Seperti yang kusaksikan kemarin,
hari ini kudapati lagi dirinya duduk di teras rumah bersama segelas kopi hitam
kesukaannya. Mungkin inilah kebiasaan menyiasati senja agar tak berlalu begitu
saja. Telah hampir seminggu aku mengamati, jika melintas di depannya. Aku
tertarik pada dirinya sejak diriku pindah, bermukim tepat di samping rumahnya.
Bahkan, rumah yang baru kubeli itu, hanya dipisahkan oleh pagar bambu yang
tingginya sekitar 60 cm. Jika kupandang, meski sejenak, kutemukan telaga dengan
rerumputan hijau di matanya. Airnya bening, nyaris tanpa riak. Pun pada
geraknya yang mengalun, seumpama gadis-gadis Pakkarena meriuh nada genderang.
Dia seorang lelaki teduh, mungkin seusia ayahku.
Lelaki itu secara fisik, biasa
saja. Perawakannya yang tinggi, namun sedikit kurus mempertegas lumuran usianya.
Meski begitu, ada wibawa terselip di
setiap tatapan, bicara, pun langkahnya. Kata orang sekitar, dia adalah seorang
Arung. Tetapi namanya tak dilekati darah itu. Dia memilih memakai nama biasa
sebagaimana orang kebanyakan. Tanpa sedikit pun inisial yang biasa dibanggakan
peletak garis keturunannya. Mengapa? Alasannya tak ada yang tahu. Aku juga mendengar
rumor yang berkembang, dia hidup seorang diri kini. Dahulu dia memiliki seorang
istri yang memesona, dan empat orang anak gadis. Tetapi setelah istrinya meninggal, dia
memilih hidup bersama romansa indah Si Istri; sendiri. Anak-anaknya, sudah menjadi
orang di kota. Dan dia menepi di tempat kecil ini.
Sejak mengetahui tentang dirinya,
meski sedikit latah. Kebiasaanku menikmatinya diam-diam, menjadi. Bahkan,
selalu terselip harap suatu saat bisa bersua dengannya. Tentu, duduk bersama di
terasnya berhias kepulan asap kopi hitam, lalu mendengar dia bercerita; apa pun
itu. Dan ternyata, harapku bersambut. Suatu sore, sepulang beraktivitas aku
melewati depan rumahnya. Kali ini, kudapati dia sedang membersihkan sepeda
ontel yang menurutku mungkin seusia dengannya. Saat melintas, dia menyapaku.
Aku terkesiap sebab tak kusangka sapaan itu. “Baru pulang, Nak?” katanya.
Kujawab, “iye….”
Dia membalikkan badannya, meninggalkan
Si Ontel dan berjalan ke arahku. “Mampirlah, Nak.” Ajakannya tak bisa kutolak,
ini kesempatan emas untukku. “Iye, Pak.”
Dia mengajakku duduk di
balai-balai bambu yang separuh badannya membelah pagar rumahku. Aku patuh saja
pada ajakannya, apatah lagi aku memang sedang ingin berleha-leha mengusir
lelah. Sejenak, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya diam,
menatap rumah yang kini milikku. Aku memerhatikannya, sambil memperbaiki posisi
duduk. Matanya kurasa berkisah, ada seuntai peristiwa yang menggeliat-liat di
sana. Namun kubiarkan dia, menyelesaikan eposidenya dulu, sebab akan tanggung
jika ku ganggu.
“Apa kau betah di sana?” Akhirnya
dia bersuara, telunjuknya pada rumahku.
“Iya….”
“Semua orang pasti akan betah
tinggal di rumah itu, tetapi aku tidak.”
Ucapannya penuh tanya. “Maksud,
Bapak?” tegasku.
Dia tidak langsung menjawab.
Kuliat paru-parunya aktif mengendalikan laju oksigen yang keluar masuk. “Rumah
ini, dan rumahmu dulunya adalah satu. Tetapi setelah dia pergi, aku menjualnya
pada pemilik sebelumnya.”
“Mengapa bapak jual?”
Lagi-lagi suaranya tertahan.
Tatapannya menikam tanah. “Akh… terlalu banyak cerita di rumah itu. Sedangkan bapak
bukan seorang pencerita yang bisa menuliskannya di atas kertas. Lagian bapak
sudah tua, tidak memerlukan lagi rumah yang luas.”
Aku berusaha mencerna
penjelasannya.
“Dulu bapak menjualnya untuk
biaya kuliah ke empat putri bapak. Bapak ini hanya seorang petani dengan ladang
yang sempit. Sehingga, jika hanya mengandalkan hasil bertani, tentunya
anak-anak bapak tidak akan menyelesaikan kuliahnya. Lagian, meski sekarang rumah
itu bukan milikku, tetapi di sini, rumah itu utuh kumiliki.” Katanya, sambil
menepuk-nepukkan tangan kanan di dadanya.
Aku tak bersuara, kutatap bapak
itu dengan seksama. Entah darimana keberanian ini kuperoleh. Dia pun membiarkan
semuanya. Jika penuh kenangan, mengapa di
jual??? Bahkan alasan biaya kuliah, itu tak cukup. Aku membatin.
Dia seakan menangkap pertanyaanku
ini, “saat sakit keras, dia memintaku membuatkan sebuah rumah panggung. Dia
memang menyukai rumah panggung. Lalu bapak memutuskan membuatnya di samping
rumah ini. Tepatnya, membelah sebagian rumah ini seperti rumah idamannya. Katanya,
dia ingin menghabiskan waktu di rumah panggung itu. Saat memasuki rumah itu,
kulihat dia tersenyum. Ini untuk pertama sejak dia terbaring sakit setahun lebih. Dan ternyata itu senyum
terakhirnya juga. Selang beberapa hari, dia merintih kesakitan dan akhir
hidupnya pun tertulis.” Dia bercerita, tanpa air mata. Kutahu, dia berusaha
kuat untuk yang satu ini.
“Istri bapak sakit apa?”
“Bapak juga kurang tahu. Ada
banyak macam pendapat orang, karena itu bapak bingung. Yang jelasnya, ada
lubang nanar di punggungnya. Awalnya, hanya bisul kecil tetapi lama kelamaan
menjadi besar, dan bernanah. Mereka mengatakan itu gula basah, tetapi sebagian
bilang kalau itu tumor ganas. Bahkan sebagian lagi berkata kalau penyakit itu
hasil guna-guna.”
“Mengapa tidak tinggal dengan salah
satu anak, Bapak?”
Dia tidak menjawab. Malah pamit
sebentar ke dalam. Aku menyilahkannya, sambil ujung mataku mengikuti. Angin
sore ini, sepoi-sepoi. Anggun melambaikan dedaunan dari pepohonan yang tumbuh
di sekitar. Namun ada badai di benakku, meruah, menanti dia mendamaikannya.
“Bapak tidak ingin merepotkan
mereka, “ dia berjalan keluar tiba-tiba dengan dua gelas kopi hitam di
tangannya. “Lagian, bapak masih bisa mengurus diri sendiri.” Dia menyodorkan
segelas untukku.
Aku menoleh ke arah sumber suara,
lalu tersenyum.
“Daeng Ngai’, anak pertamaku
pernah mengusulkan agar bapak menikah lagi. Tetapi waktu itu mereka masih
terlalu muda untuk diasuh oleh perempuan lain. Bapak hanya bilang, nantilah
setelah kalian tamat SMU.”
“Tetapi sekarang kan anak-anak
bapak sudah menjalani kehidupannya masing-masing, mengapa bapak masih sendiri?”
Dia tersenyum, “kau masih terlalu
muda, Nak. Kelak, ketika kamu seusia bapak semuanya akan terjawab. Mungkin
takdir mengubur dirinya dan cintaku sekaligus, sehingga saat ini tak ada yang
bisa menukar cintanya karena yang kumiliki pun telah menyatu di pusaranya.”
Serasa kalimat ini terlalu kuat
berkelindan di benakku. Aku meninggalkannya sendiri di balai-balai bambu. Sebab,
senja telah mulai bertudung malam. Makanya kuputuskan mentakziminya dan kembali
ke rumahku dengan masih menyimpan tanya. Meski tidak lagi membuncah. “Lelaki
itu, bagaikan kumpulan sabda.” Bisikku pada angin.
***
Menyampitkan sarung batik di
pinggangnya, dia berjalan menuruni jalan setapak menuju sebuah sungai. Setelah
menggapai pinggirannya, dia menjulurkan kaki menyentuh air. Ada kesejukan,
mengalir ke tubuh yang membuatnya tidak sabar menyeburkan diri ke aliran air
sungai. Tetapi itu tidak lama, dia harus secepatnya pulang sebelum Daeng Kulle
mendahuluinya di rumah. Dia memang sangat disiplin untuk persoalan ini,
menghangatkan makanan, membuat secangkir kopi hitam, dan berdandan rapi agar
mata Daeng Kulle menjadi binar sehabis berkunang-kunang di ladang. Belum lagi,
anak bungsunya yang seringkali rewel jika tidak mendapati dirinya saat
terbangun. Tangisan itu, menjadi pengingat baginya jika keluar rumah, meski
hanya sebentar.
Dan seperti biasa, dia telah di
rumah saat Daeng Kulle datang. Sebuah senyum mekar di bibirnya menyambut Si
Suami. Lelah pun segera hilang, berbalas senyum yang lebih ranum. Jika ada yang
melihat mereka, pasti kesimpulannya bahwa Daeng Kulle dan istrinya, jatuh cinta
lagi. Daeng Kulle meletakkan cangkul di sudut dapur, lalu menyeruput secangkir
kopi hitam yang sejak tadi menunggu. Dia menghampiri dan duduk di sisi istrinya
yang sedang menggendong Si Bungsu. Sekarang, mereka hanya tinggal bertiga,
karena ketiga anaknya ke kota, belajar.
“Sebentar lagi, Dia masuk
sekolah,” ucap Si Istri, sambil membelai rambut Si Bungsu.
“Bagaimana dengan urusan
pendaftaranya, apa telah kau urus?”
“Iye, mendaftar di SD itu tidak
terlalu sulit, Daeng. Tidak juga terlalu banyak aturan.”
“Oooo, jadi kapan masuk
sekolahnya?”
“Dua hari lagi.”
Beginilah mereka memanfaatkan
malam, bertukar pikiran. Dan bukan hanya kali ini, hampir sepanjang usia
pernikahan mereka dipenuhi dengan kesepakatan-kesepakatan dari dialog mereka
sebelum mengambil keputusan. Pun pada persoalan ketiga anak mereka yang di
kota. Namun semuanya bercerita lain, saat Daeng Lira, istrinya sakit. Ini di
luar dugaan Daeng Kulle, bahwa hampir setahun, Daeng Lira, rapi menyembunyikan
sebuah benjolan di punggungnya yang menjadi cikal bakal terbaringnya sekarang.
Padahal waktu itu, Bulan, anak bungsu mereka baru seminggu masuk sekolah.
Karena benjolan itu, Daeng Lira kehilangan kekuatannya, pun berimbas pada Daeng
Kulle. Meski demikian, Daeng Lira selalu mengingatkan suaminya untuk memerhatikan
buah hati mereka, dan lebih giat bekerja untuk masa depan anak-anak. Dia juga setiap hari
meminta maaf karena tidak bisa lagi mengurusi suaminya. Hal ini, ditanggapi
mendung oleh Deng Kulle.
Seringkali Deng Kulle menangis
sendirian di teras rumahnya, dan hanya disaksikan bisu oleh malam. Dia
memikirkan istri dan anak-anaknya. Tepatnya, dia belum siap jika sakit itu
merebut istrinya. Tetapi demikianlah takdir, kita bisa memilih namun tak dapat
dihindari. Setahun lebih berbetah-betah dengan benjolan tersebut, akhirnya dia
tak mampu menahannya. Dia pergi selamanya dari sisi Daeng Kulle setelah
meninggalkan pesan terbata-bata dari mulutnya. “A… a…nak-anakmu, Daeng. Didik
mereka jadi orang.”
Serasa batu besar menghantam
dahinya, Daeng Kulle linglung. Dan disadarkan kembali oleh kerumunan orang yang
telah berkumpul di rumahnya, beserta Si Bungsu yang berlari-lari memainkan
bendera putih yang tadinya terpasang di halaman rumah. Dia belum mengerti
apa-apa saat itu. Si Bungsu masih kecil.
***
Aku seolah menonton sebuah
tetrikal di matanya. Pertemuanku yang kedua hari ini bercerita banyak. Dan setelah
kembali ke rumah, kudapati Daeng Lira melambaikan tangan di daun jendela
rumahku. Mungkin sedari tadi dia memerhatikan kami. Dan mengiyakan semua cerita
Daeng Kulle. Nyatanya wajah Daeng Lira berseri-seri. Wajah inilah si pemilik
cinta yang membuat lelaki paruh baya itu tak pernah berpaling, meski telah
berpuluh-puluh tahun. Dia menepi, menjelujur setiap rasanya menjadi sekuntum
rindu tak berujung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar