Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara
untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang
yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga
kreativitas ditimbang-timbang. Kalimat ini pernah ditulis oleh Seno Gumira
Ajidarma dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Seno memasuki ruang sadar manusia, bahwa
menulis bukan hanya menyampirkan huruf-huruf menjalin kata, lalu kalimat.
Tetapi lebih dari itu, menulis seumpama menata sebuah
taman bunga seindah mungkin, agar yang melihatnya bahagia, meski entah siapa.
Berkarya dari menulis, efeknya mengarah langsung
kejiwa yang merupakan tempat makna paling berkesan diabadikan. Olehnya itu, menulis,
utamanya menulis karya sastra semisal puisi membutuhkan pembacaan dan perenungan
sempurna pada hal-hal yang meruang, pun inmateri.
Demikianlah hendaknya Sulhan Yusuf menjelmakan dirinya
dalam buku kumpulan puisi, Air Mata Darah yang diterbitkan oleh Liblitera
Institute bekerjasama dengan Komunitas Boetta
Ilmoe di awal tahun 2015 lalu. Kak Sul, sebagaimana sapaan akrabnya, menarasikan
rasa dan gelisah melalui puisi-puisi realis, singkat, dan filosofis. Realis,
sebab buku ini berisi puisi-puisi yang mengangkat kisah kehidupan dan
pengalaman sehari-hari penulis, pun berkisah tentang teman-teman dan lingkungan
bergaulnya penulis. Singkat, maksudnya, buku ini mencerminkan kepiawaian
penulis memilih dan memilah kata-kata yang pas menarasikan maksud penulis. Walhasil,
dalam buku ini ditemui puisi-puisinya pendek namun padat kata. Filosofis,
karena saya berani mengatakan puisi-puisi gubahan Kak Sul dalam buku ini seolah
sabda Rumi, atau petuah Muhammad Iqbal, sang Maestro sastra yang jauh melesat
ke dalam ruang spiritual manusia. Alasannya, meski menuliskan kehidupan dan
pengalaman sehari-hari penulis, makna batinnya seringkali memerlukan perenungan
panjang untuk dicerna.
Saya mengaitkan dengan kalimat Seno di atas, bahwa
dalam buku tersebut, penggiat literasi kelahiran Banteng ini, berbicara,
berkata, dan menyapa ke khalayak pembaca agar karyanya diinterpretasi dan
diinterupsi. Ada banyak hal yang hendak dinyatakan, semisal gemuruh rasa pada
kemanusian yang teramputasi sebagaimana dalam puisi Bedil. Tentang nasionalisme
pada puisi Benderaku. Atau pun puisi berjudul Bantaeng yang menggelorakan
lokalitas tanah kelahiran penulis.
Tidak hanya itu. Sebagai seorang yang gemar
membelanjakan waktunya pada buku-buku, penulis juga mengulas tentang dunia
literasi yang hendak digempakan. Pun pada buku-buku penulis memiliki impian
menuliskan keabadian. Bukankah seharusnya demikianlah tujuan seorang penulis
menulis? Berkata-kata, lalu menyuguhkan sebuah dunia baru yang entah dimana. Daku teringat kembali/ akan sebuah
penegasan, “Kata Adalah Senjata”/ kata memang bisa jadi awal perjuangan/ dan sekaligus sebagai akhir
pertumpahan. Demikianlah penulis menyatakanya.
Mengapa puisi? Pertanyaan ini pernah penulis dedahkan
pada sebuah forum bincang literasi. Menurutnya, kumpulan puisi semisal buku
karyanya kurang dibincang dan diminati oleh khalayak. Untuk era sekarang, puisi
hanya dipandang sebagai bunga-bunga kutipan, baik yang bertujuan pemanis
ucapan, pun pemanis tulisan. Kak Sul, khawatir pada masa depan puisi, tetapi
beliau tetap mendamaikan kekhawatirannya dengan komitmen terus menulis. Menulis
puisi tentunya. Lalu mengapa menulis puisi? Sebab puisi adalah satu-satunya
cara yang paling indah, impresif, dan paling efektif mendendangkan sesuatu.
Oleh John Dryen dinyatakan sebagai musik yang tersusun rapi. Isaac Newton
menamai puisi sebagai nada yang penuh keaslian dan keselarasan.
Buku kumpulan puisi Air Mata Darah, menurut hemat saya
merangkul makna denotasi dan konotasi. Dari sisi denotasi, buku ini sesungguhnya
membicarakan pengalaman dan perjuangan hidup penulisnya yang mendarahkan air
mata. Namun dari sisi konotasinya, bisa saja Air Mata Darah ditujukan pada
dunia puisi-puisi yang dipunggungi, lalu pelan dilupakan. Ini merupakan
sindiran penulis kepada para pengamputasi
puisi.
Air mata darah yang terdiri dari 170 halaman, memuat 102 puisi dengan beraneka ragam latar
belakang penulis yang kesemuanya bermuara pada perayaan kesadaran. Kak Sul
ingin menjadi pribadi merdeka melalui karyanya. Sebab hanya orang-orang merdekalah
yang sejatinya abadi. Beliau hendak membedah kesadaran pembaca, bahwa menulis
puisi, sebagaimana membuat secangkir kopi. Hanya butuh kehangatan jiwa dan
pikiran untuk membuat tulisan beraroma, semisal kopi hitam yang merindukan
kehangatan air seduhannya. Dalam berpuisi (bersastra) perihal salah dan benar
adalah hal yang tidak penting. Dul Abdul Rahman saat memberi prolog buku ini
juga membenarkannya dengan mengutip kalimat salah seorang sastrawan Indonesia,
Danarto bahwa dalam sebuah karya sastra, tidak ada kebenaran yang paling benar.
Pun tidak ada kesalahan yang paling salah.
Dari hasil pembacaan saya, buku ini kembali
menghidupkan Pramoedya Ananta Toer melalui sentilannya bahwa orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat
dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar