Menyiapkan hidangan
buka puasa di bulan Ramadhan, merupakan hal mengasyikkan yang lain. Saya memilih
sebuah kol sebagai bahan utama hidangan. Mengiris-ngirisnya, membuat ingatan
juga teriris. Tetiba teringat hampir setiap bulan Ramadhan, stok sayur jenis
ini melimpah di rumah. Tentunya itu adalah kiriman seorang tante (tetapi kami
memangilnya Ibu) dari kampung. Dia memang adalah seorang pedagang sayur-matur
yang tergolong berhasil. Saya malah sering kewalahan menghabiskan kiriman
sayur-mayur beliau, dan ujungnya mengasap di dapur tetangga. Begitulah,
beliau sengaja melebihkan. Katanya agar saya membagi-bagikannya juga ke kerabat
lain, dan tetangga.
Perihal kol tadi, saya
membelinya di Daeng Sayur dengan harga melonjak. Inilah yang membuat ingatan
saya turut melonjak, karena biasanya saya tidak membeli. Tetapi itu dulu. Ramadhan
tahun ini, lemari es kosong dari sayur-mayur termasuk kol. Sebagaimana
kosongnya gendang telinga dari suara perempuan paruh baya ini yang biasanya
menyapa lewat telpon saat awal ramadhan tiba, atau saat waktu-waktu sahur. Terakhir
saya bertemu dengannya, saat saya membawa Za (anak saya) pulang kampung mempertemukannya
dengan beliau sebagai balasan atas air matanya yang selalu tumpah, saat
mendengar saya terbaring di rumah sakit dan lagi-lagi gagal memberinya cucu.
Itu sekitar hampir dua tahun yang lalu. Selebihnya, saya hanya bermadah di
depan jasadnya pada pertemuan selanjutnya, lalu di pusaranya saat berziarah.
Benarlah kata seorang
penulis, Desi Puspitasari bahwa, tidak ada yang tahu bagaimana kenangan bekerja. Keluar masuk ingatan seenaknya sendiri. Demikianlah
tentangnya merupa pada sebuah kol. Mengapa
begitu terkenang, sebab dia adalah orang yang mengasuh saya sejak kelas 6 SD. Dia
pulalah yang menyekolahkan hingga tamat universitas. Sejak ibu meninggal,
perempuan ini unjuk diri sebagai perwakilan ibu. Dia adalah saudara kandung
ibu, jadi mungkin karena ini dia merasa peduli pada saya dan saudara-saudara.
Termasuk manusia
langkah di planet bumi, saya mengatakan begitu karena perempuan ini, merangkul
saya bagai anak sendiri. Membiayai hidup sepenuh hati, bahkan sudah menikah pun
dia masih sering memberi saya uang saku saat pulang kampung. Karena inilah,
saya sulit berjarak dengannya meski dalam pikiran. Dia adalah satu kenangan
yang sama terangnya dengan ibu. Kali ini, kenangan itu berseliweran dalam
ingatan. Pada hal-hal yang berkaitan dengannya, semisal sebuah gelas
pemberiannya untuk saya menyeduh kopi dengan takaran pas, dia ada disana. Pada
foto wisuda yang menggantung, bayangannya nyata datang berpayah-payah meski
mabuk sepanjang perjalanan, demi menghadiri hari penobatan tersebut yang telah
lama digadang-gadang. Bahkan pada saat saya tidur pagi, tergiang jelas
tegurannya, “Jangan tidur pagi, Nak. Itu mengurangi rezeki, dan tidak baik
untuk kesehatan!”
Dia datang, keluar masuk
dalam ingatan sedemikian menyala. Saya sulit menghalaunya berbuat demikian oleh
banyaknya penanda di sekitar yang seringkali tiba-tiba menariknya datang. “Bukankah
memang kenangan selalu tersisa?” benda tak lebih hanya kail pemicu!” Fatwa
Devania Anessya. Saya menyanggah, “Bukan hanya benda!” Saya, sedikit protes. Tetapi,
memandang sawah, dia ada. Saat melintasi pedesaan, dia memanggil pulang. Menjahit
pakaian yang robek oleh saya, dia pun menjelma seutas benang. Mendengar lagu,
tentangnya selalu melirik, pada semilir angin doa dan harapannya pada saya,
senantiasa terselip. Dan itulah kenangan. Devania melanjutkan, “Selama kenangan
itu ada, rasa itu tetap membekas.” Kali ini saya membenarkan, dia jelas
membekas, bahkan untuk menghaluskan bekasnya, butuh banyak doa dan air mata.
Berbahagialah dalam
dekap-Nya. Ingatan ini utuh merasaimu selalu hidup. Jika bertemu Ibu, titip
salam dari saya dan Za, Ibu…
Makassar, 07 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar