“The
world always looks brighter from behind a children smile….”
Senyuman anak-anak
selalu tampak luar biasa di mataku. Dan beruntung karena aku selalu
mendapatkannya sepanjang hari di tiap hari-hariku. Senyuman itu di pandanganku,
bagai mekaran bebungaan di pagi hari, indah. Juga seperti hembusan angin sepoi,
sejuk dan membuatku selalu nyaman melihatnya. Ada keteduhan dirasai jiwa
mendapati satu senyuman saja dari bibir anak-anak. Bagaikan bintang kejora yang
berbagi sinar paling indah dan terangnya di pelupuk mata. Seperti pula kembang
gula, selalu manis diliat dan disentuh pada ujung lidah.
Setiap mendapati
sedikit saja lengkungan bibir tipis di wajah anak-anak, aku jadi merasa kembali
pulang ke masa kecil yang bahagia, tanpa beban, serta ceria. Jadi teringat
dengan pesan ibu, “kelak ketika kamu besar, kamu akan merindukan indahnya masa
kecil.” Pesan pendek yang tersimpan di memori jangka panjang otakku. Aku selalu
mengingatnya setiap kali melihat senyuman anak-anak, sebab dibalik senyuman
itu, pelan-pelan kupahami makna pesan ibu. Tentunya, menangkap makna senyuman
mereka dengan pikiran dewasaku.
Betapa ringannya mereka
berbagi satu senyuman. Sungguh polos dan tulus. Mungkin karena setangkup beban
belum menjadi penghalang terciptanya senyuman itu. Dan mungkin pula mereka
belum mengerti bahwa kelak ada beberapa hal yang membuatnya lupa akan senyuman,
atau membuat mereka rindu tersenyum. Yang ada di benak mereka, hanyalah
menertawai hal-hal yang dianggap lucu dengan lepas dan ekspresi menggemaskan. Hanya
sebatas itu, sebab kuyakin mereka belum sepenuhnya menyadari betapa berartinya
sebuah senyuman bagi kesehatan hati, dan kebahagiaan orang-orang di sekeliling.
“I've
never seen a smiling face that was not beautiful….”
Aku terkadang senang
sekaligus menangis jika mendapati satu lengkungan di sudut bibir anak-anak. Senang
karena mereka ibarat sekuntum teratai yang bermekaran indah di pagi hari dengan
ikhlas dan sempurna. Bahkan titik-titik embun pun enggan meninggalkannya,
karena ingin terus bersama dengan keindahan mekaran teratai. Senyuman anak-anak
semisal itu, sungguh, aku bahagia, mengingat sulitnya tersenyum tulus seperti
mereka. Dari senyuman itu, anak-anak mewarnai dunianya sendiri, memberi makna
pada dirinya di luar jangkauan sadar orang-orang dewasa. Sungguh menakjubkan,
bukan? Dan aku juga sekaligus menangis, batinku kehilangan pancaran bahagia
karena di mataku setiap kali merindukan senyum itu, aku selalu teringat dengan
kanak-kanak yang berhamburan di emperan toko, di lampu merah, atau di
tempat-tempat keramaian untuk mencari nafkah.
Senyuman mereka, tak
seindah mekaran teratai. Hanya ibarat sebatang kaktus, yang enggan terpisah
dari duri-durinya. Sepanjang hari, mereka membawa berbagai tuntutan hidup yang
menggunung di pundaknya. Hidupnya kaku, tak elok di pandang mata. Mereka
kehilangan lengkungan bibir yang selalu kurindu, dimasa anak-anaknya. Beban
hidup yang tak seharusnya di pundak, kini menjadi santapan setiap hari. Mereka tidak
memiliki masa anak-anak yang bahagia, beban hidup membuatnya kehilangan
keceriaan dan senyuman. Aku haru untuk anak-anakku yang lusu, kurus, dan kaku
menanti uluran tangan seseorang dengan muka yang memelas. Aku sedih pada
mereka, yang masih terlalu kecil namun terlanjur diajarkan menggadai satu
senyuman demi sekeping rupiah dengan gitar kecilnya. Terpaksa membagi satu
senyuman, tetapi begitu hambar sebagaimana kaktus yang kadang tak diinginkan.
Sebuah kejahatan orang
dewasa yang begitu bengis, merenggut senyuman di bibir mungil anak-anak.
Padahal, jika diusia belia, seorang anak kehilangan kesempatan untuk tersenyum,
maka seumur hidupnya mereka akan susah berbagi senyuman. Selanjutnya berefek pula
pada bebalnya jiwa mereka, matinya hati, dan hidupnya menjadi kasar dan egois.
Demikian pula dengan dunia kecilnya, akan menjadi gelap karena tak ada lagi
berbagai warna dari pelangi hati yang bahagia. Kreativitas anak-anak terpenggal
satu-satu dan akhirnya hilang, sebab satu senyuman tak lagi dimilikinya. Karena
itu, biarkan senyuman itu tetap melengkung seumpama pelangi yang selalu
dikagumi, dirindui, dan dipuja setiap mata yang memandang.
“Life
is like a mirror, we get the best results when we smile at it….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar