Senin, 08 Februari 2016

Saya Masih Anak Sekolah

Membaca judulnya saja, kuat keyakinan saya bahwa pembaca akan tergiring pada lagu “Anak Sekolah” milik Crisye. Meski bukan itu yang saya maksud, tetapi jika alasan mengleha-lehakan pikiran, silahkan saja. Tulisan ini, merujuk pada sebuah foto yang tampil di beranda facebook (FB) saya dini hari tadi. Foto yang terunggah lima tahun lalu, sebagai pembuktian bahwa saya selalu menjadi pembelajar. Dalam foto itu, saya terlihat sedang asyik memandu dua orang anak merunut abjad-abjad yang samar dikenalinya. Tetapi saya tidak ingin terburu-buru menyebut diri saya guru, meski dalam foto tersebut pada nama saya dilekatkan itu. Saya lebih senang dipanggil pelajar saja, makanya pada kartu tanda penduduk (KTP) saya sampai sekarang tetap pekerjaan saya terisi pelajar/ mahasiswa.
Alasannya sederhana, bahwa seorang guru adalah tempat bertumpuknya semua pengetahuan yang membutuhkan murid sebagai wadah peluapannya. Bukan sekadar menampung luapan saja, melainkan guru dan murid lalu mengolah lagi menjadi souvenir inovatif yang bernilai. Sementara saya tidak memiliki kapasistas demikian, sebab dalam batok kepala saya, berkumim banyak praduga-praduga benar salah yang terus didaur ulang dari buku-buku dan perilaku anak-anak setiap harinya. Semisal, teori yang saya tahu bahwa anak-anak yang pemarah tidak suka jika ditegur dengan nada keras, dan saya pun bersikap lemah lembut pada mereka. Walhasil, bukannya anak-anak tersebut tersentuh hatinya, malahan melonjak dan suka mengolok-ngolok, dan sering kali saya pun jadi sasaran olokan juga. Dari sinilah saya belajar bahwa tidak semua anak-anak pemarah bisa didekati dengan hati, tetapi selalu ada jalan lain menjagal marahnya, dan jalan itu tiba-tiba saja membentang saat masalah meruncing.
Anak-anak itu bukan murid saya, justru dari merekalah berbagai pengetahuan saya peroleh. Bahkan pada hal-hal yang kecil pun saya belajar dari mereka. Ceritanya seperti ini, di tempat saya memakan mie instan tidak diperbolehkan. Tetapi pernah suatu pagi karena lupa sarapan, saya sembunyi-sembunyi mengkonsumsi makanan berbahan tepung terigu ini. Dan tanpa saya duga-duga, muncul seorang anak dari balik pintu ruangan tempat sembunyi saya dan langsung mengatakan, “kukira tidak boleh makan mie instan, Bu!” Skak Mat!!! Konsistensi saya terkapar sekita itu juga. Seperti halnya pula ketika saya tidak membolehkan anak-anak berbicara saat makan, lalu suatu ketika saya melakukannya yang sontak saja ditegur serentak oleh mereka. Dalam kondisi yang begini, saya lebih pantas tetap sebagai anak sekolah saja. Itu lebih melegakan hati, ketimbang memosisikan diri sebagai guru yang dikepung rupa-rupa kesalahan.
Pernah juga suatu ketika, saya menemani anak-anak belajar sambil marah-marah karena sedang bad mod dan terpancing ulah seorang anak. Lantas, tanpa saya duga-duga satu suara yang meski pelan namun mendapuk isi kepala saya. “Kenapakah na sukaki marah-marah sama ….., Bu?” Demikianlah pertanyaannya. Benar, saya tidak memiliki alasan tuntas mengapa mesti marah-marah pada anak tersebut. Karenanya itu, setumpuk rasa malu serasa meluap-luap. Bukankah Enstein telah mengingatkan bahwa kemarahan besar hanya ada di dada orang yang bodoh!? Berarti seketika itu juga saya termasuk orang bodoh sebagaimana definisi Enstein. Pantasnya, anak-anak ini saja yang menjadi guru. Karena saya masihlah anak sekolah yang harus melewati banyak undakan untuk memosisikan diri sebagai guru.
Perihal ini, saya banyak belajar dari curhatan-curhatan Enstein, meski saya sepenuhnya sadar bahwa secuil pengetahuan saya tidak bisa disepadankan dengan teori relativitasnya. Dari biografinya, saya membaca bahwa dia adalah anak yang dianggap paling lambat dan bodoh di sekolahnya. Namun karena anggapan tersebutlah dia banyak belajar, bahkan ketika mesti melewati tes dan penolakan berulang-ulang saat ingin melanjutkan sekolahnya, dia bertahan dengan cara dan keunikannya sendiri. Masalahnya bukan pada Enstein yang hendak saya tajamkan. Melainkan pada cara mengajar gurunya yang lebih memilih menyamaratakan metode mengajar pada anak-anak yang memiliki model belajar berbeda. Parahnya, sebab yang tidak mengikuti gaya mengajarnya, akan dianggap terbelakang sebagaimana yang dialami Enstein. Pantas saya kalau dia akhirnya mengeluarkan ultimatum perihal guru seperti ini, “hanya seseorang yang mengabdikan dirinya untuk suatu alasan dengan seluruh kekuatan dan jiwanya yang bisa menjadi guru sejati….”
Ini hal yang sulit, lantaran menjadi guru adalah panggilan jiwa. Dan segala sesuatu yang mukimnya di jiwa selalulah berkawan dengan keihklasan. Letak kesulitannya karena ikhlas adalah barang yang sangat langkah ditemui, kecuali pada lirik-lirik lagu. Jika ukuran Enstein yang digunakan, maka benarlah keputusan saya untuk selalu menjadi anak sekolah. “Saya kira lebih baik kamu mulai mengajar orang lain, hanya sesudah kamu sendiri mempelajari sesuatu.” Demikianlah penengasan Enstein terhadap keputusan saya.
Ihwal foto yang saya bahas di awal tadi, jika perhatikan saksama adalah semacam penanda bahwa saya haruslah selalu menoleh ke bawah, pada anak-anak terhadap yang telah saya ketahui. Sebab ladang yang paling subur untuk menundukkan pengetahuan ada pada anak-anak. Enstein menegaskan itu, bahwa jika anda tidak bisa menjelaskan sesuatu pada anak usia enam tahun, berarti anda sendiri tidak memahaminya. Itulah sebabnya saya berbetah-betah bersama anak-anak di tempat saya, dan menguatkan hati dan telinga jika di panggil guru oleh mereka, padahal saya juga turut bersekolah di tempat itu.


Makassar, 08 Februari 2016 (lima tahun menghimpun pengetahuan di Cakrawala)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...