Langit begitu cerah,
tetapi kau mengatakan padaku tidak menemukan gadismu.
“Aku merindukan gadisku yang dulu,” begitulah engkau
membahasakan kerinduanmu padanya setiap kali kita berjumpa. Pun pada sore ini.
Kau mengajakku bertemu di sebuah danau yang tidak jauh dari kediamanmu. Yah,
bagimu, tempat itu menyimpan beribu romansa kau dan dia. Gadis yang selalu kau
rindui. Katamu, kau memuja matanya yang teduh, menyukai geraknya yang lincah
namun tetap bersahaja. Engkau menyukai caranya berjalan, caranya berbusana,
singkatnya, kau menyukai segala hal yang ada pada dirinya. Aku sampai begitu
penasaran, bagaimana sosok gadis itu.
“Jika kau berjumpa
dengannya, kau pasti akan menertawakannya. Sebab begitulah semua teman-teman
dekatku saat kukenalkan dia.” Ucapnya saat kutumpahkan rasa penasaranku
padanya.
“Mengapa kau berkata
begitu?”
“Sebab sebagian besar
laki-laki hanya memuja penampilan luar wanita saja!”
“Benarkah?”
“Aku yakin begitu,
tetapi aku bukan salah satu dari laki-laki yang kumaksud. Aku menyukainya,
melampaui segala kekurangan pada dirinya. Kekurangan, jika harus dikatakan
begitu, yang membuatnya sempurna di mataku.”
“Akh…. Kau terlalu
melebih-lebihkan keadaan. Bagaimana bisa kau takar argumentasiku, disaat bahkan
aku belum mengatakan apa-apa.”
Kau tersenyum, “benar
juga kawan.”
Ada setangkup resah di
bola matamu.
***
Lagi-lagi dia
menumpahkan sebongkah kerinduan yang mendesak melompat dari batok kepalanya.
Tak pagi, tak sore. Bahkan terik begini sekali pun, dia selalu mengatakan itu.
Aku terkadang heran padanya. Sepengetahuanku, dia telah memiliki seorang
pendamping hidup. Cantik pula rupanya. Tetapi mengapa dia selalu menuangkan
kerinduannya pada gadis lain. Tidak cukupkah seorang istri molek baginya. Apa
yang sebenarnya diinginkannya. Jika dia bermaksud menyia-nyiakan yang
dimilikinya sekarang, maka aku harus menghentikan semua ini. Tidak boleh ada
seorang perempuan yang tersakiti, apalagi harus dua.
Siang ini, mumpung
waktu istirahat dan makan siang di kantorku. Kuajak dia mengisi poros tengah di
kantin samping kantor kami. Berharap dia akan mengungkapkan siapa gadis itu,
supaya aku bisa menemukan jalan keluar untuk mendamaikan kerinduaannya. Lantas,
kusodorkan menu makanan padanya. Kami memesan menu yang sama, waktu menunggu
makanan tiba kugunakan berbasa basi tentang kabarnya. Sekalian, menghalau
kalau-kalau keluhannya datang lagi.
Namun, tatapan matanya
membahasakan lain. Dia memang begitu berubah tiga bulan terakhir ini. Dia yang
dulunya selalu riang dengan sapaan selamat paginya yang renyah, kini menjadi
pemurung setia. Dan hanya satu sebabnya menurutku. Karena gadis misterius itu.
Apakah aku harus marah padanya, karena dia mencoba selingkuh? Tetapi belum
tentu juga kan?
“Bar, kau tak biasanya
begini. Apa yang ada dalam pikiranmu? Gadis itu?? Siapa dia?” Pertanyaanku
memburu bak pelari maraton.
Kau memalingkan tatapan
ke arahku. “Siapa yang kau maksud?”
“Dia yang kau ceritakan
tempo hari.”
“Sudahlah, kau tidak
akan mengerti!”
“Aku hanya kasihan saja
pada, Meta. Diakan selama ini sudah menjadi pendamping yang baik bagimu. Lantas
jika kau merindukan gadis lain, bukankah itu berarti kau mengkhianatinya.”
“Kau tidak mengerti
apa-apa, Iqbal. Jadi kau pun tidak bisa menyimpulkan apa-apa sekarang.
Sudahlah, lebih baik kita kembali bekerja. Waktu istirahat sudah habis!”
Aku hanya terdiam
menatapnya berlalu dari meja makan. Apa yang diinginkan laki-laki ini?
***
Di atas hamparan rumput
yang tumbuh kecil-kecil, duduk seorang gadis sambil memusatkan pandangannya
pada aliran air danau yang tenang. Dia begitu menikmati udara pagi ini. Segar
memang, sebab danau itu ditumbuhi berbagai jenis pohon yang merindang. Belum
lagi, angin yang berhembus begitu sepoi. Suasana itulah yang membuatnya betah
berlama-lama memandangi aliran bening yang bergoyang malu-malu di danau itu.
Seperti pagi ini, dia
datang dengan sebuah buku tebal di tangannya. Dia salah satu gadis yang
menjadikan buku sebagai sarapan paginya. Tak heran, jika di kampus tempat
kuliahnya, dia digelari kutu buku. Dan karena predikat kutu bukunya, dia
akhirnya masuk dalam jajaran mahasiswa cerdas di kampusnya. Meski begitu, dia
tidak pernah besar kepala dengan semua yang dilekatkan padanya. Keramahan dan
kesederhanaannya, membuatnya digandrungi banyak teman, termasuk Bardin. Tetapi,
penampilannya yang biasa-biasa saja, seringkali juga menjadi bahan tertawaan
orang-orang di sekitarnya. “Cerdas, cantik, tapi kampungan!” Begitulah sebagian
orang menilainya. Namun Bardin tidak bergeming kekagumannya dengan semua itu.
Dia menyukai gadis itu,
benar-benar menyukainya. Bukan karena persoalan fisiknya yang juga di atas
rata-rata. Bukan pula karena kecerdasannya. Tetapi karena pribadi gadis itu
begitu indah di matanya. Di mata Bardin, gadis itu berbeda. Saat hampir semua
perempuan membicarakan model pakaian yang lagi trend, dia malah asyik bergelut
dengan judul buku terbaru. Di waktu, semua gadis enggan keluar rumah tanpa
polesan, gadis ini bahkan tanpa merias wajahnya sama sekali, polos, tetapi dia
cantik. Dan ketika kaumnya bangga jika dipuji kemolekan tubuhnya, dia tidak
memberikan respon apa-apa. Tetap asyik dengan blus lengan panjang dan rok motif
bunga yang menjuntai di bawah lututnya. Dia juga bukan tipe gadis yang banyak
bicara, tetapi dia tetap supel dalam pergaulannya. Pantas saja jika Bardin
tergila-gila padanya.
***
Langit sedikit mendung,
saat kau kembali bergemuruh tentang sebuah kerinduan.
“Aku sudah bosan hidup
seperti ini. Aku ingin seperti mereka, tinggal di tempat yang nyaman. Tidakkah
sedikit saja kau risih? Mereka menertawaiku, karena gaun yang kugunakan setiap
ada hajatan hanya itu-itu saja.”
Bardin, menarik
nafasnya dalam-dalam tanpa memberi komentar apapun.
“Kita sudah menjalani
ini begitu lama, tetapi kau sama sekali tidak peduli padaku. Aku ini perempuan,
bukan seonggokan patung. Aku juga ingin cantik seperti mereka!”
“Meta, apa yang kau
katakan? Sadarkah kau dengan semua ucapanmu tadi?” Balas Bardin, dengan sangat
pelan.
“Lusa, aku dan ibu-ibu
sebelah adakan arisan. Kami sudah sepakat untuk memakai pakaian dan perhiasan
yang sama. Aku butuh dana belanja tambahan.” Lanjut Meta, kemudian berlalu dari
hadapan Bardin.
Bardin mematung!
Aku
semakin tidak mengenalimu, Istriku. Dimana gadisku yang dulu? Aku merindukan
Meta yang kujumpai duduk di tepi danau, sambil memeluk buku tebal di tangannya.
Aku merindukan gadisku, yang menyukai blus lengan panjang dan rok bermotif
bunga yang menjuntai di bawah lututnya. Aku merindukan Metaku yang anggun dalam kesederhanaannya. Apakah kau menyadarinya?
Kau banyak berubah sayang. Batinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar