Sejak kecil, aku telah
menghabiskan hari-hari di sebuah rumah tidak berlampu. Di sana semua gelap,
meski rumah itu berjendela banyak dan berdaun pintu dua. Cahaya bisa saja masuk
lewat jendela dan daun pintu, tetapi bagiku terang tidak berfungsi apa-apa. Kegelapan
seakan telah menyatu pada diriku.
Hatiku juga gelap.
Tidak pernah ada satu pun cinta yang meneranginya, lantaran memang tidak ingin
kubuka untuk siapa pun. Aku tidak bisa menjanjikan banyak tentang hal ini,
sebab aku tidak pernah mempelajarinya. Biasanya, aku hanya mendengar
cerita-cerita orang, bahwa cinta itu seperti mengisap sebuah lolipop. Rasanya manis
dan berwarna-warni. Seindah itukah cinta? Aku ragu.
Sama halnya ketika aku
berumur 5 tahun. Lelaki yang mengajak ibuku menikmati lolipop tiba-tiba saja
datang, setelah pergi dari sisi ibu. Dia memohon maaf, dan ingin menikahi ibu.
Tetapi, hanya berselang beberapa bulan, dia berencana memindahtangankan aku kepada
seorang induk semang yang belakangan kutahu adalah pemilik rumah gelap. Perbincangan
panjang saling silang antara lelaki itu dan ibu berujung rembuk, aku tidak
layak tinggal seatap dengan mereka. Meski tidak demikian mereka menyampaikannya
padaku, tetapi simpulanku saat itu, aku tidak diinginkan. Seketika kurasa cinta
lenyap di cawanku, entah melarut dimana? Aku mati rasa.
Aku masih terbilang kanak-kanak,
olehnya itu ibu memberitahuku akan menitipkan aku ke rumah saudaranya di kota
lain karena mereka berdua mendapat beasiswa kuliah ke luar negeri. Aku yang
selalu bersama kegelapan, hanya gelagapan. Aku tidak bisa membantah, tersisalah
pasrah menggelayut-layut. Memang juga tidak ada jalan sama sekali untuk
merengek. Mereka sudah memutuskan jauh-jauh hari seperti yang kudengar
lamat-lamat, dulu.
Jadilah aku penghuni
rumah gelap. Dari induk semang yang masih berkerabat jauh dengan ibu, kuketahui, orang tuaku tidak mengharapkanku.
Sewaktu muda, mereka dua sejoli yang suka lolipop. Di kampus, di kost, dan di
tempat-tempat mereka sering bertemu, selalu ada lolipop. Mereka menikmatinya
berdua, pun pada suatu malam, bahkan beberapa buah habis ditelannya. Paginya,
berhamburanlah selang-selang kecil tempat lolipop awalnya berpegang, begitu
pula plastik pembungkusnya. Aku salah satu di antara plastik-plastik itu yang
terus menempel hingga membesar di peranakan ibu. Maka tidak heran, jika ibu,
atas saran lelaki itu berusaha mencari jalan membuangku. Tetapi aku bersikukuh,
meski kurasa ada bagian tubuhku yang melemah.
Ibu putus akal. Aku membesar,
lalu lahir di dalam rimba persembunyian. Beruntung masih ada sedikit hati orang
tuaku saat itu mengemongku. Sampai desas-desus perihal seorang mahasiswi
berprestasi bersama dengan seorang mahasiswa yang orang tuanya punya uang berlebih,
memiliki anak di luar nikah, tersiar!
Tatkala itulah mereka
memutuskan menjauhkan aku dari kehidupan mereka. Lelaki yang mengajak ibuku
menikmati lolipop, enggan jika aku terus memomok dalam kehidupannya. Alasannya
jelas, aku hadir diwaktu yang kurang tepat. Bukan lantaran mereka tidak mampu
memenuhi kebutuhanku. Melainkan, aku datang membawa gelap. Sebagaimana gelapnya
kehidupan ibu yang menanggung malu, dan memutuskan berhenti kuliah. Tawaran
beasiswa dari perusahaan ayah, lelaki itu untuk ibu menjadi alasan empuk menjauh
dariku. “Kamu masih bisa mendulang masa depan cerahmu, sebagaimana mimpimu dulu
sebelum meninggalkan universitas. Aku bisa membantumu kembali kuliah, bahkan di
luar negeri, tetapi tinggalkan dia! Dan kalian kurestui menikah!” Tegas ayah,
lelaki itu pada ibu.
Ibu akhirnya luluh. Matanya
yang digenangi penderitaan, lantas berkilau bagai embun dedaunan di pagi hari.
Dengan mata kecilku, aku melihat tidak ada aku di binar mata itu. Ibu yang
sejauh ini mampu bernanah-nanah oleh gunjingan, melunak. Tetapi itu bukan
salahnya.
***
Lara, demikianlah aku
dipanggil. Lara Wirang tepatnya. Ibu dan lelaki itu yang menamai, meski deret
alfabet ini selayaknya tidak digunakan sebagai nama. Dinamaku, cinta sebatas
gerimis tipis yang jatuh satu-satu pada tanah kering. Sama sekali tidak berguna,
sebagaimana aku. Karenanya, kutolak lamaran seorang lelaki yang datang
memintaku pada induk semang. Aku belum mempersiapkan sepetak hati untuk cinta
berpinak. Kata induk semang, “masa lalu itu bukan jerat. Dia semisal undakan di
tengah lumpur untuk aku melompat menghindari lengketnya tanah becek.” Aku menerima
analoginya, maka itu aku berkuat-kuat menjalani hidup sebagai penjajak lolipop
yang dibuat oleh orang-orang di rumah gelap, agar aku tetap makan dan diberi
uang jajan.
Lantas, oleh induk semang,
lelaki yang hendak meminangku berpesan bahwa dia juga berselimut gelap di sudut
yang lain. Tetapi dia selalu berusaha menaruh cahaya di langit hatinya, dan
terciptalah lentera dengan semburat merah muda. Dengan lentera itu, dia ingin
mengajakku berburu kunang-kunang. Aku mulai berpikir. Induk semang menguatkan,
lelaki itu sama seperti aku. Dibesarkan dalam sebuah rumah tuna netra, rumah
yang tidak membutuhkan pancaran lampu neon. Dia juga menjamin, lelaki itu baik
dan pantas jadi imam untukku.
Jadilah aku, Lara
Wirang, gadis buta penjual lolipop, seorang istri. Dan dihari kami meninggalkan
rumah gelap, dia menyelipkan sebuah lolipop di ranselku. Katanya, “mungkin saja
kelak ada pahit, dan kau butuh penawarnya.”
Mendung di langit hatiku,
“jangan-jangan dia sebagaimana lelaki yang mengajak ibuku menikmati lolipop?”
Dia menangkap kekhawatiran
itu. Bukan dari matanya dia mengetahui. Batinnyalah yang mengirimkan isyarat. “Aku
tidak bisa menjanjikan lebih untukmu. Meski demikian, aku akan bertanggung
jawab pada hidupmu. Aku akan membagi cahaya lentera ini, dan kunang-kunang itu,
lepaslah karena kau tidak membutuhkannya lagi!”
Aku mematung.
Dia meraih tanganku, “seindah
apapun sebuah keluarga, pahit pasti terselip padanya. Cinta juga butuh
istirahat. Butuh terus disegarkan, dan pahit itulah salah satu cara membuatnya
manis kembali. Simpanlah lolipop itu, aku yakin suatu saat kau akan
mencarinya!”
Aku paham. Inilah
undakan pertama yang harus kulalui jika ingin keluar dari kubangan lumpur. Sore
itu, aku berjalan beriringan dengannya. Di tangan kananku, sekeranjang cinta
akan kupelajari. Dan di tangan kirinya, sebuah tongkat merangkak-rangkak menggapai
jalan menuju bahagia. Sisanya, sepasang tangan kami, bergenggaman erat, saling
menguatkan dan berbagi terang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar