Narasi Satu
Senyuman
Duka Di Sudut Jendela; Suatu Hari
Pastinya
Ditangan
kanak-kanak,
kertas menjelma
perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang.
menjelma burung,
yang jeritnya
membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut
anak-anak, kata menjelma kitab suci.
Tuan, jangan kau
ganggu permainanku ini. (Sapardi Djoko Damono)
Dia
tidak pernah meminta lebih dari hidupnya sekarang. Dia tidak juga ingin memilih
sebagaimana aral yang membentang luas di hadapannya. Apalagi berani menunggu
satu hal di luar mampu dan sadarnya. Dia hanyalah seorang anak, layaknya
dedaunan. Tidak pernah menggantungkan hidup pada aliran muara, apalagi akan
terombang-ambing entah kemana. Pun bukan pusaran angin, yang sejenak namun
meluluhlantakan bangunan-bangunan kesadaran orang-orang di sekelilingnya.
Sekali lagi, dia masih kecil. Hanya butuh sepetak ruang, bermain tanpa setumpuk
beban yang pelan menggunung.
Bukan
seperti sekarang nyatanya, hampir setiap hari pandangannya menerawang di sudut
jendela menyaksikan anak-anak seusianya berlarian, dan sebagian lagi memacu
kuda-kudaan dari pelapah pisang. Dia hanya bisa sebatas mengintip keluh dari
celah jendela, karena sekujur tubuh kaku, terpaku oleh penyakit mematikan yang
tak pernah diminta. Itu pun jika sanggup, jika tidak, dia pelan-pelan mendengar
riuh tawa yang begitu reyah dari anak-anak kecil seusianya yang bermain petak
umpet dari balik dinding tempatnya terlukai tak berdaya.
Bukan
ingin memilih itu, tetapi takdirlah yang menyimpan cerita lain untuknya. Di
tengah keluarga yang tak pernah mengenal aksara, menyambung hidup dari butiran
peluh keringat yang berderet-deret di sekujur tubuh; tentu setiap harinya. Sampai terantuk di tempat bermukim yang jauh
dari cahaya; cahaya dari para pemilik kekayaan meruah. Tetapi tentu saja, masih
tetap bersinar karena dia adalah anak yang dilahirkan dari cahaya dan harapan
orang tuanya. Olehnya itu, meski sakit yang memekik, mereka tetap punya satu
mimpi; kelak anaknya akan sembuh, tumbuh menjadi bintang kejora.
Sepotong Cinta Meliuk-liuk; Juga Di Suatu Hari
“Cinta dan keajaiban memiliki persamaan besar. Keduanya
memperkaya jiwa dan mencerahkan hati.” (Nora
Roberts, Novelis Amerika Serikat)
Entah siapakah yang pertama menamai
“rasa” itu dengan “cinta”, juga tak tahu bagaimana caranya sehingga cinta
begitu lekat dengan warna merah muda, tak ada asal-usul yang jelas. Terpenting
adalah bahwa cinta dan merah muda adalah perpaduan keajaiban yang begitu
menggelora namun syahdu, begitu memabukkan tetapi menggetarkan, sangat lembut
namun memekikkan telinga ke seluruh penjuru. Santun menawarkan sayang pada
setiap lubang-lubang perih yang menukik. Begitulah dia mewartakan sepotong
cinta dalam sebuah penjelmaan ajaib di sudut jendela nun jauh di sana. Suatu
tempat, dimana si kecil menanti Dewi Fortuna membawakan sekantung keajaiban.
Dia adalah seorang pemuda sederhana.
Sesederhana cinta yang ingin dia tembangkan padanya. Berjuang mengumpulkan
kepingan-kepingan logam di setiap tempat terjepitnya dia, jika mesti jari
berdarah pun akan menjadi taruhannya. Dia pelan-pelan merangkai titian menuju kejora;
tentunya untuk si kecil. Bersama beberapa orang yang juga bersinar hatinya. Jiwanya
merasa sedemikian kaya menjemput sebuah senyuman jika kelak titian itu berhasil
dipijak oleh si Kecil, meski tertatih-tatih.
Kisah sepotong cinta yang
meliuk-liuk mencari jalan. Sebuah jalan kemanusiaan bagi Wong cilik yang buah
hatinya tidak pernah menjadi objek perhatiaan sebagaimana diperhatikannya
Selebriti kecil yang heboh diwartakan TV. Kebekuan hati menjeratnya, meringkih,
menyusut, dan mengurus tak terurus nun jauh di sana; si kecil yang malang.
Tetapi berbeda dengan dia; usia mudanya jelas, tetapi hatinya melampaui jiwa
mudanya menembus batas yang tak pernah di jangkau sebelumnya. Jauh…jauh…di
sudut sana, merangkul satu jiwa, membawanya ke tempat yang layak untuk sembuh,
menjaganya, sampai harus melupakan diri sendiri. Sketsa hidup pemuda penuh
cinta yang unik dan langkah.
Jalan Cahaya Bukan Lagi Sebuah Cerita
“Jika seseorang belum menemukan sesuatu untuk diperjuangkan
hingga akhir hayatnya,
maka kehidupannya tidak berharga.” (Martin Luther King Jr, Seorang aktivis HAM)
maka kehidupannya tidak berharga.” (Martin Luther King Jr, Seorang aktivis HAM)
Menyelamatkan satu nyawa bukan
merupakan narasi yang baru bagi Tim SAR, atau para relawan yang menembus hutan
belantara demi mencari korban pesawat Sukhoi. Sebab misi kemanusiaan mereka
ternilai oleh kamera dan setumpuk imbalan; mungkin. Tetapi dia, si pemuda dan
teman-temannya tidak demikian. Tanpa sorot kamera, tanpa sebuah imbalan materi
mereka telah berhasil membangun jalan cahaya. Sekarang si Kecil di sudut
jendela itu telah perlahan bersinar setelah kurang lebih sebulan menggantungkan
hidupnya dengan selang infus dan berbagai jenis obat-obatan di Rumah sakit. Sebuah
perjuangan ala anak muda yang
memukau, tentunya kalian berhak untuk hidup bahagia dan tersenyum sumringah
untuk jalan kemanusiaan yang sedemikian hikmad.
Tahukah, di cakrawala sana mega merah merona
Bukan karena senja mengecup keningnya
Atau arakan awan mencubit hidungnya
Bukan karena itu
Dia merona oleh keterpesonaannya padamu
Yang pelan-pelan mengerdipkan mata padanya, saat menolehnya
pun sebagian enggan
Tahukah? Dia begitu ceria sore ini
Oleh gemuruh sebuah hati bertabur senyuman yang membias dari
kesejatian penderma
Bahkan senja dan arakan awan, iri rupanya
Dan karenamu
Senyum satu jiwa terlukis di sana untuk menggenapi
kebahagiaanmu…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar