membawa pohon yang bagus.
“Mengapa engkau membawa pohon itu?” Tanya Socrates.
“Aku melihat beberapa pohon yang bagus dalam perjalanan di hutan, tapi kali ini aku belajar dari kasus gandum, jadi aku memilih pohon ini. Karena jika tidak, aku takut kembali dengan tangan kosong lagi. Kurasa inilah pohon terbaik. Tegas Plato.
Socrates pun berkata, “Itulah makna pernikahan.”
Dalam hal ini, menikah adalah persoalan mengambil keputusan. Seperti Plato yang memutuskan mengambil sebatang pohon, meski di sekeliling hutan masih banyak pohon yang lebih bagus. Keputusan yang dimaksud adalah menemukan pasangan yang tepat, lalu menjadi orang yang tepat. Saya mengaitkan ini, pada firman tuhan dalam QS. An Nuur ayat 26 bahwa, wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula. Bagi mereka ampunan dan reski yang melimpah (yaitu surga).
Benjamin Franklin berkata, “Buka mata lebar-lebar sebelum pernikahan, dan setengah tertutup sesudahnya.” Untuk apa membuka mata? Agar kita kenal calon pasangan, kenal keluarganya, dan orang-orang yang ada di sekitarnya, pun pada problematika yang melingkupinya. Sebab menikah bukan persoalan sehari dua hari, melainkan persoalan setahun, lima tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Menikah bukan pula melulu antara aku dan kamu, melainkan menyatukan dua hati, dua keluarga, dua kampung, dua suku, bahkan dua negara yang mungkin memiliki varian kebiasaan yang berbeda-beda. Lalu untuk apa menutup setengah mata sesudahnya, karena setelah menikah selalu saja ada “pemeran ketiga” yang menjadi pemicu konflik rumah tangga. “Pemeran ketiga” itu bisa berupa opini orang di sekitar, belum ada ketersambungan rasa antara menantu dan mertua, atau bisa juga persoalan ekonomi. Memilih menutup mata separuhnya, berarti setelah menikah, memundukkan pandangan dan hati dari tetatrikal “pemeran ketiga” tadi, akan menjadi pilihan bijak menyiasati keharmonisan rumah tangga. Dalam buku Merriage With Heart (MGH), Elia Daryati dan Anna Farida, gamblang menuliskan contoh-contoh “pemeran ketiga” ini dalam memainkan lakonnya, beserta solusi untuk hal tersebut.
Pernikahan itu rumit, saya diplomatis mengatakan demikian. Tidak seindah Cinderella yang bahagia dengan pangeranya. Kecuali jika kita hanya ingin bahagia di alam imajinasi. Pada keyataannya, menikah umpama ujian masuk perguruan tinggi. Ada debaran menanti kelulusan atau kegagalan dalam menjalaninya. Para penulis buku MWH, mengiyakan hal ini. Mereka menulis, pernikahan adalah ikatan antar dua manusia yang menghadirkan Allah di antaranya. Komitmen yang diikrarkan bertautan langsung dengan Sang Pencipta, pun alam semesta. Sehingga, ada pertanggungjawaban vertikal dan horizontal yang menanti kita di penghujungnya. Meski demikian, menikah bukan hal yang menakutkan, maka dari itu segerakanlah, lalu berbahagialah.
Dalam kisah yang tidak asing ini, Plato kembali bertanya kepada Socrates tentang Kebahagiaan.
“Pergilah melewati taman, petiklah bunga yang paling cantik, tapi ingat kamu tidak boleh kembali dan kesempatanmu hanya sekali.” Tantang Socrates
Plato pergi melakukan apa yang diminta, tak lama ia kembali membawa bunga yang cukup cantik.
Socrates bertanya, “Apakah itu bunga yang paling cantik?”
“Aku melihat bunga ini, lalu aku memetiknya, dan menyakini ini adalah bunga yang paling cantik. Dalam perjalanan di taman aku melihat sangat banyak bunga yang cantik, namun aku tetap yakin bunga yang aku petik adalah yang paling cantik. Dan aku pun membawanya kemari.”
Socrates mafhum, “Itulah kebahagiaan.”
Bahagianya pernikahan, terletak pada rasa syukur kita pada pasangan masing-masing. Berlapang dada dengan kekurangannya, dan saling terus belajar pada kelebihan masing-masing. Sejatinya pernikahan, ketika kita selalu merasa pasangan kitalah yang terbaik dan tak tertandingi. Kalau sudah begini, apa yang menghalangimu untuk menikah? Cinta? Akh.... janganlah dikau jadikan dia kambing hitam.

Makassar, 06 September 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...