“Kita tidak bisa
menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi
tetap kopi, punya sisi pahit yang tak dapat kamu sembunyikan.” Demikianlah
fatwa Dewi Lestari (Dee) dalam buku kumpulan
prosa Filosofi Kopi. Meski saya tidak yakin bahwa dia sepenuhnya adalah
penikmat kopi. Perihal tumbuhan pendek berbiji wangi ini mendapat sanjungan pecintanya,
sudah menjadi opini umum. Itu wajar, sebab tanaman impor dari benua Afrika
tersebut memang mampu mengendalikan rasa di tenggorokan dan di hati. Apatah
lagi, jika dijerang dengan kualitas panas air yang pas, maka aromanya akan
menyeruak kemana-mana.
Pantas saya, jika Dee
memberi apresiasi besar terhadap kopi dalam tulisannya. Lantas, mengapa kopi?
Saya sengaja mengangkat kopi sebab beberapa tahun belakangan, kehidupan saya
senantiasa berdekapan dengannya. Cerita kedekatan saya dengan minuman pekat ini
berawal pada kebiasaan mengusir ngantuk saat dikepung tugas kuliah yang
bejibun. Padahal dahulunya, saya takut dengan kopi, sampai-sampai jika mencium
aromanya saya sontak lari dan menutup hidung; mual. Apalagi jika kopi ini sudah
dijerang dalam ceret, lalu baunya menghambur kemana-mana, saya sungguh tidak
suka. Berbeda halnya dengan teh. Waktu itu, saya belum terlalu familiar dengan
teh celup. Saya lebih sering melihat ibu, menapis ampas teh sendiri dan aroma
teh yang menyusupi celah-celah saringan teh sungguh menggoda. Saya suka minuman
ini. Tetapi itu dulu, sewaktu saya masih sering membandingkan indahnya warna
coklat mudah transparan teh dalam gelas, daripada kopi hitam pekat. Bacaanku saat
itu masih seputar komik Candy Candy milik Kyoko Mizuki yang mengisahkan
lika-liku perjuangan hidup dan cinta seorang gadis kecil bernama Candy yang
bermukim di sebuah panti asuhan sejak usia 6 tahun. Karena kisah ini berakhir
bahagia, maka selalu saya sandingkan komik-komiknya dengan segelas teh manis
hangat nan coklat transparan.
Saya suka membayangkan.
Andai hidup searoma teh, kesedihan pasti diterbangkannya bersama uap kepulan.
Andai jalan yang akan ditempuh, hangat dan tidak pekat sebagaimana segelas teh,
endingnya pasti ceria. Namun lagi-lagi itu dulu. Saya masih berusia sangat
muda. Layaknya remaja ranum, saya selalu memimpikan hal-hal bahagia.
Saat comic Candy Candy tidak
lagi bersama saya, dan saya mulai bertualang ke buku-buku lain, pandangan saya terhadap
kopi berubah. Sebab, ternyata kopi lebih ampuh menemani berlama-lama menyesapi
makna-makna baru yang berderet dalam buku-buku yang saya baca. Meski teh dan
kopi sama-sama memiliki kandungan cafein pembasmi ngantuk, tetapi kopilah yang
menjadi andalan mahasiswa semisal saya menjejaki para penulis menebar kata-kata
dalam bukunya.
Dari kopi inilah saya
berkenalan akrab dengan hitam dan pahit. Lalu saya pun mulai menyadari bahwa
kehidupan Candy dalam komik yang dahulu kugemari ternyata tidak sesederhana
pikiran labil remaja saya. Ada banyak duka yang bersileweran dibalik
perjalanannya. Dia merasakan getir di saat kanak-kanak, lalu tekanan hidup saat
remaja, pun pekhianatan dan kehilangan yang menuntut bijaksana, meski
diujungnya lalu bahagia. Menyeruput secangkir kopi, saya rasa juga demikian. Bahwa,
hitam dan pahit adalah sebuah jembatan menjemput manis. Dee menyatakannya
sebagai sebuah spasi, “Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna
apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?”
Iya! Menyeruput
secangkir kopi seumpama mencipta spasi dalam hidup. Dengannya, kita memiliki
waktu berlama-lama merasakan pahit, aroma, dan hitamnya bersatu padu dalam
sebuah harmoni rasa. Dan ketika saya bersentuhan dengan salah satu “rumah”
belajar, saya pun menemukan hitam juga menjuntai-juntai di sana. Ada secangkir
kopi, saya memastikannya.
Ini bisa saja menjadi
penanda, bahwa rumah yang saya masuki menyembunyikan kenikmatan sebagaimana
yang dirasakan pada secangkir kopi, saya menduga-duga. Dan kenikmatan itu akan
memberi banyak pengalaman perihal rasa. Bukankah kata Einstein bahwa satu-satunya
sumber pengetahuan adalah pengalaman? Saya masuk, lalu mencoba mengumpulkan
pengalaman-pengalaman dalam hitam itu untuk layak dikatai berpengetahuan.
Demikianlah, saya
menempatkan diri. Dan benar, disana saya belajar mencicipi berbagai rasa
semisal manisnya mendulang kata-kata dari orang-orang yang lebih tahu. Aroma
kebersamaan yang bertebaran pun berkesan. Tetapi, disana pula kukenali pahit
yang lebih pahit dari kopi hitam, bahwa memperjuangkan kata-kata adalah hal
yang sulit. Meski saya selalu diajari tentang berpikir dan berkata-kata baik
oleh para pendahulu, namun ujung-ujungnya hasil berpikir dan berkata-kata baik
itulah yang mencipta dogma penentu otoritas tunggal kebenaran. Karena itulah,
saya serasa jauh dari hitam yang beraroma, semisal kopi.
Saya yang mulai kecanduan
kopi, merasai hambar menyeruputnya dalam rumah itu. Meski dalam jiwa selalu ada
keinginan kuat membuat hitam dan pahit memadu mesra di lidah. Untuk kembali
bersemangat, saya diajari berpikir rasional, dan keluar dari kungkungan hitam
dan pahit. Saya pun dikenalkan tentang hijau. Warna ini memang tidak kudapati
pada secangkir kopi, kecuali pada daun pisang pembungkus kudapan pendamping
kopi saya.
Di dalamnya, larut
banyak nubuat semisal penghambaan terhadap Tuhan, dan berbuat baik terhadap
sesama. Tetapi, pengetahuan saya tidak utuh tentang itu. Di beberapa waktu
rembuk belajar, saya terpotong-potong. Pun buku-buku yang membicarakan itu,
saya tak selesai. Dan saya berkesimpulan, memadukan hijau dan hitam adalah
kelam lain yang mengejar.
Pantas saja, meski saya
sudah berlama-lama di rumah hijau hitam, pengetahuanku tidak kunjung bertambah.
Tetapi realitas terus mengejar saya untuk menguji seberapa pantaskah saya
menjadi bagian dari orang-orang dalam rumah tersebut. Berbekal pengetahuan saya
yang latah, saya menantang banyak hal. Pada kebijakan yang saya anggap timpang,
saya berteriak. Perihal pemerintah yang menyelewengkan hak rakyat, saya
berontak. Untuk nasib kaum perempuan yang dinomorduakan, saya kepalkan tinju ke
awan. Saya pun terkadang mengumbar kata-kata pada banyak kesempatan di
forum-forum.
Ketika tiba saya
ditanya tentang hasil dari yang saya perjuangkan? Mulut saya terkatup. Karena
memang tidak satu pun fakta rill yang mendukung saya berhasil. Toh, masyarakat
umum lebih memilih masuk dalam alur kebijakan yang saya tentang. Mereka tidak
mempermasalahkan perihal hak yang dirampas. Pun para perempuan yang saya
atasnamakan, tidak bergeming sedikit pun sebab dibalik kata dinomorduakan,
mereka merasa “tersanjung”. Apatah lagi kata-kata yang saya tabur di
forum-forum, paling dasyat hanya dijadikan bunga-bunga kutipan saat
berkata-kata selebihnya, mengawang-ngawang. Tetapi, rasa menjadi hebat tetap
mengaum entah kenapa? Mungkin saya terlanjur diperalat ambisi yang selalu
mengharap tepuk tangan meriah.
Saya merasa butuh
segelas kopi untuk mencerna hal ihwal ini. Saya butuh yang hangat, biar
aromanya mendaur ulang niat saya di kemudian hari. Mari bersulang Dee….
"Dan
kamu tahu apa kehebatan kopi tiwus itu?" katanya dengan tatapan kosong,
"Pak Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia
benar. Kopi tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini barista terburuk.
Bukan cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu
memperdagangkannya, tapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi
paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!"
(Dee, Filosofi Kopi; Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade)
(Dee, Filosofi Kopi; Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar