Rabu, 27 Januari 2016

PELANGI DI CAKRAWALA


Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau di langit yang biru
Pelukismu agung
Siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan tuhan                                                                                                                                                           
          Mari sejenak kita bawa lirik karya AT Mahmud ini di atas pada dunia anak-anak. Sebuah dunia dengan jejak warna-warni yang selalu melukis di kanvas pikirannya. Mereka hadir dengan”wajah” dan kecerdasan masing-masing yang tak boleh kita paksakan sewarna. Sebab jika itu terjadi, maka keindahannya akan luruh, jatuh satu persatu. Coba bayangkan jika pelangi itu hanya berwarna merah, atau hijau saja. Dapat dipastikan, lagu ini tidak  tercipta, dan tak satu orang pun akan mendongak ke langit, menatapnya berlama-lama sambil tersenyum mengagumi indahnya.


         Saat menginjakkan kaki pertama kali di sekolah ini, semuanya kuanggap biasa. Tetapi lama-kelamaan, ada nada merdu berdering di kepalaku. Nada itu bernyanyi tentang kepolosan anak-anak yang terpancar di mata mereka. Dan aku tidak bisa tidur karenanya. Setiap kali mencoba mengatupkan mata, selalu saja kepolosan itu menari-nari di pikiranku, lalu membuat sadarku ingin melakukan lebih banyak lagi untuk mereka; meski kadang tak yakin akan kesanggupanku. Mereka, sama seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Butuh perhatian dan pendampingan. Kecerdasan mereka pun tidak kalah hebatnya dengan anak-anak di sekolah lain, bahkan yang tercatat unggulan. Lingkunganlah yang menciptakan sosok lain yang melampaui usia kanak-kanaknya. “Keliaran” anak-anak sering membuatku takut tak mampu mengarahkan mereka mengolah sifat itu menjadi teduh. “Kegaduhan” yang mereka ciptakan membuatku salah pengertian, bahwa mereka adalah generasi yang tidak beres. Aku takut memperakut ketidakberesan itu. Apatah lagi, terhadap “kekasaran” yang berulang-ulang kusaksikan sendiri saat mereka bermain, selanjutnya berkelahi tanpa ampun. Tidak ada satu pun teori yang dapat membantuku menyelesaikan ini, sebab semua teori pasti berasal dari fakta yang berbeda. Aku pesimis menjadi guru, dan teman belajar anak-anak ini mengharmonikan warna-warnanya, mencipta sebuah pelangi. Tetapi, kepolosan tatap itu selalu memanggilku kembali datang bermain dan bernyanyi bersama mereka.

          Simpulanku setelah berletih-letih (harus kuakui ini), kebahagiaan bertunas di hatiku, lalu mekar pelan-pelan. Ternyata aku salah karena tak bisa melihat pelangi dengan rona warna-warni terpancar di sekolah ini. Pelangi itulah yang membuat guru-guru terdahulu betah menghabiskan waktunya. Bukan merah, kuning, dan hijau warnanya. Melainkan diwarnai oleh “keliaran”, “kegaduhan”, dan “kekasaran” itu sendiri. Mengapa aku menjadi takjub dengan warna-warna ini? Sebab butuh penglihatan luar biasa untuk melihat lengkungannya sempurna, dan warna-warna inilah yang membuatku banyak belajar tentang kesabaran, keikhlasan, dan ketekunan untuk mendaki puncak tertinggi dari pencarian jati diri manusia. Warna-warna ini, membuatku lebih banyak menunduk, memahami, dan introfeksi diri pada sisi lain kehidupan yang sering kali dianggap terlalu biasa, karena itu terabaikan. Sketsa kehidupan di Cakrawala merupakan miniatur hidup penuh warna, dan demikianlah sejatinya pelangi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...