Masih ada sisa-sisa hujan menggantung di dedaunan,
namun aku harus bergegas ke sekolah. Waktuku tersisa sepuluh menit lagi, agar
tak terlambat. Sebab jika telat sedikit saja, beberapa orang muridku pasti akan
datang mencari, berteriak-teriak memanggil, dan gaduhlah seluruh penghuni
kost-kostan. Ini kebiasaan mereka yang sama sekali tidak pernah kuajarkan. Bahkan
kularang sekali pun, mereka tetap akan melakukannya jika aku telat ke sekolah.
Olehnya itu, sebisaku datang lebih dahulu dari mereka, agar “kegaduhan”
terhindari.
Seperti hari-hari sebelumnya, saat tiba di sekolah
seorang rekanku telah stand by di
depan monitor, membuat bahan ajar pesanan kami. Di tempat ini, bahan ajar tidak
dibeli di toko buku untuk dibuat diktat lalu dibagikan ke tiap murid, melainkan
diolah sendiri oleh masing-masing penanggung jawab kelas. Alasannya, berhemat
karena tidak semua murid mampu membeli bahan ajar, dan menggelitik kreativitas
guru dengan menyesuaikan bahan ajar terhadap kemampuan tiap-tiap anak.
Referensinya adalah buku-buku tentang pendidikan anak, lingkungan anak
bertumbuh, dan potensi/ kecerdasan masing-masing anak. Meski demikin, bukan
berarti sekolah kamilah terhebat. Semuanya masih dalam proses, “Learning by doing.” Kata temanku. Kami
menyakini, setiap ruang pasti memiliki celah, bagaimanapun kita pandai
menambalnya. Pun pada kami, celah itu selalu ada. Terbuka bagi siapa saja untuk
memerbaikinya.
Pemandangan yang sering pula dijumpai setiap pagi
adalah mainan balok plastik warna-warni yang berhamburan kesana-kemari, beserta
puzzle yang potongan-potongan
mozaiknya tidak beraturan. Dibiarkan begitu saja, untuk memancing anak-anak
berkreativitas. Kami menyebut waktu bermain sebagai “Alpha Zone”. Ruang ini terbuka bagi mereka untuk bermain, mengaji,
mendengarkan cerita, membaca (tepatnya melihat-lihat gambar) buku, atau
bercerita perbuatan baik dan apa saja yang mereka dapatkan setelah pulang
sekolah. Pun boleh bertanya tentang banyak hal yang belum mereka mengerti. Di
poin terakhir inilah, aku sering direpotkan dengan pertanyaan anak-anak yang
polos, mesti memutar otak menjawabnya.
Seperti halnya pertanyaan seorang anak pagi ini, “Bu, bisakah saya menjadi
putri duyung? Mauka jadi putri duyung, suka menolong orang.”
Aku terdiam, pusing mesti menjawab apa. Tanyangan
sinetron telah menghipnotis imajinasi anak ini. “Putri Duyung itu hanya ada di
televisi, Nak. Tidak ada di kehidupan nyata. Jadi sebaiknya menjadi dokter saja
sebagaimana cita-citata yang pernah kita bilang. Dokter juga bisa menolong
orang sakit, sebagaimana putri duyung menyelamatkan orang tenggelam.” Kuakui
jawabanku sangat retoris. Anak itu menatapku,
entah jawabanku singgah di benaknya atau hanya numpang lewat. Yang jelasnya dia
tidak bertanya lagi, dia berlari ke halaman sekolah, bermain ayunan bersama
teman-temannya.
Namun saban hari, gadis kecil yang kami gelari Putri
Malu ini bertanya lagi, “Bu, kenapa perempuan tidak boleh shalat jum’at?”
Astaga, aku benar-benar tidak menyangka pertanyaan
ini. Memang setiap hari jum'at setelah kelas “jum’at ceria”, aku selalu
mengingatkan mereka pulang cepat, bersihkan badan dan pakaian, lalu ke masjid
shalat jum’at. Dan kutekankan untuk anak-anak lelaki. Tidak bagi perempuan.
Ternyata, Si Putri Malu adalah penyimak yang baik, dia menangkap apa yang
kuucapkan, lalu memilah-milah mana yang mesti dipertanyakan. Untuk pertanyaan
yang satu ini, tidak mungkin kukatakan bahwa tidak ada larangan pasti bagi
perempuan yang ingin shalat di masjid pada hari jum’at. Tetapi bagaimana harus kujelaskan?
Kata-kataku terlalu ketuaan untuk menjamah otaknya. Karena terlalu lama memutar
otak, matanya menatapku tajam,
mempertegas keingintahuannya. Akhirnya kujawab, “karena saat shalat jum’at, ada
begitu banyak laki-laki di masjid sehingga perempuan tidak kebagian tempat. Lagian,
agar tidak diganggu oleh anak-anak lelaki, mendingan perempuan shalat di rumah
saja.” Sungguh apoligis.
Dia termangu, melongo kepadaku. Entah mengerti atau
tidak dengan jawabanku, tetapi akhirnya dia diam. Kutahu, jawaban ini pas
menyentuh sisi dirinya yang pemalu, apalagi pada anak-anak lelaki. Jadinya dia
sepakat dengan jawabanku, semoga tidak tersimpan di memori jangka panjangnya.
Ini belum seberapa. Suatu hari ibu Si Putri Malu
datang padaku. Pagi itu aku bermain bola bersama beberapa murid lelaki. Bola
menggelinding di kakiku saat kudapati rona gelisah diririnya. Dia
mengkhawatirkan putrinya, katanya akhir-akhir ini Si Putri Malu selalu
menghabiskan waktu bermainnya di gereja. Menurut kabar ibunya, ada sebuah
gereja di depan rumah mereka, dan banyak anak-anak yang bermain di sana. Pun
dengan Putri Malu. Karena itu, dia jadi takut anaknya terlalu banyak menyerap
hal-hal tentang ajaran di gereja. Akhirnya dia melarang Si Putri Malu bermain
di sana, tetapi Putri Malu selalu saja mencuri-curi waktu menemui teman-teman
yang berbeda keyakinan dengannya. Dia meminta solusi tentang ini, dan aku pun
menjelaskan bahwa melarang bukanlah solusi, sebab si anak akan semakin
penasaran alasan mereka dilarang. Biarkan dia bermain di sana, lalu ajaklah dia
bercerita setelah bermain, dan luruskan yang mesti diluruskan. “Anak-anak belum
mengerti, Bu tentang perbedaan ajaran tiap agama, dan alangkah tidak adilnya
jika kita menghukumi ketidaktahuannya dengan pengetahuan dewasa kita. “ tegasku
pagi itu pada Si ibu, menutup penjelasanku. Si Ibu pun mengangguk, dan
menitipkan putrinya.
Sepulangnya Si Ibu, kudekati Putri Malu, yang sibuk
menyusun balok plastik warna-warni menjadi sebuah bangunan. Kutanya, “sedang
membuat apa?”
“Gereja….” Jawabnya.
“Cantiknya… gerejanya warna-warni, yah.” Pujiku.
Dia meletakkan karyanya itu, kemudian menatapku. “Kenapa
Mama larangka ke gereja?” Ternyata sedari tadi dia menguping pembicaraanku
dengan ibunya.
Tidak langsung kujawab, kuperhatikan dengan seksama
raut wajahnya. Ada air muka polos mengalir di sana. Dan aku berusaha menjawab
mengikuti alur pikir anak-anaknya. “Karena na sayangki mamata. Dia mau kalau
kita tidur siang dulu baru boleh main-main.”
Aku menangkap ketidakpuasan pada tatapannya, “Tetapi
na bilang, Mama, ndak bagus bedeng kalau mainki ke gereja. Iyekah, Bu guru?”
“Mama benar. Tidak bagus kalau sepulang sekolah
langsungki ke sana main-main, padahal masih capekki. Khawatirki mama kalau
sakitki karena kecapeaan. Baru tidak belajarmiki dan bantu mamata juga. Tetapi
kalau selesaimiki istirahat, belajar, dan bantu mama, tidak apa-apaji ke sana
main-main.”
“Bu guruuuuu….” Nada bicaranya meninggi. “Tetapi
nalarangka, Mama belaaa. Ndak baik bede itu orang kristen. Padahal pernahka na
kasi’ kuenya waktu pengobatan gratis di gereja.” Dia terus mengejarku dengan
pertanyaan.
Kuusap kepalanya yang tertutupi jilbab. “Nak,
pernahkikah na pukul teman-temanta yang kristen kalau main-mainki?” Dia
menggeleng. “Nah, kalau begitu mereka sayangki toh? Berarti mereka baik.
Apalagi na kasi’ kuenya, berarti mereka suka berbagi. Bu guru pernah bilang,
salah satu perbuatan baik, adalah berbagi. Artinya mereka sangat baik.”
“Saya juga pernahji kasi’ gerupukku waktu
main-mainka sama. Na minta juga teh gelasku, jadi kukasi’ki sebagian karena
haus sekaliki kuliat.”
“Bagus, Nak. Berarti kita juga anak baik, karena
sukaki berbagi dan sayang sama temanta.”
“Jadi ndak apa-apaji, Bu main dengan mereka?”
Aku tersenyum, “tentu tidak. Bahkan bermain dengan
mereka, membuat kamu memiliki banyak teman.”
“Waktu natalan juga orang pergika ke sana, tapi
diluarja. Terus ada temanku panggilka, baru na kasi’ka gula-gula sama kembang
apinya, liatka juga Santa Claus berdiri di dekat pintu. Suka bagi-bagi hadiah
bedeng itu Santa, Bu sama anak-anak kalau natal?”
“Iye, Nak. Dia memang suka bagi-bagi hadiah. Karena
itu Santa adalah orang yang baik, dan disayangi anak-anak. Siapapun yang suka
berbagi, maka dia adalah orang baik. Dan orang baik tentunya punya banyak
teman. Selain Santa, ada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka juga
orang baik, penolong, dan suka berbagi. Pokoknya, ada banyak orang baik di
dunia ini. Tinggal kita yang pilihki untuk di contoi. Yang penting, Nak.
Sering-seringki berbuat baik sama orang, kasi’ contoh sama teman-temanta. Masih ingatki
contoh-contoh perbuatan baik?”
“Sayang teman, suka berbagi, berkata jujur, suka
memaafkan, berterima kasih, meminta izin jika ingin menggunakan barang milik
orang lain, berkata jujur, bantu mama membersihkan rumah…….” Urainya satu
persatu
Kulekatkan satu ciuman di keningnya, berharap dia
terus mengingat semuanya dan melakukannya tanpa paksaan.
Dia pun akhirnya tersenyum, “mauka tanyaki mama, na
bilang Bu guru ndak apa-apaji main-main di gereja….” Teriaknya, gembira. Kini
dia telah menyelesaikan satu banguan lagi dengan balok plastik. Katanya itu
masjid. Dia meletakkannya berdampingan dengan bangunan sebelumnya.
Kutinggalkan Si Putri Malu bersama kegembiraannya.
Semoga kelak dia akan lebih mengerti tentang indahnya hidup berdampingan,
saling menyayangi, dan saling menghormati pada yang berbeda. Sekarang yang ada
dalam pikiranku adalah menghubungi Ibu, Si Putri Malu untuk berbagi cerita
dengannya tentang dialog yang baru saja kulewati bersama anaknya. Sebab dirumahlah
ruang belajar paling utama, seorang anak tentang menyikapi perbedaan secara
bijaksana. Dan itu diawali oleh kedua orang tuanya. Sekolah hanyalah wadah sementara,
tempat memilih dan menanamkan benih-benih “bijaksana dan kebaikan”. Subur
tidaknya benih itu, bergantung pada sejauhmana orang tua merawatnya di rumah.
Akhirnya, Alpha
Zone berakhir, waktunya berbaris. Jam menunjukkan pukul 09.00 pagi. Dan anak-anak
pun riuh menyanyikan Mars Cakrawala;
Kami anak
cakrawala
Selalu riang
gembira
Karena Allah
penolong kami
Kami anak
cakrawala
Cinta dan sayang
sesama
Karena rasul
teladan kami
Dengarlah… dengar
lagu kami
Sebagai tanda
syukur kami
Ingatlah s’lalu
tuk bersyukur
Karena Allah
Maha Penyayang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar