Rabu, 27 Januari 2016

Toleransi Ala Si Putri Malu

Masih ada sisa-sisa hujan menggantung di dedaunan, namun aku harus bergegas ke sekolah. Waktuku tersisa sepuluh menit lagi, agar tak terlambat. Sebab jika telat sedikit saja, beberapa orang muridku pasti akan datang mencari, berteriak-teriak memanggil, dan gaduhlah seluruh penghuni kost-kostan. Ini kebiasaan mereka yang sama sekali tidak pernah kuajarkan. Bahkan kularang sekali pun, mereka tetap akan melakukannya jika aku telat ke sekolah. Olehnya itu, sebisaku datang lebih dahulu dari mereka, agar “kegaduhan” terhindari.


Seperti hari-hari sebelumnya, saat tiba di sekolah seorang rekanku telah stand by di depan monitor, membuat bahan ajar pesanan kami. Di tempat ini, bahan ajar tidak dibeli di toko buku untuk dibuat diktat lalu dibagikan ke tiap murid, melainkan diolah sendiri oleh masing-masing penanggung jawab kelas. Alasannya, berhemat karena tidak semua murid mampu membeli bahan ajar, dan menggelitik kreativitas guru dengan menyesuaikan bahan ajar terhadap kemampuan tiap-tiap anak. Referensinya adalah buku-buku tentang pendidikan anak, lingkungan anak bertumbuh, dan potensi/ kecerdasan masing-masing anak. Meski demikin, bukan berarti sekolah kamilah terhebat. Semuanya masih dalam proses, “Learning by doing.” Kata temanku. Kami menyakini, setiap ruang pasti memiliki celah, bagaimanapun kita pandai menambalnya. Pun pada kami, celah itu selalu ada. Terbuka bagi siapa saja untuk memerbaikinya.

Pemandangan yang sering pula dijumpai setiap pagi adalah mainan balok plastik warna-warni yang berhamburan kesana-kemari, beserta puzzle yang potongan-potongan mozaiknya tidak beraturan. Dibiarkan begitu saja, untuk memancing anak-anak berkreativitas. Kami menyebut waktu bermain sebagai “Alpha Zone”. Ruang ini terbuka bagi mereka untuk bermain, mengaji, mendengarkan cerita, membaca (tepatnya melihat-lihat gambar) buku, atau bercerita perbuatan baik dan apa saja yang mereka dapatkan setelah pulang sekolah. Pun boleh bertanya tentang banyak hal yang belum mereka mengerti. Di poin terakhir inilah, aku sering direpotkan dengan pertanyaan anak-anak yang polos,  mesti memutar otak menjawabnya. Seperti halnya pertanyaan seorang anak pagi ini, “Bu, bisakah saya menjadi putri duyung? Mauka jadi putri duyung, suka menolong orang.”

Aku terdiam, pusing mesti menjawab apa. Tanyangan sinetron telah menghipnotis imajinasi anak ini. “Putri Duyung itu hanya ada di televisi, Nak. Tidak ada di kehidupan nyata. Jadi sebaiknya menjadi dokter saja sebagaimana cita-citata yang pernah kita bilang. Dokter juga bisa menolong orang sakit, sebagaimana putri duyung menyelamatkan orang tenggelam.” Kuakui jawabanku sangat retoris. Anak  itu menatapku, entah jawabanku singgah di benaknya atau hanya numpang lewat. Yang jelasnya dia tidak bertanya lagi, dia berlari ke halaman sekolah, bermain ayunan bersama teman-temannya.

Namun saban hari, gadis kecil yang kami gelari Putri Malu ini bertanya lagi, “Bu, kenapa perempuan tidak boleh shalat jum’at?”

Astaga, aku benar-benar tidak menyangka pertanyaan ini. Memang setiap hari jum'at setelah kelas “jum’at ceria”, aku selalu mengingatkan mereka pulang cepat, bersihkan badan dan pakaian, lalu ke masjid shalat jum’at. Dan kutekankan untuk anak-anak lelaki. Tidak bagi perempuan. Ternyata, Si Putri Malu adalah penyimak yang baik, dia menangkap apa yang kuucapkan, lalu memilah-milah mana yang mesti dipertanyakan. Untuk pertanyaan yang satu ini, tidak mungkin kukatakan bahwa tidak ada larangan pasti bagi perempuan yang ingin shalat di masjid pada hari jum’at. Tetapi bagaimana harus kujelaskan? Kata-kataku terlalu ketuaan untuk menjamah otaknya. Karena terlalu lama memutar otak,  matanya menatapku tajam, mempertegas keingintahuannya. Akhirnya kujawab, “karena saat shalat jum’at, ada begitu banyak laki-laki di masjid sehingga perempuan tidak kebagian tempat. Lagian, agar tidak diganggu oleh anak-anak lelaki, mendingan perempuan shalat di rumah saja.” Sungguh apoligis.

Dia termangu, melongo kepadaku. Entah mengerti atau tidak dengan jawabanku, tetapi akhirnya dia diam. Kutahu, jawaban ini pas menyentuh sisi dirinya yang pemalu, apalagi pada anak-anak lelaki. Jadinya dia sepakat dengan jawabanku, semoga tidak tersimpan di memori jangka panjangnya.

Ini belum seberapa. Suatu hari ibu Si Putri Malu datang padaku. Pagi itu aku bermain bola bersama beberapa murid lelaki. Bola menggelinding di kakiku saat kudapati rona gelisah diririnya. Dia mengkhawatirkan putrinya, katanya akhir-akhir ini Si Putri Malu selalu menghabiskan waktu bermainnya di gereja. Menurut kabar ibunya, ada sebuah gereja di depan rumah mereka, dan banyak anak-anak yang bermain di sana. Pun dengan Putri Malu. Karena itu, dia jadi takut anaknya terlalu banyak menyerap hal-hal tentang ajaran di gereja. Akhirnya dia melarang Si Putri Malu bermain di sana, tetapi Putri Malu selalu saja mencuri-curi waktu menemui teman-teman yang berbeda keyakinan dengannya. Dia meminta solusi tentang ini, dan aku pun menjelaskan bahwa melarang bukanlah solusi, sebab si anak akan semakin penasaran alasan mereka dilarang. Biarkan dia bermain di sana, lalu ajaklah dia bercerita setelah bermain, dan luruskan yang mesti diluruskan. “Anak-anak belum mengerti, Bu tentang perbedaan ajaran tiap agama, dan alangkah tidak adilnya jika kita menghukumi ketidaktahuannya dengan pengetahuan dewasa kita. “ tegasku pagi itu pada Si ibu, menutup penjelasanku. Si Ibu pun mengangguk, dan menitipkan putrinya.

Sepulangnya Si Ibu, kudekati Putri Malu, yang sibuk menyusun balok plastik warna-warni menjadi sebuah bangunan. Kutanya, “sedang membuat apa?”

“Gereja….” Jawabnya.

“Cantiknya… gerejanya warna-warni, yah.” Pujiku.

Dia meletakkan karyanya itu, kemudian menatapku. “Kenapa Mama larangka ke gereja?” Ternyata sedari tadi dia menguping pembicaraanku dengan ibunya.

Tidak langsung kujawab, kuperhatikan dengan seksama raut wajahnya. Ada air muka polos mengalir di sana. Dan aku berusaha menjawab mengikuti alur pikir anak-anaknya. “Karena na sayangki mamata. Dia mau kalau kita tidur siang dulu baru boleh main-main.”

Aku menangkap ketidakpuasan pada tatapannya, “Tetapi na bilang, Mama, ndak bagus bedeng kalau mainki ke gereja. Iyekah, Bu guru?”

“Mama benar. Tidak bagus kalau sepulang sekolah langsungki ke sana main-main, padahal masih capekki. Khawatirki mama kalau sakitki karena kecapeaan. Baru tidak belajarmiki dan bantu mamata juga. Tetapi kalau selesaimiki istirahat, belajar, dan bantu mama, tidak apa-apaji ke sana main-main.”

“Bu guruuuuu….” Nada bicaranya meninggi. “Tetapi nalarangka, Mama belaaa. Ndak baik bede itu orang kristen. Padahal pernahka na kasi’ kuenya waktu pengobatan gratis di gereja.” Dia terus mengejarku dengan pertanyaan.

Kuusap kepalanya yang tertutupi jilbab. “Nak, pernahkikah na pukul teman-temanta yang kristen kalau main-mainki?” Dia menggeleng. “Nah, kalau begitu mereka sayangki toh? Berarti mereka baik. Apalagi na kasi’ kuenya, berarti mereka suka berbagi. Bu guru pernah bilang, salah satu perbuatan baik, adalah berbagi. Artinya mereka sangat baik.”

“Saya juga pernahji kasi’ gerupukku waktu main-mainka sama. Na minta juga teh gelasku, jadi kukasi’ki sebagian karena haus sekaliki kuliat.”

“Bagus, Nak. Berarti kita juga anak baik, karena sukaki berbagi dan sayang sama temanta.”

“Jadi ndak apa-apaji, Bu main dengan mereka?”

Aku tersenyum, “tentu tidak. Bahkan bermain dengan mereka, membuat kamu memiliki banyak teman.”

“Waktu natalan juga orang pergika ke sana, tapi diluarja. Terus ada temanku panggilka, baru na kasi’ka gula-gula sama kembang apinya, liatka juga Santa Claus berdiri di dekat pintu. Suka bagi-bagi hadiah bedeng itu Santa, Bu sama anak-anak kalau natal?”

“Iye, Nak. Dia memang suka bagi-bagi hadiah. Karena itu Santa adalah orang yang baik, dan disayangi anak-anak. Siapapun yang suka berbagi, maka dia adalah orang baik. Dan orang baik tentunya punya banyak teman. Selain Santa, ada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka juga orang baik, penolong, dan suka berbagi. Pokoknya, ada banyak orang baik di dunia ini. Tinggal kita yang pilihki untuk di contoi. Yang penting, Nak. Sering-seringki berbuat baik sama orang,  kasi’ contoh sama teman-temanta. Masih ingatki contoh-contoh perbuatan baik?”

“Sayang teman, suka berbagi, berkata jujur, suka memaafkan, berterima kasih, meminta izin jika ingin menggunakan barang milik orang lain, berkata jujur, bantu mama membersihkan rumah…….” Urainya satu persatu

Kulekatkan satu ciuman di keningnya, berharap dia terus mengingat semuanya dan melakukannya tanpa paksaan.

Dia pun akhirnya tersenyum, “mauka tanyaki mama, na bilang Bu guru ndak apa-apaji main-main di gereja….” Teriaknya, gembira. Kini dia telah menyelesaikan satu banguan lagi dengan balok plastik. Katanya itu masjid. Dia meletakkannya berdampingan dengan bangunan sebelumnya.

Kutinggalkan Si Putri Malu bersama kegembiraannya. Semoga kelak dia akan lebih mengerti tentang indahnya hidup berdampingan, saling menyayangi, dan saling menghormati pada yang berbeda. Sekarang yang ada dalam pikiranku adalah menghubungi Ibu, Si Putri Malu untuk berbagi cerita dengannya tentang dialog yang baru saja kulewati bersama anaknya. Sebab dirumahlah ruang belajar paling utama, seorang anak tentang menyikapi perbedaan secara bijaksana. Dan itu diawali oleh kedua orang tuanya. Sekolah hanyalah wadah sementara, tempat memilih dan menanamkan benih-benih “bijaksana dan kebaikan”. Subur tidaknya benih itu, bergantung pada sejauhmana orang tua merawatnya di rumah.

Akhirnya, Alpha Zone berakhir, waktunya berbaris. Jam menunjukkan pukul 09.00 pagi. Dan anak-anak pun riuh menyanyikan Mars Cakrawala;

Kami anak cakrawala
Selalu riang gembira
Karena Allah penolong kami
Kami anak cakrawala
Cinta dan sayang sesama
Karena rasul teladan kami

Dengarlah… dengar lagu kami
Sebagai tanda syukur kami
Ingatlah s’lalu tuk bersyukur
Karena Allah Maha Penyayang         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...