Selasa, 07 Juni 2016

ADA KAU DALAM SEBUAH KOL

Menyiapkan hidangan buka puasa di bulan Ramadhan, merupakan hal mengasyikkan yang lain. Saya memilih sebuah kol sebagai bahan utama hidangan. Mengiris-ngirisnya, membuat ingatan juga teriris. Tetiba teringat hampir setiap bulan Ramadhan, stok sayur jenis ini melimpah di rumah. Tentunya itu adalah kiriman seorang tante (tetapi kami memangilnya Ibu) dari kampung. Dia memang adalah seorang pedagang sayur-matur yang tergolong berhasil. Saya malah sering kewalahan menghabiskan kiriman sayur-mayur beliau, dan ujungnya mengasap di dapur tetangga. Begitulah, beliau sengaja melebihkan. Katanya agar saya membagi-bagikannya juga ke kerabat lain, dan tetangga.



Perihal kol tadi, saya membelinya di Daeng Sayur dengan harga melonjak. Inilah yang membuat ingatan saya turut melonjak, karena biasanya saya tidak membeli. Tetapi itu dulu. Ramadhan tahun ini, lemari es kosong dari sayur-mayur termasuk kol. Sebagaimana kosongnya gendang telinga dari suara perempuan paruh baya ini yang biasanya menyapa lewat telpon saat awal ramadhan tiba, atau saat waktu-waktu sahur. Terakhir saya bertemu dengannya, saat saya membawa Za (anak saya) pulang kampung mempertemukannya dengan beliau sebagai balasan atas air matanya yang selalu tumpah, saat mendengar saya terbaring di rumah sakit dan lagi-lagi gagal memberinya cucu. Itu sekitar hampir dua tahun yang lalu. Selebihnya, saya hanya bermadah di depan jasadnya pada pertemuan selanjutnya, lalu di pusaranya saat berziarah.

Benarlah kata seorang penulis, Desi Puspitasari bahwa, tidak ada yang tahu bagaimana kenangan bekerja. Keluar masuk ingatan seenaknya sendiri. Demikianlah  tentangnya merupa pada sebuah kol. Mengapa begitu terkenang, sebab dia adalah orang yang mengasuh saya sejak kelas 6 SD. Dia pulalah yang menyekolahkan hingga tamat universitas. Sejak ibu meninggal, perempuan ini unjuk diri sebagai perwakilan ibu. Dia adalah saudara kandung ibu, jadi mungkin karena ini dia merasa peduli pada saya dan saudara-saudara.

Termasuk manusia langkah di planet bumi, saya mengatakan begitu karena perempuan ini, merangkul saya bagai anak sendiri. Membiayai hidup sepenuh hati, bahkan sudah menikah pun dia masih sering memberi saya uang saku saat pulang kampung. Karena inilah, saya sulit berjarak dengannya meski dalam pikiran. Dia adalah satu kenangan yang sama terangnya dengan ibu. Kali ini, kenangan itu berseliweran dalam ingatan. Pada hal-hal yang berkaitan dengannya, semisal sebuah gelas pemberiannya untuk saya menyeduh kopi dengan takaran pas, dia ada disana. Pada foto wisuda yang menggantung, bayangannya nyata datang berpayah-payah meski mabuk sepanjang perjalanan, demi menghadiri hari penobatan tersebut yang telah lama digadang-gadang. Bahkan pada saat saya tidur pagi, tergiang jelas tegurannya, “Jangan tidur pagi, Nak. Itu mengurangi rezeki, dan tidak baik untuk kesehatan!”

Dia datang, keluar masuk dalam ingatan sedemikian menyala. Saya sulit menghalaunya berbuat demikian oleh banyaknya penanda di sekitar yang seringkali tiba-tiba menariknya datang. “Bukankah memang kenangan selalu tersisa?” benda tak lebih hanya kail pemicu!” Fatwa Devania Anessya. Saya menyanggah, “Bukan hanya benda!” Saya, sedikit protes. Tetapi, memandang sawah, dia ada. Saat melintasi pedesaan, dia memanggil pulang. Menjahit pakaian yang robek oleh saya, dia pun menjelma seutas benang. Mendengar lagu, tentangnya selalu melirik, pada semilir angin doa dan harapannya pada saya, senantiasa terselip. Dan itulah kenangan. Devania melanjutkan, “Selama kenangan itu ada, rasa itu tetap membekas.” Kali ini saya membenarkan, dia jelas membekas, bahkan untuk menghaluskan bekasnya, butuh banyak doa dan air mata.

Berbahagialah dalam dekap-Nya. Ingatan ini utuh merasaimu selalu hidup. Jika bertemu Ibu, titip salam dari saya dan Za, Ibu…

Makassar, 07 Juni 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...