Senin, 21 Maret 2016

Menulis, Puisi, dan Air Mata Darah

Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang. Kalimat ini pernah ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.  Seno memasuki ruang sadar manusia, bahwa menulis bukan hanya menyampirkan huruf-huruf menjalin kata, lalu kalimat. Tetapi lebih dari itu, menulis seumpama menata sebuah taman bunga seindah mungkin, agar yang melihatnya bahagia, meski entah siapa.

Berkarya dari menulis, efeknya mengarah langsung kejiwa yang merupakan tempat makna paling berkesan diabadikan. Olehnya itu, menulis, utamanya menulis karya sastra semisal puisi membutuhkan pembacaan dan perenungan sempurna pada hal-hal yang meruang, pun inmateri.


Demikianlah hendaknya Sulhan Yusuf menjelmakan dirinya dalam buku kumpulan puisi, Air Mata Darah yang diterbitkan oleh Liblitera Institute bekerjasama dengan Komunitas Boetta  Ilmoe di awal tahun 2015 lalu. Kak Sul, sebagaimana sapaan akrabnya, menarasikan rasa dan gelisah melalui puisi-puisi realis, singkat, dan filosofis. Realis, sebab buku ini berisi puisi-puisi yang mengangkat kisah kehidupan dan pengalaman sehari-hari penulis, pun berkisah tentang teman-teman dan lingkungan bergaulnya penulis. Singkat, maksudnya, buku ini mencerminkan kepiawaian penulis memilih dan memilah kata-kata yang pas menarasikan maksud penulis. Walhasil, dalam buku ini ditemui puisi-puisinya pendek namun padat kata. Filosofis, karena saya berani mengatakan puisi-puisi gubahan Kak Sul dalam buku ini seolah sabda Rumi, atau petuah Muhammad Iqbal, sang Maestro sastra yang jauh melesat ke dalam ruang spiritual manusia. Alasannya, meski menuliskan kehidupan dan pengalaman sehari-hari penulis, makna batinnya seringkali memerlukan perenungan panjang untuk dicerna.

Saya mengaitkan dengan kalimat Seno di atas, bahwa dalam buku tersebut, penggiat literasi kelahiran Banteng ini, berbicara, berkata, dan menyapa ke khalayak pembaca agar karyanya diinterpretasi dan diinterupsi. Ada banyak hal yang hendak dinyatakan, semisal gemuruh rasa pada kemanusian yang teramputasi sebagaimana dalam puisi Bedil. Tentang nasionalisme pada puisi Benderaku. Atau pun puisi berjudul Bantaeng yang menggelorakan lokalitas tanah kelahiran penulis.

Tidak hanya itu. Sebagai seorang yang gemar membelanjakan waktunya pada buku-buku, penulis juga mengulas tentang dunia literasi yang hendak digempakan. Pun pada buku-buku penulis memiliki impian menuliskan keabadian. Bukankah seharusnya demikianlah tujuan seorang penulis menulis? Berkata-kata, lalu menyuguhkan sebuah dunia baru yang entah dimana. Daku teringat kembali/ akan sebuah penegasan, “Kata Adalah Senjata”/ kata memang bisa jadi awal perjuangan/ dan sekaligus sebagai akhir pertumpahan. Demikianlah penulis menyatakanya.  

Mengapa puisi? Pertanyaan ini pernah penulis dedahkan pada sebuah forum bincang literasi. Menurutnya, kumpulan puisi semisal buku karyanya kurang dibincang dan diminati oleh khalayak. Untuk era sekarang, puisi hanya dipandang sebagai bunga-bunga kutipan, baik yang bertujuan pemanis ucapan, pun pemanis tulisan. Kak Sul, khawatir pada masa depan puisi, tetapi beliau tetap mendamaikan kekhawatirannya dengan komitmen terus menulis. Menulis puisi tentunya. Lalu mengapa menulis puisi? Sebab puisi adalah satu-satunya cara yang paling indah, impresif, dan paling efektif mendendangkan sesuatu. Oleh John Dryen dinyatakan sebagai musik yang tersusun rapi. Isaac Newton menamai puisi sebagai nada yang penuh keaslian dan keselarasan.

Buku kumpulan puisi Air Mata Darah, menurut hemat saya merangkul makna denotasi dan konotasi. Dari sisi denotasi, buku ini sesungguhnya membicarakan pengalaman dan perjuangan hidup penulisnya yang mendarahkan air mata. Namun dari sisi konotasinya, bisa saja Air Mata Darah ditujukan pada dunia puisi-puisi yang dipunggungi, lalu pelan dilupakan. Ini merupakan sindiran penulis kepada para pengamputasi puisi.

Air mata darah yang terdiri dari 170 halaman,  memuat 102 puisi dengan beraneka ragam latar belakang penulis yang kesemuanya bermuara pada perayaan kesadaran. Kak Sul ingin menjadi pribadi merdeka melalui karyanya. Sebab hanya orang-orang merdekalah yang sejatinya abadi. Beliau hendak membedah kesadaran pembaca, bahwa menulis puisi, sebagaimana membuat secangkir kopi. Hanya butuh kehangatan jiwa dan pikiran untuk membuat tulisan beraroma, semisal kopi hitam yang merindukan kehangatan air seduhannya. Dalam berpuisi (bersastra) perihal salah dan benar adalah hal yang tidak penting. Dul Abdul Rahman saat memberi prolog buku ini juga membenarkannya dengan mengutip kalimat salah seorang sastrawan Indonesia, Danarto bahwa dalam sebuah karya sastra, tidak ada kebenaran yang paling benar. Pun tidak ada kesalahan yang paling salah.

Dari hasil pembacaan saya, buku ini kembali menghidupkan Pramoedya Ananta Toer melalui sentilannya bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...