Rabu, 27 Januari 2016

Senja yang Bersahaja

Seperti yang kusaksikan kemarin, hari ini kudapati lagi dirinya duduk di teras rumah bersama segelas kopi hitam kesukaannya. Mungkin inilah kebiasaan menyiasati senja agar tak berlalu begitu saja. Telah hampir seminggu aku mengamati, jika melintas di depannya. Aku tertarik pada dirinya sejak diriku pindah, bermukim tepat di samping rumahnya. Bahkan, rumah yang baru kubeli itu, hanya dipisahkan oleh pagar bambu yang tingginya sekitar 60 cm. Jika kupandang, meski sejenak, kutemukan telaga dengan rerumputan hijau di matanya. Airnya bening, nyaris tanpa riak. Pun pada geraknya yang mengalun, seumpama gadis-gadis Pakkarena meriuh nada genderang. Dia seorang lelaki teduh, mungkin seusia ayahku.


Lelaki itu secara fisik, biasa saja. Perawakannya yang tinggi, namun sedikit kurus mempertegas lumuran usianya. Meski begitu, ada wibawa  terselip di setiap tatapan, bicara, pun langkahnya. Kata orang sekitar, dia adalah seorang Arung. Tetapi namanya tak dilekati darah itu. Dia memilih memakai nama biasa sebagaimana orang kebanyakan. Tanpa sedikit pun inisial yang biasa dibanggakan peletak garis keturunannya. Mengapa? Alasannya tak ada yang tahu. Aku juga mendengar rumor yang berkembang, dia hidup seorang diri kini. Dahulu dia memiliki seorang istri yang memesona, dan empat orang anak gadis.  Tetapi setelah istrinya meninggal, dia memilih hidup bersama romansa indah Si Istri; sendiri. Anak-anaknya, sudah menjadi orang di kota. Dan dia menepi di tempat kecil ini.

Sejak mengetahui tentang dirinya, meski sedikit latah. Kebiasaanku menikmatinya diam-diam, menjadi. Bahkan, selalu terselip harap suatu saat bisa bersua dengannya. Tentu, duduk bersama di terasnya berhias kepulan asap kopi hitam, lalu mendengar dia bercerita; apa pun itu. Dan ternyata, harapku bersambut. Suatu sore, sepulang beraktivitas aku melewati depan rumahnya. Kali ini, kudapati dia sedang membersihkan sepeda ontel yang menurutku mungkin seusia dengannya. Saat melintas, dia menyapaku. Aku terkesiap sebab tak kusangka sapaan itu. “Baru pulang, Nak?” katanya. Kujawab, “iye….”

Dia membalikkan badannya, meninggalkan Si Ontel dan berjalan ke arahku. “Mampirlah, Nak.” Ajakannya tak bisa kutolak, ini kesempatan emas untukku. “Iye, Pak.”

Dia mengajakku duduk di balai-balai bambu yang separuh badannya membelah pagar rumahku. Aku patuh saja pada ajakannya, apatah lagi aku memang sedang ingin berleha-leha mengusir lelah. Sejenak, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya diam, menatap rumah yang kini milikku. Aku memerhatikannya, sambil memperbaiki posisi duduk. Matanya kurasa berkisah, ada seuntai peristiwa yang menggeliat-liat di sana. Namun kubiarkan dia, menyelesaikan eposidenya dulu, sebab akan tanggung jika ku ganggu.

“Apa kau betah di sana?” Akhirnya dia bersuara, telunjuknya pada rumahku.

“Iya….”

“Semua orang pasti akan betah tinggal di rumah itu, tetapi aku tidak.”

Ucapannya penuh tanya. “Maksud, Bapak?” tegasku.
Dia tidak langsung menjawab. Kuliat paru-parunya aktif mengendalikan laju oksigen yang keluar masuk. “Rumah ini, dan rumahmu dulunya adalah satu. Tetapi setelah dia pergi, aku menjualnya pada pemilik sebelumnya.”

“Mengapa bapak jual?”

Lagi-lagi suaranya tertahan. Tatapannya menikam tanah. “Akh… terlalu banyak cerita di rumah itu. Sedangkan bapak bukan seorang pencerita yang bisa menuliskannya di atas kertas. Lagian bapak sudah tua, tidak memerlukan lagi rumah yang luas.”

Aku berusaha mencerna penjelasannya.

“Dulu bapak menjualnya untuk biaya kuliah ke empat putri bapak. Bapak ini hanya seorang petani dengan ladang yang sempit. Sehingga, jika hanya mengandalkan hasil bertani, tentunya anak-anak bapak tidak akan menyelesaikan kuliahnya. Lagian, meski sekarang rumah itu bukan milikku, tetapi di sini, rumah itu utuh kumiliki.” Katanya, sambil menepuk-nepukkan tangan kanan di dadanya.

Aku tak bersuara, kutatap bapak itu dengan seksama. Entah darimana keberanian ini kuperoleh. Dia pun membiarkan semuanya. Jika penuh kenangan, mengapa di jual??? Bahkan alasan biaya kuliah, itu tak cukup. Aku membatin.

Dia seakan menangkap pertanyaanku ini, “saat sakit keras, dia memintaku membuatkan sebuah rumah panggung. Dia memang menyukai rumah panggung. Lalu bapak memutuskan membuatnya di samping rumah ini. Tepatnya, membelah sebagian rumah ini seperti rumah idamannya. Katanya, dia ingin menghabiskan waktu di rumah panggung itu. Saat memasuki rumah itu, kulihat dia tersenyum. Ini untuk pertama sejak dia terbaring sakit  setahun lebih. Dan ternyata itu senyum terakhirnya juga. Selang beberapa hari, dia merintih kesakitan dan akhir hidupnya pun tertulis.” Dia bercerita, tanpa air mata. Kutahu, dia berusaha kuat untuk yang satu ini.

“Istri bapak sakit apa?”

“Bapak juga kurang tahu. Ada banyak macam pendapat orang, karena itu bapak bingung. Yang jelasnya, ada lubang nanar di punggungnya. Awalnya, hanya bisul kecil tetapi lama kelamaan menjadi besar, dan bernanah. Mereka mengatakan itu gula basah, tetapi sebagian bilang kalau itu tumor ganas. Bahkan sebagian lagi berkata kalau penyakit itu hasil guna-guna.”

“Mengapa tidak tinggal dengan salah satu anak, Bapak?”

Dia tidak menjawab. Malah pamit sebentar ke dalam. Aku menyilahkannya, sambil ujung mataku mengikuti. Angin sore ini, sepoi-sepoi. Anggun melambaikan dedaunan dari pepohonan yang tumbuh di sekitar. Namun ada badai di benakku, meruah, menanti dia mendamaikannya.

“Bapak tidak ingin merepotkan mereka, “ dia berjalan keluar tiba-tiba dengan dua gelas kopi hitam di tangannya. “Lagian, bapak masih bisa mengurus diri sendiri.” Dia menyodorkan segelas untukku.

Aku menoleh ke arah sumber suara, lalu tersenyum.

“Daeng Ngai’, anak pertamaku pernah mengusulkan agar bapak menikah lagi. Tetapi waktu itu mereka masih terlalu muda untuk diasuh oleh perempuan lain. Bapak hanya bilang, nantilah setelah kalian tamat SMU.”

“Tetapi sekarang kan anak-anak bapak sudah menjalani kehidupannya masing-masing, mengapa bapak masih sendiri?”

Dia tersenyum, “kau masih terlalu muda, Nak. Kelak, ketika kamu seusia bapak semuanya akan terjawab. Mungkin takdir mengubur dirinya dan cintaku sekaligus, sehingga saat ini tak ada yang bisa menukar cintanya karena yang kumiliki pun telah menyatu di pusaranya.”

Serasa kalimat ini terlalu kuat berkelindan di benakku. Aku meninggalkannya sendiri di balai-balai bambu. Sebab, senja telah mulai bertudung malam. Makanya kuputuskan mentakziminya dan kembali ke rumahku dengan masih menyimpan tanya. Meski tidak lagi membuncah. “Lelaki itu, bagaikan kumpulan sabda.” Bisikku pada angin.

                                                                      ***

Menyampitkan sarung batik di pinggangnya, dia berjalan menuruni jalan setapak menuju sebuah sungai. Setelah menggapai pinggirannya, dia menjulurkan kaki menyentuh air. Ada kesejukan, mengalir ke tubuh yang membuatnya tidak sabar menyeburkan diri ke aliran air sungai. Tetapi itu tidak lama, dia harus secepatnya pulang sebelum Daeng Kulle mendahuluinya di rumah. Dia memang sangat disiplin untuk persoalan ini, menghangatkan makanan, membuat secangkir kopi hitam, dan berdandan rapi agar mata Daeng Kulle menjadi binar sehabis berkunang-kunang di ladang. Belum lagi, anak bungsunya yang seringkali rewel jika tidak mendapati dirinya saat terbangun. Tangisan itu, menjadi pengingat baginya jika keluar rumah, meski hanya sebentar.

Dan seperti biasa, dia telah di rumah saat Daeng Kulle datang. Sebuah senyum mekar di bibirnya menyambut Si Suami. Lelah pun segera hilang, berbalas senyum yang lebih ranum. Jika ada yang melihat mereka, pasti kesimpulannya bahwa Daeng Kulle dan istrinya, jatuh cinta lagi. Daeng Kulle meletakkan cangkul di sudut dapur, lalu menyeruput secangkir kopi hitam yang sejak tadi menunggu. Dia menghampiri dan duduk di sisi istrinya yang sedang menggendong Si Bungsu. Sekarang, mereka hanya tinggal bertiga, karena ketiga anaknya ke kota, belajar.

“Sebentar lagi, Dia masuk sekolah,” ucap Si Istri, sambil membelai rambut Si Bungsu.
“Bagaimana dengan urusan pendaftaranya, apa telah kau urus?”
“Iye, mendaftar di SD itu tidak terlalu sulit, Daeng. Tidak juga terlalu banyak aturan.”
“Oooo, jadi kapan masuk sekolahnya?”
“Dua hari lagi.”

Beginilah mereka memanfaatkan malam, bertukar pikiran. Dan bukan hanya kali ini, hampir sepanjang usia pernikahan mereka dipenuhi dengan kesepakatan-kesepakatan dari dialog mereka sebelum mengambil keputusan. Pun pada persoalan ketiga anak mereka yang di kota. Namun semuanya bercerita lain, saat Daeng Lira, istrinya sakit. Ini di luar dugaan Daeng Kulle, bahwa hampir setahun, Daeng Lira, rapi menyembunyikan sebuah benjolan di punggungnya yang menjadi cikal bakal terbaringnya sekarang. Padahal waktu itu, Bulan, anak bungsu mereka baru seminggu masuk sekolah. Karena benjolan itu, Daeng Lira kehilangan kekuatannya, pun berimbas pada Daeng Kulle. Meski demikian, Daeng Lira selalu mengingatkan suaminya untuk memerhatikan buah hati mereka, dan lebih giat bekerja untuk  masa depan anak-anak. Dia juga setiap hari meminta maaf karena tidak bisa lagi mengurusi suaminya. Hal ini, ditanggapi mendung oleh Deng Kulle.

Seringkali Deng Kulle menangis sendirian di teras rumahnya, dan hanya disaksikan bisu oleh malam. Dia memikirkan istri dan anak-anaknya. Tepatnya, dia belum siap jika sakit itu merebut istrinya. Tetapi demikianlah takdir, kita bisa memilih namun tak dapat dihindari. Setahun lebih berbetah-betah dengan benjolan tersebut, akhirnya dia tak mampu menahannya. Dia pergi selamanya dari sisi Daeng Kulle setelah meninggalkan pesan terbata-bata dari mulutnya. “A… a…nak-anakmu, Daeng. Didik mereka jadi orang.”

Serasa batu besar menghantam dahinya, Daeng Kulle linglung. Dan disadarkan kembali oleh kerumunan orang yang telah berkumpul di rumahnya, beserta Si Bungsu yang berlari-lari memainkan bendera putih yang tadinya terpasang di halaman rumah. Dia belum mengerti apa-apa saat itu. Si Bungsu masih kecil.

                                                                ***


Aku seolah menonton sebuah tetrikal di matanya. Pertemuanku yang kedua hari ini bercerita banyak. Dan setelah kembali ke rumah, kudapati Daeng Lira melambaikan tangan di daun jendela rumahku. Mungkin sedari tadi dia memerhatikan kami. Dan mengiyakan semua cerita Daeng Kulle. Nyatanya wajah Daeng Lira berseri-seri. Wajah inilah si pemilik cinta yang membuat lelaki paruh baya itu tak pernah berpaling, meski telah berpuluh-puluh tahun. Dia menepi, menjelujur setiap rasanya menjadi sekuntum rindu tak berujung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...