"Dedaunan
adalah ibu dari para bunga. Bernapas sambil bertahan hidup walau dihempas
angin. Menyimpan cahaya matahari dan membesarkan bunga putih yang menyilaukan
mata. Jika bukan karena dedaunan, pohon pasti tidak dapat hidup. Dedaunan
benar-benar hebat…."(hlm. 85).
Dialah Leafie, nama
yang diambilnya dari dedaunan pohon Akasia. Mengapa Leafie (leaf)? Sebab daun
adalah sebuah media ajaib yang menyerap kekuatan kosmik untuk keberlangusngan
hidup pepohonan, dan bertumbuhnya bebuangaan. Dan Leafie, memiliki kisah hidup
demikian. Sebagaimana daun yang masa mudanya dihabiskan membantu proses fotosintesis, maka Leafie pun
menjagal masa mudanya dalam sebuah peternakan dengan terus menerus bertelur
untuk majikannya.
Masih seperti daun,
jika sudah menguning maka dia akan segera gugur, demikian pula Leafie. Saat
dirinya sudah tidak dibutuhkan lagi sebab kemampuannya bertelur tergerus, dia
pun terbuang. Beruntung, dia tidak berakhir dalam lubang penuh bangkai semisal
daun kering yang berakhir di pembakaran sampah. Leafie masih diberi kesempatan
untuk mencoba kehidupan keduanya dengan bantuan Seekor Bebek Pengelana.
Perihal daun yang
selalu mengadukan mimpinya dengan menengadah ke langit, Leafie pun demikian. Mimpi
sedari awalnya adalah mengerami telur-telurnya dan merawat anak-anaknya. Namun
bagaimana mungkin mimpi itu tercapai, bahkan diakhir dirinya memutuskan
bertelur, dia hanya mampu menghasilkan telur dengan cangkang yang lembek.
Tetapi jalan hidup memang tidak bisa ditebak, dan mimpi selalu menemukan
jalannya jika dibekali kesungguhan.
Leafie diberi
kesempatan oleh Bebek Pengelana mengerami telur karena betinanya mati dimangsa
musang. Di tengah semak mawar berduri, dia menjadi seorang ibu untuk Greenie,
si bebek kecil. Bersama Greenielah dia menjelajahi berbagai ruang kehidupan dan
merasai suka-duka menjadi ibu. Di halaman peternakan, dia terbuang dan dihina
oleh “keluarga halaman” (anjing tua, ayam jantan, ayam betina dan anak-anaknya,
serta keluarga bebek). Saat berjuang mendapatkan sebiji makanan, dia terhempas
dan mengais-ngais sisa agar Greenie bertumbuh. Bahkan di sarang sederhananya
yang tersembunyi di belukar mawar dia selalu was-was karena intaian Si Musang
yang menggebu-gebu memangsa Si Greenie.
Sisi menariknya, sebab
Leafie bukanlah seekor bebek. Dia adalah seekor ayam petelur yang terbuang.
Tetapi perbedaan jenis itu tidak lantas menjadikannya berjarak dengan Greenie.
Justru itulah alasan terbesarnya menjaga dan membesarkan Greenie dengan susah
payah. Bahwa bersama Greenie, mimpinya mengerami telur dan menjadi Ibu, terwujud.
Dengan Greenie dia banyak mengetahui tabiat hewan-hewan yang lain, semisal Ayam
betina dan anak-anaknya pengguni keluarga halaman yang tidak pernah
menganggapnya saudara. “Walaupun satu
jenis, belum tentu semuanya saling mencintai. Yang paling penting adalah saling
memahami! Itu baru namanya cinta….” (halaman 171), renung Leafie.
Saat melindungi Greenie
pula, Leafie akhirnya tahu bahwa Musang Si Pemburu tidaklah sejahat yang dia
banyangkan. Sebab, dibalik keinginannya memangsa Greenie, Anaknya, Si Musang
juga memiliki anak-anak di suatu gua yang kelaparan; dia memperjuangkan hidup
anaknya, tetapi Musang pun demikian.
Mengakhiri perenungan
panjangnya, Leafie menukar dirinya/ menyerahkan dirinya untuk dimangsa Musang
agar Greenie dan anak-anak musang sama-sama terselamatkan. Tentunya saat Greenie
telah dianggap mampu oleh Leafie berdiri di atas kemampuan sendiri. Sebuah keputusan
berat, dan secara akal sehat sulit dipercaya. “Memangsa dan hidup adalah hal baik, dimangsa dan mati adalah hal
buruk, semuanya tidak digambarkan dengan sesederhana itu sehingga berakhir di
situ.” (halaman 223), demikianlah Leafie menafsirkan keputusannya.
Dari kisah ini, saya
ingin sedikit penyinggung perihal perilaku altruistik yang pernah mendengung-dengung
di gendang telinga saat masih mahasiswa. Jika sudah berkegiatan yang mengatasnamakan “perjuangan untuk kaum mutad’afien”, maka sematan altruis
dengan serta merta mengikuti nama kita (itu dulu). Bahwa perilaku altruistik
adalah perilaku menolong yang timbul bukan karena adanya tekanan atau
kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan
norma–norma tertentu, sebagaimana definisi Walstren dan Piliavin. Maka Leafie
adalah Sang Altruis bagi Greenie. Tetapi, masih menurut Walstren dan Piliavin,
bahwa perilaku altruistik meski baik, juga menyisakan kerugian bagi pelakunya.
Karena perilaku altruistik meminta pengorbanan waktu, usaha, uang, dan
tidak ada imbalan atau pun reward dari
semua pengorbanan.
Perihal kerugian inilah
yang mesti banyak dipelajari dari Leafie. Karena Leafie sama sekali tidak
pernah berharap lebih dari Greenie, melainkan sekadar terpantiknya naluri
perempuannya; menjadi Ibu. Dan menjadi altruis adalah membuka hati dan pikiran
seluas-luasnya untuk dinaungi banyak masalah dan peristiwa. Memutuskan diri
menjadi seorang Altruis, sama halnya menggali tanah untuk ditanami “tumbal”.
Bukankah perilaku altruis senantiasa menuntut “tumbal”? Maka demikian pulalah
Leafie yang menyerahkan dirinya menjadi “tumbal”. Meski “tumbal” yang dimaksud
disini tidak meluluh menyerahkan nyawa. Tumbal-tumbal itu bisa saja berwajah
penderitaan, kesunyian, terbuang, dihinakan,dan tidak dianggap, seperti Leafie.
Dari sini saya tersadar bahwa apa yang saya lakukan sewaktu masih mahasiswa,
belumlah layak disebut perilaku altruistik, sebab saya belum pernah menjadi/
merasai “tumbal”. Ini yang sulit, karena untuk konteks sekarang, menjadikan
diri sebagai “tumbal” adalah hal yang langka, selangka orang-orang baik atau Sang Altruis.
NB: Terinspirasi dari novel Leafie; Ayam Buruk Rupa dan Itik
Kesayangannya karya Hwang Sun-mi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar