Twinkle,
twinkle, little star,
How I wonder what you are.
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky.
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are….!
Lagu ini pertama kali kudengar saat duduk di kelas 2 SMP. Kebetulan saat itu seorang guru fisika menyuruh kami mengamati rasi bintang dan mencatatnya, sebulan penuh. Aku melewati malam-malamku menyaksikan, mencari konfigurasi bintang di beranda rumah, sambil bersenandung lagu ini sepotong-sepotong. Berharap, tugas sekolah cepat selesai dan aku dapat tertidur pulas sebagaimana mauku. Tetapi semakin lama kuamati, pijar rasi bintang semakin memantik perhatianku. Ternyata tugas ini sangat menarik, sebab semakin kumenengadah menatapnya, bintang-bintang itu seolah terus bertambah satu persatu. Semuanya berpijar dengan terang cahaya, dan caranya masing-masing. Pun dengan ukurannya yang berupa-rupa, pesonanya semakin memukau. Dan tampaklah padanya bahwa hidup pun demikian; serba-serbi, bercorak, berjejal, tetapi harus dijalani agar bercahaya.
How I wonder what you are.
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky.
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are….!
Lagu ini pertama kali kudengar saat duduk di kelas 2 SMP. Kebetulan saat itu seorang guru fisika menyuruh kami mengamati rasi bintang dan mencatatnya, sebulan penuh. Aku melewati malam-malamku menyaksikan, mencari konfigurasi bintang di beranda rumah, sambil bersenandung lagu ini sepotong-sepotong. Berharap, tugas sekolah cepat selesai dan aku dapat tertidur pulas sebagaimana mauku. Tetapi semakin lama kuamati, pijar rasi bintang semakin memantik perhatianku. Ternyata tugas ini sangat menarik, sebab semakin kumenengadah menatapnya, bintang-bintang itu seolah terus bertambah satu persatu. Semuanya berpijar dengan terang cahaya, dan caranya masing-masing. Pun dengan ukurannya yang berupa-rupa, pesonanya semakin memukau. Dan tampaklah padanya bahwa hidup pun demikian; serba-serbi, bercorak, berjejal, tetapi harus dijalani agar bercahaya.
Lantas,
aku tenggelam dalam imajinasiku sendiri. Di malam terakhir, tak kulihat rasi
bintang. Tak ada andromeda, aries, capricornus, cygnus, delphinus, pisces, si pemburu Orion, semuanya lenyap. Aku berputus asa. Tetapi itu tak
lama, keputusasaanku terbalas saat sekelompok bintang, lagi-lagi
berkonfigurasi. Dan kali ini tidak seperti biasanya, awalnya bebintang itu
memadu membentuk sebuah lingkaran, lalu di tengah lingkaran tersebut ada dua
titik kecil dan selengkungan menyerupai bulan sabit di tengahnya. Dia lebih
mirip gambar sebuah senyuman. Aku menggumam, “akh…. malam ini aneh.” Semakin
kutatap bebintang tersebut, semakin lamunanku terjatuh pada rupa bentuknya. Aku
bingung, akan kunamai apa? Sebab semua harus memiliki nama, agar tak salah
mengamatinya. Jadi kunamai saja bintang spesial. Bintang spesial ini melempar
senyum padaku. Renyah, tetapi kumaknai lain. Ini tidak sebagaimana biasanya.
***
Sekarang,
aku bukan anak sekolahan lagi. Sudah berpuluh tahun sejak seragam putih biru
kutinggalkan. Tetapi kilas bintang spesial tersebut mewujud dalam aktivitas
seharianku. Bukan di langit malam, sebagaimana dulu. Tetapi dikehidupan nyata
yang penuh kelap-kelip. Aku melihat rasi-rasi bintang mendekam pulas diwajah
polos anak-anak kecil yang tiap hari bermain bersamaku. Ada yang seperti putri
Andromeda, seorang putri yang dirantai di tengah laut sebagai tumbal
kesombongan ayahnya. Anak-anak ini, tumbuh menjadi penakut dan terkekang. Meski
demikian, layaknya putri Andromeda, mereka tetap kuat dan tersenyum.
Ada
juga yang seperti Aquila, sang elang yang selalu sigap dan waspada lewat
sorotan mata tajamnya. Mereka memiliki kecurigaan yang tinggi terhadap siapapun
yang ditemuinya, selalu waspada dan melukai siapa saja yang mengancam dirinya.
Anak ini istimewa dengan mata elangnya, namun terjebak pada kekerasan hati oleh
perilaku orang terdekatnya yang lebih condong menyudutkan setiap keputusannya.
Lain halnya dengan Si Merpati; Colomba. Anak titisan Colomba, awalnya sangat
baik, penurut dan mudah berteman. Tetapi sifat itu sirnah, sebab orang tua
mereka tidak melihat potensi Si Merpati. Mereka menjinakkan dengan cara yang
kurang tepat, sehingga Merpati menjadi lupa pulang, bahkan lupa caranya
mengepakkan sayap. Dia akhirnya menjadi posesif, dan pemalu. Hadir pula Si Serpens dalam daftar konfigurasi bintangku. Dia seperti seekor ular yang mendesis. Mereka
pandai berbohong, dan lihai memecah konsentrasi teman-teman sepermainannya.
Anak-anak ini, menjadi sumber kegaduhan luar biasa. Tetapi mereka tidak bisa
disalahkan berlebih. Ada faktor lingkungan yang membuatnya demikian. Mereka
korban, kelihaian omongan dan prilaku orang-orang di sekitarnya dalam memainkan
eposide hidup. Meninggalkan mereka dalam kondisi ini, sama saja memasukkan
seekor ular dalam sebuah karung. Bagaimanapun pandainya kita mengikatnya,
mereka selalu punya cara sendiri untuk lepas bebas. Sehingga, anak-anak
Serpens, seharusnya didekati dengan kasih sayang lebih, diajarkan tentang
kejujuran, lalu diberi contoh tentang kelemahlembutan.
Kehadiran
Si Delphinus, Erinanus, dan Sagitta menambah meriah ceritaku tentang rasi-rasi bintang di hadapanku sekarang.
Mereka menggenapi karakter anak-anak dalam daftar bintang spesialku. Si
Lumba-lumba; Delphinus selalu tampil sebagai penengah bagi teman-temannya yang
senang bertengkar atau berkelahi. Kadang pula, mereka memberi contoh tentang
indahnya berbagi dari sepotong roti, bekal dari rumah. Tak lupa, berkat Si
Delphinus, yang terkenal cerdas serta penyayang, hari-hari menjadi penuh warna.
Lain halnya dengan Eridanus. Dia bak sungai yang selalu mengalir ke muara.
Arwah Eridanus pada anak-anak, mencipta mereka menjadi kesejukan sendiri,
sangat mudah mengenali dan mengendalikan jelmaan ini. Meski demikian, harus
selalu menemani anak-anak ini, sebab jika tidak, mereka akan besar dengan pola
kepasrahan, sebagaimana anak sungai yang rela airnya keruh karena longsoran
bukit, atau kotor oleh sampah yang menggenanginya. Kulihat pula, Sagitta
datang. Dia lincah memainkan perannya pada aktivitas apapun. Melesat bak anak
panah yang meninggalkan busurnya. Potensi anak-anak berwujud Sagitta sangat
besar. Mereka memiliki banyak peluang menjadi orang sukses. Tetapi ada sedikit
keraguan padanya, sebagaimana anak panah yang meninggalkan busurnya. Mereka
tidak pernah pulang dan ingat busur yang membantunya melesat. Dan Si Sagitta
harus selalu diingatkan, bahwa ada banyak faktor yang membuat seseorang sukses,
salah satunya adalah usaha dan doa orang tua, sehingga mengajarkan mereka
mencintai orang tuanya dan tahu berterima kasih sejak dini, akan membantu
mereka kelak menjadi orang sukses yang bertanggujawab.
Star
light star bright,
first star I see tonight,
I wish I may, I wish I might,
Have the wish I wish tonight.
first star I see tonight,
I wish I may, I wish I might,
Have the wish I wish tonight.
Inilah,
cerita tentang rasi bintangku di Cakrawala. Dan kesemuanya kurangkum dalam
edisi bintang spesial. Sebab kehadiran mereka memang istemewa, spesial karena
dirinya sendiri, bukan oleh lekatan orang lain. Sekarang, aku tidak lagi
menulisnya dalam buku catatan karena suruhan Si Guru fisika. Buat apa
menulisnya di atas kertas yang tintanya mudah luruh? Jika lembar-lembar
ceritanya tiap pagi terhampar di hadapanku. Dan harapanku, biarlah rasi bintang
ini terus memijarkan cahayanya, sampai kehati yang menatapnya. Sampai kejiwa
pecintanya.
“Tuhan berbicara lewat banyak hal,
banyak mulut, dan banyak peristiwa. Tuhan pun berkisah pada banyak hal, pada
awan, gunung, matahari, pun pada bintang gemintang yang tak bosan-bosannya
berbagi kebahagiaan. Amati, lalu pelajari agar hidup tak serupa katak dalam
tempurung….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar