Rabu, 27 Januari 2016

“Senyuman”

“The world always looks brighter from behind a children smile….”

Senyuman anak-anak selalu tampak luar biasa di mataku. Dan beruntung karena aku selalu mendapatkannya sepanjang hari di tiap hari-hariku. Senyuman itu di pandanganku, bagai mekaran bebungaan di pagi hari, indah. Juga seperti hembusan angin sepoi, sejuk dan membuatku selalu nyaman melihatnya. Ada keteduhan dirasai jiwa mendapati satu senyuman saja dari bibir anak-anak. Bagaikan bintang kejora yang berbagi sinar paling indah dan terangnya di pelupuk mata. Seperti pula kembang gula, selalu manis diliat dan disentuh pada ujung lidah.


Setiap mendapati sedikit saja lengkungan bibir tipis di wajah anak-anak, aku jadi merasa kembali pulang ke masa kecil yang bahagia, tanpa beban, serta ceria. Jadi teringat dengan pesan ibu, “kelak ketika kamu besar, kamu akan merindukan indahnya masa kecil.” Pesan pendek yang tersimpan di memori jangka panjang otakku. Aku selalu mengingatnya setiap kali melihat senyuman anak-anak, sebab dibalik senyuman itu, pelan-pelan kupahami makna pesan ibu. Tentunya, menangkap makna senyuman mereka dengan pikiran dewasaku.

Betapa ringannya mereka berbagi satu senyuman. Sungguh polos dan tulus. Mungkin karena setangkup beban belum menjadi penghalang terciptanya senyuman itu. Dan mungkin pula mereka belum mengerti bahwa kelak ada beberapa hal yang membuatnya lupa akan senyuman, atau membuat mereka rindu tersenyum. Yang ada di benak mereka, hanyalah menertawai hal-hal yang dianggap lucu dengan lepas dan ekspresi menggemaskan. Hanya sebatas itu, sebab kuyakin mereka belum sepenuhnya menyadari betapa berartinya sebuah senyuman bagi kesehatan hati, dan kebahagiaan orang-orang di sekeliling.

“I've never seen a smiling face that was not beautiful….”

Aku terkadang senang sekaligus menangis jika mendapati satu lengkungan di sudut bibir anak-anak. Senang karena mereka ibarat sekuntum teratai yang bermekaran indah di pagi hari dengan ikhlas dan sempurna. Bahkan titik-titik embun pun enggan meninggalkannya, karena ingin terus bersama dengan keindahan mekaran teratai. Senyuman anak-anak semisal itu, sungguh, aku bahagia, mengingat sulitnya tersenyum tulus seperti mereka. Dari senyuman itu, anak-anak mewarnai dunianya sendiri, memberi makna pada dirinya di luar jangkauan sadar orang-orang dewasa. Sungguh menakjubkan, bukan? Dan aku juga sekaligus menangis, batinku kehilangan pancaran bahagia karena di mataku setiap kali merindukan senyum itu, aku selalu teringat dengan kanak-kanak yang berhamburan di emperan toko, di lampu merah, atau di tempat-tempat keramaian untuk mencari nafkah.

Senyuman mereka, tak seindah mekaran teratai. Hanya ibarat sebatang kaktus, yang enggan terpisah dari duri-durinya. Sepanjang hari, mereka membawa berbagai tuntutan hidup yang menggunung di pundaknya. Hidupnya kaku, tak elok di pandang mata. Mereka kehilangan lengkungan bibir yang selalu kurindu, dimasa anak-anaknya. Beban hidup yang tak seharusnya di pundak, kini menjadi santapan setiap hari. Mereka tidak memiliki masa anak-anak yang bahagia, beban hidup membuatnya kehilangan keceriaan dan senyuman. Aku haru untuk anak-anakku yang lusu, kurus, dan kaku menanti uluran tangan seseorang dengan muka yang memelas. Aku sedih pada mereka, yang masih terlalu kecil namun terlanjur diajarkan menggadai satu senyuman demi sekeping rupiah dengan gitar kecilnya. Terpaksa membagi satu senyuman, tetapi begitu hambar sebagaimana kaktus yang kadang tak diinginkan.

Sebuah kejahatan orang dewasa yang begitu bengis, merenggut senyuman di bibir mungil anak-anak. Padahal, jika diusia belia, seorang anak kehilangan kesempatan untuk tersenyum, maka seumur hidupnya mereka akan susah berbagi senyuman. Selanjutnya berefek pula pada bebalnya jiwa mereka, matinya hati, dan hidupnya menjadi kasar dan egois. Demikian pula dengan dunia kecilnya, akan menjadi gelap karena tak ada lagi berbagai warna dari pelangi hati yang bahagia. Kreativitas anak-anak terpenggal satu-satu dan akhirnya hilang, sebab satu senyuman tak lagi dimilikinya. Karena itu, biarkan senyuman itu tetap melengkung seumpama pelangi yang selalu dikagumi, dirindui, dan dipuja setiap mata yang memandang.


“Life is like a mirror, we get the best results when we smile at it….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...