Senin, 21 Maret 2016

Lara Wirang dan Sebuah Lolipop

Sejak kecil, aku telah menghabiskan hari-hari di sebuah rumah tidak berlampu. Di sana semua gelap, meski rumah itu berjendela banyak dan berdaun pintu dua. Cahaya bisa saja masuk lewat jendela dan daun pintu, tetapi bagiku terang tidak berfungsi apa-apa. Kegelapan seakan telah menyatu pada diriku.

Hatiku juga gelap. Tidak pernah ada satu pun cinta yang meneranginya, lantaran memang tidak ingin kubuka untuk siapa pun. Aku tidak bisa menjanjikan banyak tentang hal ini, sebab aku tidak pernah mempelajarinya. Biasanya, aku hanya mendengar cerita-cerita orang, bahwa cinta itu seperti mengisap sebuah lolipop. Rasanya manis dan berwarna-warni. Seindah itukah cinta? Aku ragu.

Menulis, Puisi, dan Air Mata Darah

Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang. Kalimat ini pernah ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.  Seno memasuki ruang sadar manusia, bahwa menulis bukan hanya menyampirkan huruf-huruf menjalin kata, lalu kalimat. Tetapi lebih dari itu, menulis seumpama menata sebuah taman bunga seindah mungkin, agar yang melihatnya bahagia, meski entah siapa.

Berkarya dari menulis, efeknya mengarah langsung kejiwa yang merupakan tempat makna paling berkesan diabadikan. Olehnya itu, menulis, utamanya menulis karya sastra semisal puisi membutuhkan pembacaan dan perenungan sempurna pada hal-hal yang meruang, pun inmateri.

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...