20
Agustus 2005
Sepertinya aku ingin mengajak Tuhanku, agar
kami berkata kepada adikku :
kabur terlalu samar
engkau terkasih
menepi sudah aku, dari kejauhan datangku
sembunyi sunyi
kau yang ku pilih
meski sudah aku jelang, waktu yang terjauh
kemarilah dari kerinduan
jangan simpan pucatnya matamu
kelak kugenggam tanganmu langkahi ragu
kesepian kita bersama
adalah debar janji
mengisi sunyi hidup ini
Sepertinya aku ingin mengajak Tuhanku, agar
kami berkata kepada adikku :
kabur terlalu samar
engkau terkasih
menepi sudah aku, dari kejauhan datangku
sembunyi sunyi
kau yang ku pilih
meski sudah aku jelang, waktu yang terjauh
kemarilah dari kerinduan
jangan simpan pucatnya matamu
kelak kugenggam tanganmu langkahi ragu
kesepian kita bersama
adalah debar janji
mengisi sunyi hidup ini
Seringkali aku mengucapkan syair ini saat kulihat mendung selimuti wajahmu. Demikian halnya jika engkau berkeluh kesah tentang hari-harimu di kampus, atau jika ada yang menggoda dan mengerjaimu. Namun saat ini syair itu tak dapat lagi kusenandungkan untukmu, sebab kabut terlalu tebal menutupi malam. Padahal di sana kudengar rintihanmu semakin menyayat. Tetapi apa yang bisa kulakukan selain mengutuk Tuhan yang telah salah mencipta takdir. Aku terlanjur terperangkap pada kepongahan dinding-dinding terjal dan kokohnya terali-terali besi.
“Aku akan menjemputmu adikku.” Bisikku, saat
ruang imaji mencoba mengingat seorang gadis lugu, yang tak lain adalah adik
kandungku sendiri. Malam telah menutupi ceria dan kemanjaannya dariku. Malam
tak mampu melindungi kehormatannya. Tuhan sendiri hanya dapat memejamkan mata
ketika dua orang pemuda merampas kehormatannya. Padahal saat itu seharusnya,
Tuhan menunjukkan kuasanya, karena apalagi yang kurang dari diri adikku. Dia
gadis yang begitu pemalu dan besar dalam lingkungan yang taat. Seluruh tubuhnya
terbaluti jubah dan kerudung. Bahkan ketika peristiwa itu menimpanya, dia baru
saja pulang dari mushallah untuk mengajarkan kalimat-kalimat Ilahi kepada
anak-anak di kawasan kami.
Dalam
jeruji ini, aku tak henti-hentinya bertanya pada Tuhan, “mengapa Dia menghukum
adikku? Padahal adikku tidak berdosa? Dia bahkan lebih suci dari mereka yang
menyebut dirinya suci. Adikku hanya mencoba mengaktualkan tugasnya sebagai
abdillah…. Tetapi beginikah balasan-Mu, Tuhan?”
Dan
seperti biasanya, kesunyian malam, tak pernah mau menjemput jawaban Tuhan
untukku. Dia malah memimpin jengkrik-jengkrik untuk berdering dan menertawaiku.
“Dimana keadilan-Mu? Padahal malam itu aku hanya ingin menolong adikku. Mengapa
aku yang harus mendekam di balik jeruji ini? Maafkan aku jika malam ini aku
harus berkata bahwa Engkau sedang bisu… Tuhan sedang bisu!!!!!”
25 Agustus 2005
Kudengar dari kekasihku bahwa adikku belum dapat bicara, dia depresi berat. Dia bahkan tak mengenal siapa dirinya. Dia lupa segala-galanya, bahkan lupa berkata-kata untuk memberi kesaksian tentang perkelahianku malam itu yang membuat salah satu korban luka serius. Dan ini berarti aku akan terus mendekam di sini hingga ingatannya pulih dan aku akan semakin gila.
“Akan
kutuntut kuasa-Mu, kalau sampai terjadi sesuatu dengan adikku.” Teriakku.
Dan lamat-lamat masih kudengar bisikan kekasihku mengucap kalimat istighfar.
Tetapi aku tidak memerdulikannya. Kebencianku pada-Nya menutupi segalanya.
29 Agustus 2005
Kekasihku datang lagi. Dan kali ini penampilannya sangat berbeda. Dia memakai pakaian seperti adikku, tubuhnya terbaluti kain panjang dan kepalanya ditutupi kerudung. Tetapi aku benar-benar tak suka. Seketika juga kukeluarkan tanganku dari balik jeruji besi, kemudian kuraih kerudungnya dan dia pun tersentak kaget.
“Lepaskan
kerudung ini!!!!” Dia malah menatapku dengan tajam, sambil menahan rasa
sakitnya karena beberapa helai rambutnya ikut tertarik.
“Dimas,
apa yang kamu lakukan, bukankah dulu engkau pernah berkata alangkah indahnya perempuan,
jika setiap jengkal tubuhnya terbaluti kerudung!” jawabnya tegas.
“Apa yang bisa kau harapkan dari selembar kain ini? Engkau sudah terlanjur ditakdirkan menjadi manusia yang lemah, kerudung ini tidak akan bisa menolongmu.” Balasku.
Kulihat mata sipitnya semakin terbelalak. Sorotannya memojokkan aku sebagai terdakwah yang pantas dihukum mati.
“Apa yang bisa kau harapkan dari selembar kain ini? Engkau sudah terlanjur ditakdirkan menjadi manusia yang lemah, kerudung ini tidak akan bisa menolongmu.” Balasku.
Kulihat mata sipitnya semakin terbelalak. Sorotannya memojokkan aku sebagai terdakwah yang pantas dihukum mati.
“Istighfar
Dimas… istighfar!” ucapnya sambil merapikan kembali kerudung yang hampir lepas
di kepala, Yesha.
“Istighfar…
ha… ha… ha. Kata-kata itu sudah basi, Yesha. Tuhanlah yang seharusnya meminta
maaf padaku!” Seruku.
Kulihat
engkau menangis, namun aku tak peduli. Bahkan besok ketika engkau datang lagi
dengan kerudung itu maka, kuputuskan engkau bukan istriku! Walaupun aku begitu
mencintaimu.
3 September 2005
Sudah lima hari engkau tak datang. Aku juga tak tahu bagaimana adikku. Di mataku terbayang senyumnya yang selalu menyambutku, saat aku datang ke pondokannya, ketika tugas-tugas kuliah menguapkan pikiranku dan membuahkan kepenatan. Masih kuingat waktu itu, dia memperlihatkan stelan kerudung violetnya untuk dikenakan pada pengajian Ibu Minah.
“Kakak, mulai sekarang, Maryam memakai kerudung.” Ucapnya polos. Aku hanya tersenyum. Kulihat saat itu, adikku bagaikan seorang bidadari yang diutus Tuhan untukku.
“Kau sangat cantik, Dik.” Balasku, tetapi seketika itu kulihat rona wajahnya, sedih.
“Kak, benarkah aku cantik?”
Aku
mengangguk, dan mutiara putih itu akhirnya mengalir, menetes di kerudungnya.
Lalu kutanya,” mengapa engkau menangis?”
Lalu kutanya,” mengapa engkau menangis?”
Engkau
terdiam untuk beberapa saat, kemudian kudengar engkau berbisik.
“Kecantikan bukan untuk dipuji. Aku memakai kerudung ini, agar keliaran pandangan mereka tidak tertuju padaku. Aku memilih berkerudung karena Dia telah berjanji akan senantiasa menjagaku dan berada di sisiku. Aku memakai kerudung ini karena aku menghargai anugerah-Nya. Bukan malah menampakkan kecantikan ini. Aku….” Ucapanmu kemudian terhenti, oleh isyarat telunjuk yang kulekatkan di bibirnya. “Semoga Tuhan, menjaga bidadariku ini,” bisikku. Dan lagi-lagi kulihat engkau tersenyum. Manis sekali.
“Kecantikan bukan untuk dipuji. Aku memakai kerudung ini, agar keliaran pandangan mereka tidak tertuju padaku. Aku memilih berkerudung karena Dia telah berjanji akan senantiasa menjagaku dan berada di sisiku. Aku memakai kerudung ini karena aku menghargai anugerah-Nya. Bukan malah menampakkan kecantikan ini. Aku….” Ucapanmu kemudian terhenti, oleh isyarat telunjuk yang kulekatkan di bibirnya. “Semoga Tuhan, menjaga bidadariku ini,” bisikku. Dan lagi-lagi kulihat engkau tersenyum. Manis sekali.
7 September 2005
Seorang sipir penjara datang menjemputku. Gesekan pintu tahanan berdering keras.
“Ada yang mencarimu.” Katanya. “Tapi ingat, waktumu hanya 15 menit!” Lanjutnya.
Aku berjalan, mengekor di belakang sipir itu menuju ruang besuk. Di sana kudapati Yesha, kekasihku. Dia mengembangkan senyumnya untukku. “Dimas, bagaimana kabarmu?”
Aku
tak menjawab, meskipun aku sangat ingin berteriak, aku sakit lantaran rindu
padamu. Aku melangkah ke arahnya dan kuraih kerudung yang membaluti rambutnya.
“Sudah kubilang, lepas kerudung ini!!!” Hampir saja aku melayangkan sebuah tamparan ke pipinya yang mulus, tetapi sebuah gaungan suara tiba-tiba menghentikanku.
“Kakak….”
Aku sangat terkejut bercampur haru dan gembira. Adikku Maryam, serta merta hadir dari belakang Yesha. Aku melangkah mundur, seakan-akan tak percaya. Kuusap wajahku dan kucubit lenganku sendiri. Dia benar-benar ada! “Tuhan telah menjagaku dan mengembalikan aku ke tangan, Kakak.” Lanjutnya.
“Sudah kubilang, lepas kerudung ini!!!” Hampir saja aku melayangkan sebuah tamparan ke pipinya yang mulus, tetapi sebuah gaungan suara tiba-tiba menghentikanku.
“Kakak….”
Aku sangat terkejut bercampur haru dan gembira. Adikku Maryam, serta merta hadir dari belakang Yesha. Aku melangkah mundur, seakan-akan tak percaya. Kuusap wajahku dan kucubit lenganku sendiri. Dia benar-benar ada! “Tuhan telah menjagaku dan mengembalikan aku ke tangan, Kakak.” Lanjutnya.
Romantisme yang baru saja akan
kususun kembali dalam hatiku, seketika hancur berantakan mendengar kalimat yang
diucapkan adikku tadi. Kutanya padanya, “setelah peristiwa itu, apakah engkau
masih memuji, Tuhan?”
Sebait
jawaban yang tak kuduga dia ucapkan. “Tuhan memang pantas dipuji. Aku dan kakak
tak berhak mengadili keputusan-Nya. Aku dan kesucianku serta kebebasan kakak
adalah milik-Nya. Seandainya Tuhan tidak Maha Pengasih, maka malam itu juga,
kesempatan untukku bernafas di dunia ini akan diambilnya. Kerudung ini juga tak
patut disalahkan karena Tuhan telah berjanji akan menjaga hamba-Nya dengan
baik.”
“Lantas,
mengapa Dia tak mampu menjagamu saat itu?” Tanyaku lagi, masih tidak percaya
akan ketabahannya setelah peristiwa kelam itu.
“Bukannya
Tuhan tak mampu menjagaku, tetapi Dia ingin mengajakku untuk intropeksi diri. Dia
juga ingin menjadikan aku lebih dewasa dan berhati-hati, Kak.”
Kutatap mata sayu, Adikku. Ketulusannya meruntuhkan egoku menatap realitas secara jernih. Ternyata di balik kelembutanmu, tersimpan kekuatan yang besar. Hatimu setegar karang, Dik. Setelah itu kuusap tetesan mutiara putih di wajah kekasihku. Kurangkul mereka dalam pelukku, sambil membiarkan mereka terbenam dalam pikiranya masing-masing. Dalam hatiku berucap, terima kasih Tuhan, atas ketabahan yang Engkau berikan kepada istri dan adikku.
Tak terasa lima belas menit telah berlalu. Sipir penjara akhirnya menjemputku kembali ke buih. Sekali lagi kutatap kedua bidadariku. Dalam kekosongan pikiranku masih kudengar mereka sempat berbisik. “Engkau tidak bersalah dan besok kami akan menjemputmu pulang.”
Kutatap mata sayu, Adikku. Ketulusannya meruntuhkan egoku menatap realitas secara jernih. Ternyata di balik kelembutanmu, tersimpan kekuatan yang besar. Hatimu setegar karang, Dik. Setelah itu kuusap tetesan mutiara putih di wajah kekasihku. Kurangkul mereka dalam pelukku, sambil membiarkan mereka terbenam dalam pikiranya masing-masing. Dalam hatiku berucap, terima kasih Tuhan, atas ketabahan yang Engkau berikan kepada istri dan adikku.
Tak terasa lima belas menit telah berlalu. Sipir penjara akhirnya menjemputku kembali ke buih. Sekali lagi kutatap kedua bidadariku. Dalam kekosongan pikiranku masih kudengar mereka sempat berbisik. “Engkau tidak bersalah dan besok kami akan menjemputmu pulang.”
8 September 2005
Kuakhiri catatan ini dengan mengajak Tuhanku, untuk berkunjung ke jiwa istri dan adikku.
Menetap di sana dan selalu mendengar
nyanyiannya :
kasihilah mereka, bila sepi adalah waktu, bila mimpi adalah
ragu
milikilah mereka, dengan utuh dan sempurna
dan taruhlah di matanya bintang, di hatinya cakrawala
agar tak pernah berpisah dari tangan-Mu
selalu merajut benang-benang cinta
selalu melihat wajah-wajah surga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar