Kamis, 04 Februari 2016

Dee dan Secangkir Kopi Perjuangan

“Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak dapat kamu sembunyikan.” Demikianlah fatwa Dewi Lestari (Dee) dalam  buku kumpulan prosa Filosofi Kopi. Meski saya tidak yakin bahwa dia sepenuhnya adalah penikmat kopi. Perihal tumbuhan pendek berbiji wangi ini mendapat sanjungan pecintanya, sudah menjadi opini umum. Itu wajar, sebab tanaman impor dari benua Afrika tersebut memang mampu mengendalikan rasa di tenggorokan dan di hati. Apatah lagi, jika dijerang dengan kualitas panas air yang pas, maka aromanya akan menyeruak kemana-mana.

Pantas saya, jika Dee memberi apresiasi besar terhadap kopi dalam tulisannya. Lantas, mengapa kopi? Saya sengaja mengangkat kopi sebab beberapa tahun belakangan, kehidupan saya senantiasa berdekapan dengannya. Cerita kedekatan saya dengan minuman pekat ini berawal pada kebiasaan mengusir ngantuk saat dikepung tugas kuliah yang bejibun. Padahal dahulunya, saya takut dengan kopi, sampai-sampai jika mencium aromanya saya sontak lari dan menutup hidung; mual. Apalagi jika kopi ini sudah dijerang dalam ceret, lalu baunya menghambur kemana-mana, saya sungguh tidak suka. Berbeda halnya dengan teh. Waktu itu, saya belum terlalu familiar dengan teh celup. Saya lebih sering melihat ibu, menapis ampas teh sendiri dan aroma teh yang menyusupi celah-celah saringan teh sungguh menggoda. Saya suka minuman ini. Tetapi itu dulu, sewaktu saya masih sering membandingkan indahnya warna coklat mudah transparan teh dalam gelas, daripada kopi hitam pekat. Bacaanku saat itu masih seputar komik Candy Candy milik Kyoko Mizuki yang mengisahkan lika-liku perjuangan hidup dan cinta seorang gadis kecil bernama Candy yang bermukim di sebuah panti asuhan sejak usia 6 tahun. Karena kisah ini berakhir bahagia, maka selalu saya sandingkan komik-komiknya dengan segelas teh manis hangat nan coklat transparan.

Saya suka membayangkan. Andai hidup searoma teh, kesedihan pasti diterbangkannya bersama uap kepulan. Andai jalan yang akan ditempuh, hangat dan tidak pekat sebagaimana segelas teh, endingnya pasti ceria. Namun lagi-lagi itu dulu. Saya masih berusia sangat muda. Layaknya remaja ranum, saya selalu memimpikan hal-hal bahagia.

Saat comic Candy Candy tidak lagi bersama saya, dan saya mulai bertualang ke buku-buku lain, pandangan saya terhadap kopi berubah. Sebab, ternyata kopi lebih ampuh menemani berlama-lama menyesapi makna-makna baru yang berderet dalam buku-buku yang saya baca. Meski teh dan kopi sama-sama memiliki kandungan cafein pembasmi ngantuk, tetapi kopilah yang menjadi andalan mahasiswa semisal saya menjejaki para penulis menebar kata-kata dalam bukunya.

Dari kopi inilah saya berkenalan akrab dengan hitam dan pahit. Lalu saya pun mulai menyadari bahwa kehidupan Candy dalam komik yang dahulu kugemari ternyata tidak sesederhana pikiran labil remaja saya. Ada banyak duka yang bersileweran dibalik perjalanannya. Dia merasakan getir di saat kanak-kanak, lalu tekanan hidup saat remaja, pun pekhianatan dan kehilangan yang menuntut bijaksana, meski diujungnya lalu bahagia. Menyeruput secangkir kopi, saya rasa juga demikian. Bahwa, hitam dan pahit adalah sebuah jembatan menjemput manis. Dee menyatakannya sebagai sebuah spasi, “Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?” 

Iya! Menyeruput secangkir kopi seumpama mencipta spasi dalam hidup. Dengannya, kita memiliki waktu berlama-lama merasakan pahit, aroma, dan hitamnya bersatu padu dalam sebuah harmoni rasa. Dan ketika saya bersentuhan dengan salah satu “rumah” belajar, saya pun menemukan hitam juga menjuntai-juntai di sana. Ada secangkir kopi, saya memastikannya.

Ini bisa saja menjadi penanda, bahwa rumah yang saya masuki menyembunyikan kenikmatan sebagaimana yang dirasakan pada secangkir kopi, saya menduga-duga. Dan kenikmatan itu akan memberi banyak pengalaman perihal rasa. Bukankah kata Einstein bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman? Saya masuk, lalu mencoba mengumpulkan pengalaman-pengalaman dalam hitam itu untuk layak dikatai berpengetahuan.

Demikianlah, saya menempatkan diri. Dan benar, disana saya belajar mencicipi berbagai rasa semisal manisnya mendulang kata-kata dari orang-orang yang lebih tahu. Aroma kebersamaan yang bertebaran pun berkesan. Tetapi, disana pula kukenali pahit yang lebih pahit dari kopi hitam, bahwa memperjuangkan kata-kata adalah hal yang sulit. Meski saya selalu diajari tentang berpikir dan berkata-kata baik oleh para pendahulu, namun ujung-ujungnya hasil berpikir dan berkata-kata baik itulah yang mencipta dogma penentu otoritas tunggal kebenaran. Karena itulah, saya serasa jauh dari hitam yang beraroma, semisal kopi.

Saya yang mulai kecanduan kopi, merasai hambar menyeruputnya dalam rumah itu. Meski dalam jiwa selalu ada keinginan kuat membuat hitam dan pahit memadu mesra di lidah. Untuk kembali bersemangat, saya diajari berpikir rasional, dan keluar dari kungkungan hitam dan pahit. Saya pun dikenalkan tentang hijau. Warna ini memang tidak kudapati pada secangkir kopi, kecuali pada daun pisang pembungkus kudapan pendamping kopi saya.

Di dalamnya, larut banyak nubuat semisal penghambaan terhadap Tuhan, dan berbuat baik terhadap sesama. Tetapi, pengetahuan saya tidak utuh tentang itu. Di beberapa waktu rembuk belajar, saya terpotong-potong. Pun buku-buku yang membicarakan itu, saya tak selesai. Dan saya berkesimpulan, memadukan hijau dan hitam adalah kelam lain yang mengejar.

Pantas saja, meski saya sudah berlama-lama di rumah hijau hitam, pengetahuanku tidak kunjung bertambah. Tetapi realitas terus mengejar saya untuk menguji seberapa pantaskah saya menjadi bagian dari orang-orang dalam rumah tersebut. Berbekal pengetahuan saya yang latah, saya menantang banyak hal. Pada kebijakan yang saya anggap timpang, saya berteriak. Perihal pemerintah yang menyelewengkan hak rakyat, saya berontak. Untuk nasib kaum perempuan yang dinomorduakan, saya kepalkan tinju ke awan. Saya pun terkadang mengumbar kata-kata pada banyak kesempatan di forum-forum.

Ketika tiba saya ditanya tentang hasil dari yang saya perjuangkan? Mulut saya terkatup. Karena memang tidak satu pun fakta rill yang mendukung saya berhasil. Toh, masyarakat umum lebih memilih masuk dalam alur kebijakan yang saya tentang. Mereka tidak mempermasalahkan perihal hak yang dirampas. Pun para perempuan yang saya atasnamakan, tidak bergeming sedikit pun sebab dibalik kata dinomorduakan, mereka merasa “tersanjung”. Apatah lagi kata-kata yang saya tabur di forum-forum, paling dasyat hanya dijadikan bunga-bunga kutipan saat berkata-kata selebihnya, mengawang-ngawang. Tetapi, rasa menjadi hebat tetap mengaum entah kenapa? Mungkin saya terlanjur diperalat ambisi yang selalu mengharap tepuk tangan meriah.

Saya merasa butuh segelas kopi untuk mencerna hal ihwal ini. Saya butuh yang hangat, biar aromanya mendaur ulang niat saya di kemudian hari. Mari bersulang Dee….


"Dan kamu tahu apa kehebatan kopi tiwus itu?" katanya dengan tatapan kosong, "Pak Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini barista terburuk. Bukan cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu memperdagangkannya, tapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!" 
(Dee, Filosofi Kopi; Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...