Akhirnya aku menemukanmu
Saat ku bergelut dengan waktu
Beruntung aku menemukanmu
Jangan pemah berhenti memilikiku
Hingga ujung waktu
Pada suatu perjalanan pulang, tak henti-hentinya potongan lirik ini memenuhi satu ruang di hatiku. Aku merasa, ada kekuatan tertentu yang ingin dibisikkan lagu ini padaku, yang menyusuri terik siang tadi. Kesadaranku merasa disentuh dengan sebuah kekuatan yang begitu syahdu tentang makna mensyukuri apa yang telah dimiliki. Dalam bentangan waktu yang terus berlari memotong hari-hari, terkadang kita lupa atau bahkan menapikan peran-peran orang yang berada di sekeliling kita. Khususnya, pada orang-orang yang sebenarnya sangat mencintai kita dengan setulus hati, namun ditanggapi dengan setengah hati. Tetapi bukan manusia namanya, jika tidak menuntut yang lebih dari pada apa yang telah dimiliki, katanya!
Hasrat untuk mencari sesuatu yang
sempurna memang fitrah manusia. Tetapi menepaki yang sempurna itu bukan berarti
membanding-bandingkan apa yang telah “dimiliki” dan yang “tidak dimiliki”.
Apalagi berusaha dengan berbagai cara memiliki apa yang tidak dimiliki. Potongan
lirik lagunya SO7 di atas, mengingatkanku pada sebuah ungkapan yang saya lupa
diucapkan oleh siapa bahwa, janganlah engkau memilih orang yang engkau
cintai, tetapi pilihlah orang yang mencintaimu. Karena kelak jika engkau
memilih yang engkau cintai, maka bersiap-siaplah tersakiti dengan sedikit saja
persoalan. Tetapi jika engkau memilih yang benar-benar mencintaimu, maka
hari-harimu akan diselimuti dengan kecintaannya itu padamu.
Sebenarnya, narasi ini bukan tanpa
sebab, karena siang tadi meski sangat terik mataku merasa sejuk saat tiba-tiba
melihat sepasang kakek nenek berpegangan tangan menyusuri jalan. Usia mereka
sungguh sudah sangat renta, sebab mereka tak bisa berdiri sempurna lagi. Kesejukan
itu semakin tak terbahasakan, melihat mereka masih berpegangan tangan erat saat
menumpangi angkot yang juga kutumpangi. Si kakek, setulus hati menuntun Si
nenek naik, dan turun angkot sampai menyebrangi jalan. Karenanya, mataku tidak
berhenti menatap mereka, sampai aku hanya bisa menangkap sisa-sisa banyangnya
dalam benakku karena angkot yang kutumpangi terus melaju. Hati dan pikiranku
sama-sama berbisik pelan, inilah kekuatan
cinta yang luar biasa melebihi romansa cinta apapun yang pernah kudengar.
Dari mereka, kutemui makna ketulusan
cinta. Kutemui arti ungkapan di atas yang dulu kudengar saat masih remaja. Dalam
benak ini, berkelindan kata-kata “Akankah
tuaku seperti sepasang kakek nenek itu?” Aku tiba-tiba merasa terharu
sekaligus malu. Terharu, karena mereka orang biasa, namun melakoni cinta yang
luar biasa, Aku sendiri tidak yakin dapat berakhir sebagai mana romansa mereka.
Aku malu, malu pada pengetahuan yang memenuhi batok kepalaku, tetapi secara
praktisnya aku tidak bisa sebijak dan sehalus mereka dalam menjalani hidup. Mungkin
kebahagiaan sepasang kakek nenek inilah yang bermain-main dalam imajinasi SO7
saat melantunkan lagunya.
Akh…aku tidak tahu, harus menulis
apa lagi. Mulutku benar-benat terkunci dari apa yang kusaksikan pada mereka. Begitu
erat dan lekatnya rasa syukur dalam hati mereka, sehingga seakan-akan mereka
akan terus selamanya bergenggaman tangan. Terserah mau menilai apa, tetapi
jujur walau panas terik, mataku membasah karena peristiwa langkah yang
kusaksikan itu. Dan pelan-pelan kususupi hati ini dengan coba mensyukuri apa
yang telah kumiliki sekarang. Berharap tuaku, seiring dengan pemandangan indah
yang membayang di mataku. Huft…Tak henti-hentinya batinku memuji mereka, sambil
benakku terus dipenuhi lirik-lirik Hingga
Ujung Waktu, SO7
Dan tuan burung camar
Takkan henti bernyanyi
Saat aku berkhayal denganmu
Dan janjipun terukir sudah
Jika kau menjadi istriku nanti
Pahami aku saat menangis
Saat kau menjadi istriku nanti
Jangan pernah berhenti memilikiku
Hingga ujung waktu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar