Senin, 21 Maret 2016

Lara Wirang dan Sebuah Lolipop

Sejak kecil, aku telah menghabiskan hari-hari di sebuah rumah tidak berlampu. Di sana semua gelap, meski rumah itu berjendela banyak dan berdaun pintu dua. Cahaya bisa saja masuk lewat jendela dan daun pintu, tetapi bagiku terang tidak berfungsi apa-apa. Kegelapan seakan telah menyatu pada diriku.

Hatiku juga gelap. Tidak pernah ada satu pun cinta yang meneranginya, lantaran memang tidak ingin kubuka untuk siapa pun. Aku tidak bisa menjanjikan banyak tentang hal ini, sebab aku tidak pernah mempelajarinya. Biasanya, aku hanya mendengar cerita-cerita orang, bahwa cinta itu seperti mengisap sebuah lolipop. Rasanya manis dan berwarna-warni. Seindah itukah cinta? Aku ragu.


Sama halnya ketika aku berumur 5 tahun. Lelaki yang mengajak ibuku menikmati lolipop tiba-tiba saja datang, setelah pergi dari sisi ibu. Dia memohon maaf, dan ingin menikahi ibu. Tetapi, hanya berselang beberapa bulan, dia berencana memindahtangankan aku kepada seorang induk semang yang belakangan kutahu adalah pemilik rumah gelap. Perbincangan panjang saling silang antara lelaki itu dan ibu berujung rembuk, aku tidak layak tinggal seatap dengan mereka. Meski tidak demikian mereka menyampaikannya padaku, tetapi simpulanku saat itu, aku tidak diinginkan. Seketika kurasa cinta lenyap di cawanku, entah melarut dimana? Aku mati rasa.

Aku masih terbilang kanak-kanak, olehnya itu ibu memberitahuku akan menitipkan aku ke rumah saudaranya di kota lain karena mereka berdua mendapat beasiswa kuliah ke luar negeri. Aku yang selalu bersama kegelapan, hanya gelagapan. Aku tidak bisa membantah, tersisalah pasrah menggelayut-layut. Memang juga tidak ada jalan sama sekali untuk merengek. Mereka sudah memutuskan jauh-jauh hari seperti yang kudengar lamat-lamat, dulu.

Jadilah aku penghuni rumah gelap. Dari induk semang yang masih berkerabat jauh dengan ibu,  kuketahui, orang tuaku tidak mengharapkanku. Sewaktu muda, mereka dua sejoli yang suka lolipop. Di kampus, di kost, dan di tempat-tempat mereka sering bertemu, selalu ada lolipop. Mereka menikmatinya berdua, pun pada suatu malam, bahkan beberapa buah habis ditelannya. Paginya, berhamburanlah selang-selang kecil tempat lolipop awalnya berpegang, begitu pula plastik pembungkusnya. Aku salah satu di antara plastik-plastik itu yang terus menempel hingga membesar di peranakan ibu. Maka tidak heran, jika ibu, atas saran lelaki itu berusaha mencari jalan membuangku. Tetapi aku bersikukuh, meski kurasa ada bagian tubuhku yang melemah.

Ibu putus akal. Aku membesar, lalu lahir di dalam rimba persembunyian. Beruntung masih ada sedikit hati orang tuaku saat itu mengemongku. Sampai desas-desus perihal seorang mahasiswi berprestasi bersama dengan seorang mahasiswa yang orang tuanya punya uang berlebih, memiliki anak di luar nikah, tersiar!

Tatkala itulah mereka memutuskan menjauhkan aku dari kehidupan mereka. Lelaki yang mengajak ibuku menikmati lolipop, enggan jika aku terus memomok dalam kehidupannya. Alasannya jelas, aku hadir diwaktu yang kurang tepat. Bukan lantaran mereka tidak mampu memenuhi kebutuhanku. Melainkan, aku datang membawa gelap. Sebagaimana gelapnya kehidupan ibu yang menanggung malu, dan memutuskan berhenti kuliah. Tawaran beasiswa dari perusahaan ayah, lelaki itu untuk ibu menjadi alasan empuk menjauh dariku. “Kamu masih bisa mendulang masa depan cerahmu, sebagaimana mimpimu dulu sebelum meninggalkan universitas. Aku bisa membantumu kembali kuliah, bahkan di luar negeri, tetapi tinggalkan dia! Dan kalian kurestui menikah!” Tegas ayah, lelaki itu pada ibu.

Ibu akhirnya luluh. Matanya yang digenangi penderitaan, lantas berkilau bagai embun dedaunan di pagi hari. Dengan mata kecilku, aku melihat tidak ada aku di binar mata itu. Ibu yang sejauh ini mampu bernanah-nanah oleh gunjingan, melunak. Tetapi itu bukan salahnya.

                                                                            ***
Lara, demikianlah aku dipanggil. Lara Wirang tepatnya. Ibu dan lelaki itu yang menamai, meski deret alfabet ini selayaknya tidak digunakan sebagai nama. Dinamaku, cinta sebatas gerimis tipis yang jatuh satu-satu pada tanah kering. Sama sekali tidak berguna, sebagaimana aku. Karenanya, kutolak lamaran seorang lelaki yang datang memintaku pada induk semang. Aku belum mempersiapkan sepetak hati untuk cinta berpinak. Kata induk semang, “masa lalu itu bukan jerat. Dia semisal undakan di tengah lumpur untuk aku melompat menghindari lengketnya tanah becek.” Aku menerima analoginya, maka itu aku berkuat-kuat menjalani hidup sebagai penjajak lolipop yang dibuat oleh orang-orang di rumah gelap, agar aku tetap makan dan diberi uang jajan.

Lantas, oleh induk semang, lelaki yang hendak meminangku berpesan bahwa dia juga berselimut gelap di sudut yang lain. Tetapi dia selalu berusaha menaruh cahaya di langit hatinya, dan terciptalah lentera dengan semburat merah muda. Dengan lentera itu, dia ingin mengajakku berburu kunang-kunang. Aku mulai berpikir. Induk semang menguatkan, lelaki itu sama seperti aku. Dibesarkan dalam sebuah rumah tuna netra, rumah yang tidak membutuhkan pancaran lampu neon. Dia juga menjamin, lelaki itu baik dan pantas jadi imam untukku.

Jadilah aku, Lara Wirang, gadis buta penjual lolipop, seorang istri. Dan dihari kami meninggalkan rumah gelap, dia menyelipkan sebuah lolipop di ranselku. Katanya, “mungkin saja kelak ada pahit, dan kau butuh penawarnya.”

Mendung di langit hatiku, “jangan-jangan dia sebagaimana lelaki yang mengajak ibuku menikmati lolipop?”

Dia menangkap kekhawatiran itu. Bukan dari matanya dia mengetahui. Batinnyalah yang mengirimkan isyarat. “Aku tidak bisa menjanjikan lebih untukmu. Meski demikian, aku akan bertanggung jawab pada hidupmu. Aku akan membagi cahaya lentera ini, dan kunang-kunang itu, lepaslah karena kau tidak membutuhkannya lagi!”

Aku mematung.

Dia meraih tanganku, “seindah apapun sebuah keluarga, pahit pasti terselip padanya. Cinta juga butuh istirahat. Butuh terus disegarkan, dan pahit itulah salah satu cara membuatnya manis kembali. Simpanlah lolipop itu, aku yakin suatu saat kau akan mencarinya!”


Aku paham. Inilah undakan pertama yang harus kulalui jika ingin keluar dari kubangan lumpur. Sore itu, aku berjalan beriringan dengannya. Di tangan kananku, sekeranjang cinta akan kupelajari. Dan di tangan kirinya, sebuah tongkat merangkak-rangkak menggapai jalan menuju bahagia. Sisanya, sepasang tangan kami, bergenggaman erat, saling menguatkan dan berbagi terang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...