Rabu, 27 Januari 2016

Gadis yang Dirinduinya

Langit begitu cerah, tetapi kau mengatakan padaku tidak menemukan gadismu.

“Aku merindukan  gadisku yang dulu,” begitulah engkau membahasakan kerinduanmu padanya setiap kali kita berjumpa. Pun pada sore ini. Kau mengajakku bertemu di sebuah danau yang tidak jauh dari kediamanmu. Yah, bagimu, tempat itu menyimpan beribu romansa kau dan dia. Gadis yang selalu kau rindui. Katamu, kau memuja matanya yang teduh, menyukai geraknya yang lincah namun tetap bersahaja. Engkau menyukai caranya berjalan, caranya berbusana, singkatnya, kau menyukai segala hal yang ada pada dirinya. Aku sampai begitu penasaran, bagaimana sosok gadis itu.


“Jika kau berjumpa dengannya, kau pasti akan menertawakannya. Sebab begitulah semua teman-teman dekatku saat kukenalkan dia.” Ucapnya saat kutumpahkan rasa penasaranku padanya.

“Mengapa kau berkata begitu?”

“Sebab sebagian besar laki-laki hanya memuja penampilan luar wanita saja!”

“Benarkah?”

“Aku yakin begitu, tetapi aku bukan salah satu dari laki-laki yang kumaksud. Aku menyukainya, melampaui segala kekurangan pada dirinya. Kekurangan, jika harus dikatakan begitu, yang membuatnya sempurna di mataku.”

“Akh…. Kau terlalu melebih-lebihkan keadaan. Bagaimana bisa kau takar argumentasiku, disaat bahkan aku belum mengatakan apa-apa.”

Kau tersenyum, “benar juga kawan.”

Ada setangkup resah di bola matamu.
                                                                             ***
Lagi-lagi dia menumpahkan sebongkah kerinduan yang mendesak melompat dari batok kepalanya. Tak pagi, tak sore. Bahkan terik begini sekali pun, dia selalu mengatakan itu. Aku terkadang heran padanya. Sepengetahuanku, dia telah memiliki seorang pendamping hidup. Cantik pula rupanya. Tetapi mengapa dia selalu menuangkan kerinduannya pada gadis lain. Tidak cukupkah seorang istri molek baginya. Apa yang sebenarnya diinginkannya. Jika dia bermaksud menyia-nyiakan yang dimilikinya sekarang, maka aku harus menghentikan semua ini. Tidak boleh ada seorang perempuan yang tersakiti, apalagi harus dua.

Siang ini, mumpung waktu istirahat dan makan siang di kantorku. Kuajak dia mengisi poros tengah di kantin samping kantor kami. Berharap dia akan mengungkapkan siapa gadis itu, supaya aku bisa menemukan jalan keluar untuk mendamaikan kerinduaannya. Lantas, kusodorkan menu makanan padanya. Kami memesan menu yang sama, waktu menunggu makanan tiba kugunakan berbasa basi tentang kabarnya. Sekalian, menghalau kalau-kalau keluhannya datang lagi.

Namun, tatapan matanya membahasakan lain. Dia memang begitu berubah tiga bulan terakhir ini. Dia yang dulunya selalu riang dengan sapaan selamat paginya yang renyah, kini menjadi pemurung setia. Dan hanya satu sebabnya menurutku. Karena gadis misterius itu. Apakah aku harus marah padanya, karena dia mencoba selingkuh? Tetapi belum tentu juga kan?

“Bar, kau tak biasanya begini. Apa yang ada dalam pikiranmu? Gadis itu?? Siapa dia?” Pertanyaanku memburu bak pelari maraton.

Kau memalingkan tatapan ke arahku. “Siapa yang kau maksud?”

“Dia yang kau ceritakan tempo hari.”

“Sudahlah, kau tidak akan mengerti!”

“Aku hanya kasihan saja pada, Meta. Diakan selama ini sudah menjadi pendamping yang baik bagimu. Lantas jika kau merindukan gadis lain, bukankah itu berarti kau mengkhianatinya.”

“Kau tidak mengerti apa-apa, Iqbal. Jadi kau pun tidak bisa menyimpulkan apa-apa sekarang. Sudahlah, lebih baik kita kembali bekerja. Waktu istirahat sudah habis!”

Aku hanya terdiam menatapnya berlalu dari meja makan. Apa yang diinginkan laki-laki ini?

                                                                           ***
Di atas hamparan rumput yang tumbuh kecil-kecil, duduk seorang gadis sambil memusatkan pandangannya pada aliran air danau yang tenang. Dia begitu menikmati udara pagi ini. Segar memang, sebab danau itu ditumbuhi berbagai jenis pohon yang merindang. Belum lagi, angin yang berhembus begitu sepoi. Suasana itulah yang membuatnya betah berlama-lama memandangi aliran bening yang bergoyang malu-malu di danau itu.

Seperti pagi ini, dia datang dengan sebuah buku tebal di tangannya. Dia salah satu gadis yang menjadikan buku sebagai sarapan paginya. Tak heran, jika di kampus tempat kuliahnya, dia digelari kutu buku. Dan karena predikat kutu bukunya, dia akhirnya masuk dalam jajaran mahasiswa cerdas di kampusnya. Meski begitu, dia tidak pernah besar kepala dengan semua yang dilekatkan padanya. Keramahan dan kesederhanaannya, membuatnya digandrungi banyak teman, termasuk Bardin. Tetapi, penampilannya yang biasa-biasa saja, seringkali juga menjadi bahan tertawaan orang-orang di sekitarnya. “Cerdas, cantik, tapi kampungan!” Begitulah sebagian orang menilainya. Namun Bardin tidak bergeming kekagumannya dengan semua itu.

Dia menyukai gadis itu, benar-benar menyukainya. Bukan karena persoalan fisiknya yang juga di atas rata-rata. Bukan pula karena kecerdasannya. Tetapi karena pribadi gadis itu begitu indah di matanya. Di mata Bardin, gadis itu berbeda. Saat hampir semua perempuan membicarakan model pakaian yang lagi trend, dia malah asyik bergelut dengan judul buku terbaru. Di waktu, semua gadis enggan keluar rumah tanpa polesan, gadis ini bahkan tanpa merias wajahnya sama sekali, polos, tetapi dia cantik. Dan ketika kaumnya bangga jika dipuji kemolekan tubuhnya, dia tidak memberikan respon apa-apa. Tetap asyik dengan blus lengan panjang dan rok motif bunga yang menjuntai di bawah lututnya. Dia juga bukan tipe gadis yang banyak bicara, tetapi dia tetap supel dalam pergaulannya. Pantas saja jika Bardin tergila-gila padanya.
                                                                             ***
Langit sedikit mendung, saat kau kembali bergemuruh tentang sebuah kerinduan.

“Aku sudah bosan hidup seperti ini. Aku ingin seperti mereka, tinggal di tempat yang nyaman. Tidakkah sedikit saja kau risih? Mereka menertawaiku, karena gaun yang kugunakan setiap ada hajatan hanya itu-itu saja.”

Bardin, menarik nafasnya dalam-dalam tanpa memberi komentar apapun.

“Kita sudah menjalani ini begitu lama, tetapi kau sama sekali tidak peduli padaku. Aku ini perempuan, bukan seonggokan patung. Aku juga ingin cantik seperti mereka!”

“Meta, apa yang kau katakan? Sadarkah kau dengan semua ucapanmu tadi?” Balas Bardin, dengan sangat pelan.

“Lusa, aku dan ibu-ibu sebelah adakan arisan. Kami sudah sepakat untuk memakai pakaian dan perhiasan yang sama. Aku butuh dana belanja tambahan.” Lanjut Meta, kemudian berlalu dari hadapan Bardin.

Bardin mematung!

Aku semakin tidak mengenalimu, Istriku. Dimana gadisku yang dulu? Aku merindukan Meta yang kujumpai duduk di tepi danau, sambil memeluk buku tebal di tangannya. Aku merindukan gadisku, yang menyukai blus lengan panjang dan rok bermotif bunga yang menjuntai di bawah lututnya. Aku merindukan Metaku yang anggun dalam kesederhanaannya. Apakah kau menyadarinya? Kau banyak berubah sayang. Batinnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...