Di luar terus hujan, meski tidak sederas pagi tadi. Dia
menyaksikan titik-titik air berjatuhan di balik jendela. Sebelum menggapai
tanah, sebagian terperangkap di atas dedaunan yang sedari tadi diguyurnya, lalu
jatuh pelan-pelan di sela-sela batang, ke tanah, meresap, lalu kembali pada
daun memalui akar. Diperhatikannya separuh lagi, terbentur di ujung rerumputan
sehingga memecah kristal-kristal air lalu berbaur dengan lumpur meluruhkan
bening yang melingkupinya. Dia menyukai pemandangan ini. Pada gemericik air yang
memenuhi genderang telinga, seakan-akan mengirim ritme pada alam bawah sadar. “Aku
rindu hamparan padi yang meliuk-liuk bersama hujan.”
***
Dia berlarian bersama dua orang anak lainnya mengejar
ikan-ikan kecil yang akhirnya tersudut di ujung pematang sawah. “Satu… Dua…
Tiga………” Setengah berbisik, dia memberikan aba-aba kepada dua orang kawannya
untuk segera menjaring ikan-ikan kecil tersebut dengan jaring sederhana yang
mereka buat dari perca kain tipis dengan kedua ujungnya dijepit bambu.
“Berhasil….. kita mendapatkannya.” Teriak mereka, kompak. Selanjutnya mereka
pulang dengan sebuah toples plastik berisi ikan-ikan kecil hasil tangkapannya.
Tentunya, ikan-ikan tersebut bukan untuk disantap, melainkan untuk dipelihara
atau sekedar dimainkan.
Tubuh ketiga anak itu penuh lumpur, bahkan rambut
mereka nyaris tidak kelihatan. Tetapi karena hujan, sedikit demi sedikit lumpur
itu luruh dan hanya menyisakan noda-noda kecoklatan yang membungkus pakaian
mereka. Dalam kondisi begini, sudah dapat dipastikan, mereka akan singgah dulu
pada sebuah sungai kecil yang mengitari areal persawahan tersebut untuk mandi
dan membersihkan pakaian sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Itulah salah satu kebiasaan, Dita. Dia seringkali
menghabiskan waktunya sepulang sekolah, bermain-main pada beberapa petak sawah
milik ibunya. Entah itu menangkap ikan kecil yang banyak hidup liar di
persawahan, ataukah hanya sekedar bermain lumpur, atau menyaksikan burung-burung
pipit pulang ke sangkarnya saat sore. Dita sangat akrab dengan aroma padi jika
sudah berisi, pun pada saat menguning dan siap untuk dipanen. Hal yang paling
disukainya adalah saat kaum lelaki berkumpul, bahu-membahu membajak sawah agar
gembur, benebar benih-benih padi, lalu mencabutnya untuk ditanam satu-persatu.
Setelah prosesi itu selesai, mereka akan berkumpul di pematang sawah
beristirahat, bercakap-cakap tentang banyak hal, sambil menyantap hidangan yang
disiapkan oleh para perempuan-perempuan desa. Termasuk dirinya, meski usianya
masih terbilang belia.
Dia juga sangat senang, jika diajak oleh ibunya
menjaga padi yang telah berisi agar terhindar dari santapan burung-burung
pipit. Sebab dengan begitu dia lebih leluasa menghirup udara segar persawahan,
menyaksikan burung-burung lalu lalang, membuat bulatan-bulatan kecil dari tanah
liat sebagai alat untuk melempar jika ada hewan-hewan kecil yang menyentuh
butir-butir padinya dengan bantuan potongan bamboo kecil yang diberi lobang
kecil sebagai pengait di ujungnya, dan memain-mainkan rerincingan kaleng-kaleng
bekas yang digantung di beberapa bagian sawah untuk menakut-nakuti burung
pemakan padi. Dia juga terkadang senyum-senyum sendiri pada orang-orangan sawah
yang tersebar di persawahan. Katanya, inilah salah satu cara paling ampuh untuk
melatih keterampilan berbahasanya. Yah,
bermain sandiwara dengan orang-orang sawah adalah sebuah kesenangan sendiri
Dita.
Baginya, di tengah hamparan padi inilah, dia banyak
mendapatkan pelajaran hidup dari ibunya. Salah satunya pada saat dia pulang
sekolah dalam keadaan menangis karena ejekan teman-temannya sebab hingga dia
menginjak sekolah menengah atas, dia sama sekali belum pernah melihat ayahnya. “Saya
marah, Ibu. Mereka selalu saja menyinggung tentang sosok ayah. Padahal saya
sama sekali tidak tahu tentang, Ayah. Ingin rasanya membalas mereka, tetapi
bagaimana caranya? “
Ibunya teduh, lalu berkata, “apakah kamu benar-benar
ingin tahu?”
Dita mengangguk
“Coba kamu perhatikan seekor pipit yang di sana. Dia
tengah asyik memakan biji-biji padi kita. Menurutmu, dia bagusnya kita apakan?”
“Seperti biasalah, Bu. Kita usir saja pakai rerincingan,
atau kita lempar pakai bola-bola tanah ini.” Tanggap Dita, dengan nada mulai
gembira.
Sambil memerhatikan seekor pipit yang terus
mematuk-matuk biji-biji padi, Ibunya memberi penjelasan, “jika kita lempar
dengan bola-bola tanah, ada kemungkinan pipit itu kena, dan mati. Tetapi jika
kita mengusirnya dengan rerincingan, maka dia akan terbang dan padi kita
selamat.”
“Tetapi, Bu, dia akan kembali lagi dan menghabisi
semuanya.” Protes Dita
“Benar. Mungkin saja dia akan kembali lagi, tetapi
dia akan lebih berhati-hati, memakan sebutuhnya, dan pergi.”
“Jadi, Ibu akan membiarkannya jika dia datang?”
“Sepertinya ibu lebih baik bersikap demikian, dari
pada membiarkan pipit itu mati dan tidak memiliki kesempatan lagi pulang bertemu
dengan keluarganya.”
Dita mengeryitkan dahi, protes!
“Tenang saja, Nak. Dia pasti menyisakan
berkarung-karung gabah buat kita. Dia tidak akan menghabiskannya, sebab jika
dia melakukannya, maka itu sama saja bunuh diri. Perutnya terlalu kecil untuk menampung
semuanya.” Jelas Si Ibu sambil tersenyum.
Sejenak, hening.
“Nak, ibu selalu menunggu waktu yang tepat untuk
bercerita. Waktu yang tepat untukmu dan untuk ibu.” Dia melepaskan napas berat.
Dan melanjutkan kembali ceritanya, “mungkin sekaranglah saatnya kamu tahu. Ayahmu
itu orang baik. Dia seorang lelaki yang ulet, dan betanggung jawab. Ibu bertemu
dengannya di kota karena kami sama-sama bekerja di sana. Ibu sebagai pembantu
rumah tangga, dan ayahmu bekerja di salah satu perusahaan sirup yang terkenal
di kota itu. Beberapa bulan setelah kami menikah, dan kamu sudah ada dirahim
ibu, kami memutuskan pulang ke desa ini. Kami membuat rumah sederhana dengan
uang tabungan selama bekerja di kota. Sisanya, ayahmu membeli beberapa petak
sawah untuk digarapnya. Katanya, sawah ini kelak menjadi bekalmu bersekolah
setinggi-tingginya. Kamu tahu, ayahmu sangat senang saat kamu lahir. Meski lelah
sepulang dari sawah, dia selalu menyempatkan diri menimangmu, mendudukanmu di
pangkuannya sambil menikmati secangkir kopi. Ayah sangat menyayangimu, Nak.”
Mata Dita dan Ibunya berkaca-kaca. “Tetapi, hidup
memang tidak selalu berjalan sesuai kehendak kita, saat itu umurmu baru setahun,
banjir bandang menimpa desa kita. Hampir semua penduduk desa kehilangan tempat
tinggal dan gagal panen. Ibu dan ayah tidak berpikir apa-apa saat itu selain
bagaimana cara menyelamatkanmu dan lari sejauh-jauhnya di atas bukit. Tetapi,
luapan air sungai begitu deras, Nak. Sebelum mencapai bukit, Ayahmu terseret
arus, lalu hilang dan mayatnya tidak ditemukan hingga sekarang. Ada yang
memperkirakan, mayat ayah terdampar di muara, dan mengikuti arus air menuju
lautan. Entahlah….” Dia tidak ingin meneruskan ceritanya lagi. Mereka berdua
terdiam.
Suasana hening, angin senja berhembus sepoi di persawahan
sore itu
“Maafkan saya, Bu.” Dita memecah sunyi
“Kamu tidak salah apa-apa, Nak. Ibu memang selalu
sedih jika mengingat ayah.” Jawabnya. “Nah, sekarang kamu bisa memilih,
menceritakan tentang ayah pada teman-temanmu, atau menjadi gadis cengeng yang
pendendam. Ingat, Nak. Setiap pilihanmu selalu saja punya nilai kurang dan
lebih seperti cerita pipit tadi. Apapun yang kamu lakukan, pertimbangkan dengan
sebaik-baiknya. Kamu sudah remaja, sebentar lagi beranjak dewasa, dan kamu tahu
apa artinya? Kamu akan dihadapkan oleh banyak pilihan-pilihan hidup yang kadang
menguras pikiranmu. Ibu tidak selamanya berada di sisimu, suatu saat kamu harus
menyelesaikan semuanya sendiri.” Ibu, Dita memberi nasehat sambil menjentik
lembut ujung hidung anaknya.
Tidak terasa, senja. Mereka sama-sama terdiam,
menelisik makna pada semua peristiwa. Gubuk bambu tanpa dinding di
persawahanlah yang menjadi saksi, seberapa banyak makna yang mampu terserap dan
yang terbuang percuma.
***
Seorang gadis berpakaian rapi menyeberangi anak
sungai, lalu berlari ke pematang sawah, membiarkan dirinya kuyup oleh hujan.
Tetapi kali ini berbeda, tak ada ikan-ikan kecil, tak ada liukan padi, atau pun
burung-burung pipit. Cengkrama orang-orang desa setelah menanam padi, mengabur.
Apatah lagi seorang ibu yang matanya penuh lembar-lembar cerita. Beberapa petak
sawah itu, telah berganti pondasi-pondasi kokoh. Ibunya menjual petak-petak sawahnya
untuk kuliah Dita. Pun dengan beberapa penduduk desa lain karena tergiur oleh
harga yang ditawarkan kontraktor. Kabarnya, areal persawahan itu sebentar lagi
akan ditumbuhi perumahan-perumahan megah. Dita mematung. Ada satu rindu yang
terpahat di hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar