Rabu, 20 April 2016

Mengintip Emansipasi Baca Tulis Ala Kartini

Tiada yang salah dengan perpedaan dan segala yang kita punya.
Yang salah adalah sudut pandang kita,
Yang membuat kita terpisah.

Bagaimana  Kartini Mengawalinya?

Kutipan di atas mencoba meluruskan pikiran-pikiran miring selama ini yang selalu saja memperhadap-hadapkan posisi perempuan dan laki-laki. Bahwa perbedaan yang ada, entah itu karena alasan nurture (gender) ataukah nature (biologis) bukanlah menjadi penghalang bagi laki-laki dan perempuan untuk bermitra. Setiap kita memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan aktivitas apapun dalam proses pencerahan dan kecemerlangan pikiran. Inilah yang membuat Raden Ajeng Kartini termotivasi untuk melakukan perubahan di kalangan perempuan yang pada saat itu yang sama sekali tidak memikirkan diri dan partisipasinya dalam transformasi sosial (emansipasi). Dalam perjalanannya, terlihat bahwa Kartini tidak pernah menafikan keterlibatan laki-laki sebagai teman seperjuangannya. Ini terbukti pada potongan tulisan dalam bukunya yang terkenal, Habis Gelap Terbitlah Terang, “Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri”.

            R. A. Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879, mengawali emansipasinya, bukan dengan berteriak lantang di jalan melainkan menghabiskan waktunya menulis dan membaca berbagai buku-buku serta artikel yang kebanyakan menggunakan bahasa Belanda. Dari referensi itulah, dia berhasil menerjemahkan dunia luar (selain keraton), dan berkenalan dengan beberapa sabahatnya seperti Ny. Rosa Abendanon. Meski banyak bergelut dengan buku-buku dari Eropa, Kartini tidak menyerap seluruh pemikiran perempuan-perempuan Eropa. Dia bahkan pernah mengirimkan kritiknya melalui surat kepada Ny. Rosa Abendanon bahwa, “sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?”
            Saat usianya 12 tahun, Kartini kecil telah dipingit oleh keluarganya dalam tembok keraton. Namun kondisi ini tidak menyurutkan semangatnya mengisi diri dengan berbagai pengetahuan. Berbeda dengan perempuan-perempuan di sekelilingnya yang saat itu patuh menerima kondisi, Kartini lebih banyak bergelut dalam rutinitas membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda. Tujuannya adalah keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kelebihan dari sosok Kartini adalah kegigihannya membaca dan menulis. Ini membuktikan bahwa seorang dapat melakukan apapun dengan pengetahuan yang dia miliki.
            Selain menulis, Kartini juga mendapat kesempatan  dan dukungan dari Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, suaminya untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Berkat kegigihan Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Menjelmakan Perjuangan Kartini 

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?“ (kutipan perkataan R. A Kartini kepada Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar)
             Emansipasi, sebagaimana kata yang selalu dilekatkan dengan sosok Kartini adalah sebuah kata yang patut dipertimbangkan. Emansipasi bukanlah ikon yang setara dengan menyamai laki-laki atau merebut posisi laki-laki. Lebih lanjut, emansipasi lebih pas disandingkan dengan kata ikut serta atau kemitraan. Harapan dari emansipasi adalah keterlibatan perempuan dalam memikirkan dirinya, khususnya dan bangsa pada umumnya. Salah satu jalan yang ditawarkan Kartini adalah jalur baca tulis sebagai gerbang berpengeahuan.
            Dewasa ini, tradisi menomorduakan perempuan dalam hal menuntut ilmu sudah tidak mumpuni. Sebab laki-laki dan perempuan sama-sama dianugerahi akal untuk menuntun mereka melukis masa depannya. Pengetahuan memang tidak berjenis kelamin, sehingga kita sama-sama dapat berperan di dalamnya. Jika masih ada kaum perempuan yang enggan mengisi dirinya dengan aktivitas-aktivitas mengasah otak, berarti mereka merusaha menafikan akal yang dimilikinya.
            Kita tidak lagi diselimuti kondisi sulit, kecamuk perang kolonial, serta terbatasnya sekolah dan buku-buku, maka dari itu tidak ada alasan lagi untuk berdiam diri tanpa pengetahuan. Telah menjamur berbagai tempat untuk mengasah pengetahuan, baik itu formal maupun non formal. Tinggal kitalah yang memilih akan disandarkan kemana diri ini dan akan di arahkan kemana potensi kita. Jelasnya, camkan dalam diri bahwa setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, dan setiap waktu adalah belajar. Sehingga kita tidak menyekati diri hanya sekedar berjibaku dengan aktivitas-aktivitas formal yang terkesan kaku dan membosankan. Hal seperti ini juga telah dicontohkan Kartini sebagaimana aktivitasnya yang telah dijelaskan di awal pembahasan. Menurut penulis, inilah inti dari emansipasi yang diperjuangkan R. A Kartini, terlepas dari kontroversi tentang asal usulnya dan budaya yang melingkupinya.


2 komentar:

  1. Sepertinya kita membaca sumber yang berbeda :D

    Kalau R. A. Kartini lahir pada tanggal 13 September 1904, dia cuma empat hari dong dan langsung meninggal. Sebab Kartini wafat 17 September 1904, hihihihi....

    Saya punya catatan berbeda di sini: http://kasmanpost.blogspot.co.id/2016/04/kartini-dan-kepentingan-politik-hindia.html

    BalasHapus
  2. Hahahaaaa..... terima kasih masukannya.

    BalasHapus

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...