Pelangi-pelangi
alangkah indahmu
Merah, kuning,
hijau di langit yang biru
Pelukismu agung
Siapa gerangan
Pelangi-pelangi
ciptaan tuhan
Mari
sejenak kita bawa lirik karya AT Mahmud ini di atas pada dunia anak-anak.
Sebuah dunia dengan jejak warna-warni yang selalu melukis di kanvas pikirannya.
Mereka hadir dengan”wajah” dan kecerdasan masing-masing yang tak boleh kita
paksakan sewarna. Sebab jika itu terjadi, maka keindahannya akan luruh, jatuh
satu persatu. Coba bayangkan jika pelangi itu hanya berwarna merah, atau hijau
saja. Dapat dipastikan, lagu ini tidak tercipta, dan tak satu orang pun akan
mendongak ke langit, menatapnya berlama-lama sambil tersenyum mengagumi
indahnya.
Saat
menginjakkan kaki pertama kali di sekolah ini, semuanya kuanggap biasa. Tetapi
lama-kelamaan, ada nada merdu berdering di kepalaku. Nada itu bernyanyi tentang
kepolosan anak-anak yang terpancar di mata mereka. Dan aku tidak bisa tidur
karenanya. Setiap kali mencoba mengatupkan mata, selalu saja kepolosan itu
menari-nari di pikiranku, lalu membuat sadarku ingin melakukan lebih banyak
lagi untuk mereka; meski kadang tak yakin akan kesanggupanku. Mereka, sama
seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Butuh perhatian dan pendampingan. Kecerdasan
mereka pun tidak kalah hebatnya dengan anak-anak di sekolah lain, bahkan yang
tercatat unggulan. Lingkunganlah yang menciptakan sosok lain yang melampaui
usia kanak-kanaknya. “Keliaran” anak-anak sering membuatku takut tak mampu mengarahkan
mereka mengolah sifat itu menjadi teduh. “Kegaduhan” yang mereka ciptakan
membuatku salah pengertian, bahwa mereka adalah generasi yang tidak beres. Aku
takut memperakut ketidakberesan itu. Apatah lagi, terhadap “kekasaran” yang
berulang-ulang kusaksikan sendiri saat mereka bermain, selanjutnya berkelahi
tanpa ampun. Tidak ada satu pun teori yang dapat membantuku menyelesaikan ini,
sebab semua teori pasti berasal dari fakta yang berbeda. Aku pesimis menjadi
guru, dan teman belajar anak-anak ini mengharmonikan warna-warnanya, mencipta
sebuah pelangi. Tetapi, kepolosan tatap itu selalu memanggilku kembali datang bermain
dan bernyanyi bersama mereka.
Simpulanku
setelah berletih-letih (harus kuakui ini), kebahagiaan bertunas di hatiku, lalu
mekar pelan-pelan. Ternyata aku salah karena tak bisa melihat pelangi dengan
rona warna-warni terpancar di sekolah ini. Pelangi itulah yang membuat
guru-guru terdahulu betah menghabiskan waktunya. Bukan merah, kuning, dan hijau
warnanya. Melainkan diwarnai oleh “keliaran”, “kegaduhan”, dan “kekasaran” itu
sendiri. Mengapa aku menjadi takjub dengan warna-warna ini? Sebab butuh
penglihatan luar biasa untuk melihat lengkungannya sempurna, dan warna-warna
inilah yang membuatku banyak belajar tentang kesabaran, keikhlasan, dan
ketekunan untuk mendaki puncak tertinggi dari pencarian jati diri manusia.
Warna-warna ini, membuatku lebih banyak menunduk, memahami, dan introfeksi diri
pada sisi lain kehidupan yang sering kali dianggap terlalu biasa, karena itu
terabaikan. Sketsa kehidupan di Cakrawala merupakan miniatur hidup penuh warna,
dan demikianlah sejatinya pelangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar