Membaca judulnya saja, kuat keyakinan
saya bahwa pembaca akan tergiring pada lagu “Anak Sekolah” milik Crisye. Meski bukan
itu yang saya maksud, tetapi jika alasan mengleha-lehakan pikiran, silahkan
saja. Tulisan ini, merujuk pada sebuah foto yang tampil di beranda facebook (FB) saya dini hari tadi. Foto
yang terunggah lima tahun lalu, sebagai pembuktian bahwa saya selalu menjadi pembelajar.
Dalam foto itu, saya terlihat sedang asyik memandu dua orang anak merunut abjad-abjad
yang samar dikenalinya. Tetapi saya tidak ingin terburu-buru menyebut diri saya
guru, meski dalam foto tersebut pada nama saya dilekatkan itu. Saya lebih
senang dipanggil pelajar saja, makanya pada kartu tanda penduduk (KTP) saya
sampai sekarang tetap pekerjaan saya terisi pelajar/ mahasiswa.
Alasannya sederhana, bahwa seorang
guru adalah tempat bertumpuknya semua pengetahuan yang membutuhkan murid
sebagai wadah peluapannya. Bukan sekadar menampung luapan saja, melainkan guru
dan murid lalu mengolah lagi menjadi souvenir inovatif yang bernilai. Sementara
saya tidak memiliki kapasistas demikian, sebab dalam batok kepala saya,
berkumim banyak praduga-praduga benar salah yang terus didaur ulang dari buku-buku
dan perilaku anak-anak setiap harinya. Semisal, teori yang saya tahu bahwa
anak-anak yang pemarah tidak suka jika ditegur dengan nada keras, dan saya pun
bersikap lemah lembut pada mereka. Walhasil, bukannya anak-anak tersebut
tersentuh hatinya, malahan melonjak dan suka mengolok-ngolok, dan sering kali
saya pun jadi sasaran olokan juga. Dari sinilah saya belajar bahwa tidak semua
anak-anak pemarah bisa didekati dengan hati, tetapi selalu ada jalan lain
menjagal marahnya, dan jalan itu tiba-tiba saja membentang saat masalah
meruncing.
Anak-anak itu bukan murid saya,
justru dari merekalah berbagai pengetahuan saya peroleh. Bahkan pada hal-hal
yang kecil pun saya belajar dari mereka. Ceritanya seperti ini, di tempat saya
memakan mie instan tidak diperbolehkan. Tetapi pernah suatu pagi karena lupa
sarapan, saya sembunyi-sembunyi mengkonsumsi makanan berbahan tepung terigu
ini. Dan tanpa saya duga-duga, muncul seorang anak dari balik pintu ruangan
tempat sembunyi saya dan langsung mengatakan, “kukira tidak boleh makan mie
instan, Bu!” Skak Mat!!! Konsistensi saya terkapar sekita itu juga. Seperti halnya
pula ketika saya tidak membolehkan anak-anak berbicara saat makan, lalu suatu
ketika saya melakukannya yang sontak saja ditegur serentak oleh mereka. Dalam kondisi
yang begini, saya lebih pantas tetap sebagai anak sekolah saja. Itu lebih
melegakan hati, ketimbang memosisikan diri sebagai guru yang dikepung rupa-rupa
kesalahan.
Pernah juga suatu ketika, saya
menemani anak-anak belajar sambil marah-marah karena sedang bad mod
dan terpancing ulah seorang anak. Lantas,
tanpa saya duga-duga satu suara yang meski pelan namun mendapuk isi kepala
saya. “Kenapakah na sukaki marah-marah sama ….., Bu?” Demikianlah
pertanyaannya. Benar, saya tidak memiliki alasan tuntas mengapa mesti
marah-marah pada anak tersebut. Karenanya itu, setumpuk rasa malu serasa
meluap-luap. Bukankah Enstein telah mengingatkan bahwa kemarahan besar hanya
ada di dada orang yang bodoh!? Berarti seketika itu juga saya termasuk orang
bodoh sebagaimana definisi Enstein. Pantasnya, anak-anak ini saja yang menjadi
guru. Karena saya masihlah anak sekolah yang harus melewati banyak undakan
untuk memosisikan diri sebagai guru.
Perihal ini, saya banyak belajar dari
curhatan-curhatan Enstein, meski saya sepenuhnya sadar bahwa secuil pengetahuan
saya tidak bisa disepadankan dengan teori relativitasnya. Dari biografinya,
saya membaca bahwa dia adalah anak yang dianggap paling lambat dan bodoh di
sekolahnya. Namun karena anggapan tersebutlah dia banyak belajar, bahkan ketika
mesti melewati tes dan penolakan berulang-ulang saat ingin melanjutkan
sekolahnya, dia bertahan dengan cara dan keunikannya sendiri. Masalahnya bukan
pada Enstein yang hendak saya tajamkan. Melainkan pada cara mengajar gurunya
yang lebih memilih menyamaratakan metode mengajar pada anak-anak yang memiliki
model belajar berbeda. Parahnya, sebab yang tidak mengikuti gaya mengajarnya,
akan dianggap terbelakang sebagaimana yang dialami Enstein. Pantas saya kalau
dia akhirnya mengeluarkan ultimatum perihal guru seperti ini, “hanya seseorang
yang mengabdikan dirinya untuk suatu alasan dengan seluruh kekuatan dan jiwanya
yang bisa menjadi guru sejati….”
Ini hal yang sulit, lantaran menjadi
guru adalah panggilan jiwa. Dan segala sesuatu yang mukimnya di jiwa selalulah
berkawan dengan keihklasan. Letak kesulitannya karena ikhlas adalah barang yang
sangat langkah ditemui, kecuali pada lirik-lirik lagu. Jika ukuran Enstein yang
digunakan, maka benarlah keputusan saya untuk selalu menjadi anak sekolah. “Saya
kira lebih baik kamu mulai mengajar orang lain, hanya sesudah kamu sendiri
mempelajari sesuatu.” Demikianlah penengasan Enstein terhadap keputusan saya.
Ihwal foto yang saya bahas di awal
tadi, jika perhatikan saksama adalah semacam penanda bahwa saya haruslah selalu
menoleh ke bawah, pada anak-anak terhadap yang telah saya ketahui. Sebab ladang
yang paling subur untuk menundukkan pengetahuan ada pada anak-anak. Enstein
menegaskan itu, bahwa jika anda tidak bisa menjelaskan sesuatu pada anak usia
enam tahun, berarti anda sendiri tidak memahaminya. Itulah sebabnya saya
berbetah-betah bersama anak-anak di tempat saya, dan menguatkan hati dan
telinga jika di panggil guru oleh mereka, padahal saya juga turut bersekolah di
tempat itu.
Makassar, 08 Februari 2016 (lima tahun menghimpun pengetahuan di
Cakrawala)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar