Selasa, 02 Februari 2016

Belajar Altruis dari Si Leafie

"Dedaunan adalah ibu dari para bunga. Bernapas sambil bertahan hidup walau dihempas angin. Menyimpan cahaya matahari dan membesarkan bunga putih yang menyilaukan mata. Jika bukan karena dedaunan, pohon pasti tidak dapat hidup. Dedaunan benar-benar hebat…."(hlm. 85).

Dialah Leafie, nama yang diambilnya dari dedaunan pohon Akasia. Mengapa Leafie (leaf)? Sebab daun adalah sebuah media ajaib yang menyerap kekuatan kosmik untuk keberlangusngan hidup pepohonan, dan bertumbuhnya bebuangaan. Dan Leafie, memiliki kisah hidup demikian. Sebagaimana daun yang masa mudanya dihabiskan  membantu proses fotosintesis, maka Leafie pun menjagal masa mudanya dalam sebuah peternakan dengan terus menerus bertelur untuk majikannya.

Masih seperti daun, jika sudah menguning maka dia akan segera gugur, demikian pula Leafie. Saat dirinya sudah tidak dibutuhkan lagi sebab kemampuannya bertelur tergerus, dia pun terbuang. Beruntung, dia tidak berakhir dalam lubang penuh bangkai semisal daun kering yang berakhir di pembakaran sampah. Leafie masih diberi kesempatan untuk mencoba kehidupan keduanya dengan bantuan Seekor Bebek Pengelana.


Perihal daun yang selalu mengadukan mimpinya dengan menengadah ke langit, Leafie pun demikian. Mimpi sedari awalnya adalah mengerami telur-telurnya dan merawat anak-anaknya. Namun bagaimana mungkin mimpi itu tercapai, bahkan diakhir dirinya memutuskan bertelur, dia hanya mampu menghasilkan telur dengan cangkang yang lembek. Tetapi jalan hidup memang tidak bisa ditebak, dan mimpi selalu menemukan jalannya jika dibekali kesungguhan.

Leafie diberi kesempatan oleh Bebek Pengelana mengerami telur karena betinanya mati dimangsa musang. Di tengah semak mawar berduri, dia menjadi seorang ibu untuk Greenie, si bebek kecil. Bersama Greenielah dia menjelajahi berbagai ruang kehidupan dan merasai suka-duka menjadi ibu. Di halaman peternakan, dia terbuang dan dihina oleh “keluarga halaman” (anjing tua, ayam jantan, ayam betina dan anak-anaknya, serta keluarga bebek). Saat berjuang mendapatkan sebiji makanan, dia terhempas dan mengais-ngais sisa agar Greenie bertumbuh. Bahkan di sarang sederhananya yang tersembunyi di belukar mawar dia selalu was-was karena intaian Si Musang yang menggebu-gebu memangsa Si Greenie.

Sisi menariknya, sebab Leafie bukanlah seekor bebek. Dia adalah seekor ayam petelur yang terbuang. Tetapi perbedaan jenis itu tidak lantas menjadikannya berjarak dengan Greenie. Justru itulah alasan terbesarnya menjaga dan membesarkan Greenie dengan susah payah. Bahwa bersama Greenie, mimpinya mengerami telur dan menjadi Ibu, terwujud. Dengan Greenie dia banyak mengetahui tabiat hewan-hewan yang lain, semisal Ayam betina dan anak-anaknya pengguni keluarga halaman yang tidak pernah menganggapnya saudara. “Walaupun satu jenis, belum tentu semuanya saling mencintai. Yang paling penting adalah saling memahami! Itu baru namanya cinta….” (halaman 171), renung Leafie.

Saat melindungi Greenie pula, Leafie akhirnya tahu bahwa Musang Si Pemburu tidaklah sejahat yang dia banyangkan. Sebab, dibalik keinginannya memangsa Greenie, Anaknya, Si Musang juga memiliki anak-anak di suatu gua yang kelaparan; dia memperjuangkan hidup anaknya, tetapi Musang pun demikian.

Mengakhiri perenungan panjangnya, Leafie menukar dirinya/ menyerahkan dirinya untuk dimangsa Musang agar Greenie dan anak-anak musang sama-sama terselamatkan. Tentunya saat Greenie telah dianggap mampu oleh Leafie berdiri di atas kemampuan sendiri. Sebuah keputusan berat, dan secara akal sehat sulit dipercaya. “Memangsa dan hidup adalah hal baik, dimangsa dan mati adalah hal buruk, semuanya tidak digambarkan dengan sesederhana itu sehingga berakhir di situ.” (halaman 223), demikianlah Leafie menafsirkan keputusannya.

Dari kisah ini, saya ingin sedikit penyinggung perihal perilaku altruistik yang pernah mendengung-dengung di gendang telinga saat masih mahasiswa. Jika sudah berkegiatan yang mengatasnamakan “perjuangan untuk kaum mutad’afien”, maka sematan altruis dengan serta merta mengikuti nama kita (itu dulu). Bahwa perilaku altruistik adalah perilaku menolong yang timbul bukan karena adanya tekanan atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan norma–norma tertentu, sebagaimana definisi Walstren dan Piliavin. Maka Leafie adalah Sang Altruis bagi Greenie. Tetapi, masih menurut Walstren dan Piliavin, bahwa perilaku altruistik meski baik, juga menyisakan kerugian bagi pelakunya. Karena perilaku altruistik  meminta pengorbanan waktu, usaha, uang, dan tidak ada imbalan atau pun reward dari semua pengorbanan.

Perihal kerugian inilah yang mesti banyak dipelajari dari Leafie. Karena Leafie sama sekali tidak pernah berharap lebih dari Greenie, melainkan sekadar terpantiknya naluri perempuannya; menjadi Ibu. Dan menjadi altruis adalah membuka hati dan pikiran seluas-luasnya untuk dinaungi banyak masalah dan peristiwa. Memutuskan diri menjadi seorang Altruis, sama halnya menggali tanah untuk ditanami “tumbal”. Bukankah perilaku altruis senantiasa menuntut “tumbal”? Maka demikian pulalah Leafie yang menyerahkan dirinya menjadi “tumbal”. Meski “tumbal” yang dimaksud disini tidak meluluh menyerahkan nyawa. Tumbal-tumbal itu bisa saja berwajah penderitaan, kesunyian, terbuang, dihinakan,dan tidak dianggap, seperti Leafie. Dari sini saya tersadar bahwa apa yang saya lakukan sewaktu masih mahasiswa, belumlah layak disebut perilaku altruistik, sebab saya belum pernah menjadi/ merasai “tumbal”. Ini yang sulit, karena untuk konteks sekarang, menjadikan diri sebagai “tumbal” adalah hal yang langka, selangka orang-orang baik atau Sang Altruis.


NB: Terinspirasi dari novel Leafie; Ayam Buruk Rupa dan Itik Kesayangannya karya Hwang Sun-mi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...