Tiada yang salah dengan perpedaan dan segala yang kita
punya.
Yang salah adalah sudut pandang kita,
Yang membuat kita terpisah.
Bagaimana Kartini Mengawalinya?
Kutipan di atas mencoba meluruskan
pikiran-pikiran miring selama ini yang selalu saja memperhadap-hadapkan posisi
perempuan dan laki-laki. Bahwa perbedaan yang ada, entah itu karena alasan nurture (gender) ataukah nature (biologis) bukanlah menjadi
penghalang bagi laki-laki dan perempuan untuk bermitra. Setiap kita memiliki
kesempatan yang sama dalam melakukan aktivitas apapun dalam proses pencerahan
dan kecemerlangan pikiran. Inilah yang membuat Raden Ajeng Kartini termotivasi
untuk melakukan perubahan di kalangan perempuan yang pada saat itu yang sama
sekali tidak memikirkan diri dan partisipasinya dalam transformasi sosial
(emansipasi). Dalam perjalanannya, terlihat bahwa Kartini tidak pernah
menafikan keterlibatan laki-laki sebagai teman seperjuangannya. Ini terbukti
pada potongan tulisan dalam bukunya yang terkenal, Habis Gelap Terbitlah
Terang, “Akan lebih banyak lagi yang
saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki
yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai saya juga.
Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan
yang berdiri sendiri”.
R. A. Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879, mengawali
emansipasinya, bukan dengan berteriak lantang di jalan melainkan menghabiskan
waktunya menulis dan membaca berbagai buku-buku serta artikel yang kebanyakan
menggunakan bahasa Belanda. Dari referensi itulah, dia berhasil menerjemahkan
dunia luar (selain keraton), dan berkenalan dengan beberapa sabahatnya seperti
Ny. Rosa Abendanon. Meski banyak bergelut dengan buku-buku dari Eropa, Kartini
tidak menyerap seluruh pemikiran perempuan-perempuan Eropa. Dia bahkan pernah
mengirimkan kritiknya melalui surat kepada Ny. Rosa Abendanon bahwa, “sudah lewat masanya, tadinya kami mengira
bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada
taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa
itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam
masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut
sebagai peradaban?”
Saat usianya 12 tahun, Kartini kecil telah dipingit oleh keluarganya dalam
tembok keraton. Namun kondisi ini tidak menyurutkan semangatnya mengisi diri
dengan berbagai pengetahuan. Berbeda dengan perempuan-perempuan di
sekelilingnya yang saat itu patuh menerima kondisi, Kartini lebih banyak
bergelut dalam rutinitas membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh
Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan
toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu
pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche
Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di
De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja
dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini
menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak
hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku
yang dibaca, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli.
Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van
Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja,
roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman
anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).
Semuanya berbahasa Belanda. Tujuannya adalah keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada
status sosial yang rendah. Kelebihan dari sosok Kartini adalah kegigihannya
membaca dan menulis. Ini membuktikan bahwa seorang dapat melakukan apapun
dengan pengetahuan yang dia miliki.
Selain menulis, Kartini juga mendapat kesempatan dan dukungan dari
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, suaminya untuk mendirikan sekolah
wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau
di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Berkat kegigihan
Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang
pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini
ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Menjelmakan Perjuangan Kartini
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana
hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?“ (kutipan
perkataan R. A Kartini kepada Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar)
Emansipasi, sebagaimana kata yang selalu dilekatkan dengan sosok Kartini adalah
sebuah kata yang patut dipertimbangkan. Emansipasi bukanlah ikon yang setara
dengan menyamai laki-laki atau merebut posisi laki-laki. Lebih lanjut,
emansipasi lebih pas disandingkan dengan kata ikut serta atau kemitraan.
Harapan dari emansipasi adalah keterlibatan perempuan dalam memikirkan dirinya,
khususnya dan bangsa pada umumnya. Salah satu jalan yang ditawarkan Kartini
adalah jalur baca tulis sebagai gerbang berpengeahuan.
Dewasa ini, tradisi menomorduakan perempuan dalam hal menuntut ilmu sudah tidak
mumpuni. Sebab laki-laki dan perempuan sama-sama dianugerahi akal untuk
menuntun mereka melukis masa depannya. Pengetahuan memang tidak berjenis
kelamin, sehingga kita sama-sama dapat berperan di dalamnya. Jika masih ada
kaum perempuan yang enggan mengisi dirinya dengan aktivitas-aktivitas mengasah
otak, berarti mereka merusaha menafikan akal yang dimilikinya.
Kita tidak lagi diselimuti kondisi sulit, kecamuk perang kolonial, serta
terbatasnya sekolah dan buku-buku, maka dari itu tidak ada alasan lagi untuk
berdiam diri tanpa pengetahuan. Telah menjamur berbagai tempat untuk mengasah
pengetahuan, baik itu formal maupun non formal. Tinggal kitalah yang memilih
akan disandarkan kemana diri ini dan akan di arahkan kemana potensi kita.
Jelasnya, camkan dalam diri bahwa setiap tempat adalah sekolah, setiap orang
adalah guru, dan setiap waktu adalah belajar. Sehingga kita tidak menyekati
diri hanya sekedar berjibaku dengan aktivitas-aktivitas formal yang terkesan
kaku dan membosankan. Hal seperti ini juga telah dicontohkan Kartini
sebagaimana aktivitasnya yang telah dijelaskan di awal pembahasan. Menurut
penulis, inilah inti dari emansipasi yang diperjuangkan R. A Kartini, terlepas
dari kontroversi tentang asal usulnya dan budaya yang melingkupinya.
Sepertinya kita membaca sumber yang berbeda :D
BalasHapusKalau R. A. Kartini lahir pada tanggal 13 September 1904, dia cuma empat hari dong dan langsung meninggal. Sebab Kartini wafat 17 September 1904, hihihihi....
Saya punya catatan berbeda di sini: http://kasmanpost.blogspot.co.id/2016/04/kartini-dan-kepentingan-politik-hindia.html
Hahahaaaa..... terima kasih masukannya.
BalasHapus