Rabu, 27 Januari 2016

Bintang Spesial

Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are.
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky.
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are….!

 Lagu ini pertama kali kudengar saat duduk di kelas 2 SMP. Kebetulan saat itu seorang guru fisika menyuruh kami mengamati rasi bintang dan mencatatnya, sebulan penuh. Aku melewati malam-malamku menyaksikan, mencari konfigurasi bintang di beranda rumah, sambil bersenandung lagu ini sepotong-sepotong. Berharap, tugas sekolah cepat selesai dan aku dapat tertidur pulas sebagaimana mauku. Tetapi semakin lama kuamati, pijar rasi bintang semakin memantik perhatianku. Ternyata tugas ini sangat menarik, sebab semakin kumenengadah menatapnya, bintang-bintang itu seolah terus bertambah satu persatu. Semuanya berpijar dengan terang cahaya, dan caranya masing-masing. Pun dengan ukurannya yang berupa-rupa, pesonanya semakin memukau. Dan tampaklah padanya bahwa hidup pun demikian; serba-serbi, bercorak, berjejal, tetapi harus dijalani agar bercahaya.


Lantas, aku tenggelam dalam imajinasiku sendiri. Di malam terakhir, tak kulihat rasi bintang. Tak ada andromeda, aries, capricornus, cygnus, delphinus, pisces, si pemburu Orion, semuanya lenyap. Aku berputus asa. Tetapi itu tak lama, keputusasaanku terbalas saat sekelompok bintang, lagi-lagi berkonfigurasi. Dan kali ini tidak seperti biasanya, awalnya bebintang itu memadu membentuk sebuah lingkaran, lalu di tengah lingkaran tersebut ada dua titik kecil dan selengkungan menyerupai bulan sabit di tengahnya. Dia lebih mirip gambar sebuah senyuman. Aku menggumam, “akh…. malam ini aneh.” Semakin kutatap bebintang tersebut, semakin lamunanku terjatuh pada rupa bentuknya. Aku bingung, akan kunamai apa? Sebab semua harus memiliki nama, agar tak salah mengamatinya. Jadi kunamai saja bintang spesial. Bintang spesial ini melempar senyum padaku. Renyah, tetapi kumaknai lain. Ini tidak sebagaimana biasanya.

                                                                        ***
Sekarang, aku bukan anak sekolahan lagi. Sudah berpuluh tahun sejak seragam putih biru kutinggalkan. Tetapi kilas bintang spesial tersebut mewujud dalam aktivitas seharianku. Bukan di langit malam, sebagaimana dulu. Tetapi dikehidupan nyata yang penuh kelap-kelip. Aku melihat rasi-rasi bintang mendekam pulas diwajah polos anak-anak kecil yang tiap hari bermain bersamaku. Ada yang seperti putri Andromeda, seorang putri yang dirantai di tengah laut sebagai tumbal kesombongan ayahnya. Anak-anak ini, tumbuh menjadi penakut dan terkekang. Meski demikian, layaknya putri Andromeda, mereka tetap kuat dan tersenyum.

Ada juga yang seperti Aquila, sang elang yang selalu sigap dan waspada lewat sorotan mata tajamnya. Mereka memiliki kecurigaan yang tinggi terhadap siapapun yang ditemuinya, selalu waspada dan melukai siapa saja yang mengancam dirinya. Anak ini istimewa dengan mata elangnya, namun terjebak pada kekerasan hati oleh perilaku orang terdekatnya yang lebih condong menyudutkan setiap keputusannya. Lain halnya dengan Si Merpati; Colomba. Anak titisan Colomba, awalnya sangat baik, penurut dan mudah berteman. Tetapi sifat itu sirnah, sebab orang tua mereka tidak melihat potensi Si Merpati. Mereka menjinakkan dengan cara yang kurang tepat, sehingga Merpati menjadi lupa pulang, bahkan lupa caranya mengepakkan sayap. Dia akhirnya menjadi posesif, dan pemalu. Hadir pula Si Serpens dalam daftar konfigurasi bintangku. Dia seperti seekor ular yang mendesis. Mereka pandai berbohong, dan lihai memecah konsentrasi teman-teman sepermainannya. Anak-anak ini, menjadi sumber kegaduhan luar biasa. Tetapi mereka tidak bisa disalahkan berlebih. Ada faktor lingkungan yang membuatnya demikian. Mereka korban, kelihaian omongan dan prilaku orang-orang di sekitarnya dalam memainkan eposide hidup. Meninggalkan mereka dalam kondisi ini, sama saja memasukkan seekor ular dalam sebuah karung. Bagaimanapun pandainya kita mengikatnya, mereka selalu punya cara sendiri untuk lepas bebas. Sehingga, anak-anak Serpens, seharusnya didekati dengan kasih sayang lebih, diajarkan tentang kejujuran, lalu diberi contoh tentang kelemahlembutan.

Kehadiran Si Delphinus, Erinanus, dan Sagitta menambah meriah ceritaku tentang rasi-rasi bintang di hadapanku sekarang. Mereka menggenapi karakter anak-anak dalam daftar bintang spesialku. Si Lumba-lumba; Delphinus selalu tampil sebagai penengah bagi teman-temannya yang senang bertengkar atau berkelahi. Kadang pula, mereka memberi contoh tentang indahnya berbagi dari sepotong roti, bekal dari rumah. Tak lupa, berkat Si Delphinus, yang terkenal cerdas serta penyayang, hari-hari menjadi penuh warna. Lain halnya dengan Eridanus. Dia bak sungai yang selalu mengalir ke muara. Arwah Eridanus pada anak-anak, mencipta mereka menjadi kesejukan sendiri, sangat mudah mengenali dan mengendalikan jelmaan ini. Meski demikian, harus selalu menemani anak-anak ini, sebab jika tidak, mereka akan besar dengan pola kepasrahan, sebagaimana anak sungai yang rela airnya keruh karena longsoran bukit, atau kotor oleh sampah yang menggenanginya. Kulihat pula, Sagitta datang. Dia lincah memainkan perannya pada aktivitas apapun. Melesat bak anak panah yang meninggalkan busurnya. Potensi anak-anak berwujud Sagitta sangat besar. Mereka memiliki banyak peluang menjadi orang sukses. Tetapi ada sedikit keraguan padanya, sebagaimana anak panah yang meninggalkan busurnya. Mereka tidak pernah pulang dan ingat busur yang membantunya melesat. Dan Si Sagitta harus selalu diingatkan, bahwa ada banyak faktor yang membuat seseorang sukses, salah satunya adalah usaha dan doa orang tua, sehingga mengajarkan mereka mencintai orang tuanya dan tahu berterima kasih sejak dini, akan membantu mereka kelak menjadi orang sukses yang bertanggujawab.

Star light star bright,
first star I see tonight,
I wish I may, I wish I might,
Have the wish I wish tonight.

Inilah, cerita tentang rasi bintangku di Cakrawala. Dan kesemuanya kurangkum dalam edisi bintang spesial. Sebab kehadiran mereka memang istemewa, spesial karena dirinya sendiri, bukan oleh lekatan orang lain. Sekarang, aku tidak lagi menulisnya dalam buku catatan karena suruhan Si Guru fisika. Buat apa menulisnya di atas kertas yang tintanya mudah luruh? Jika lembar-lembar ceritanya tiap pagi terhampar di hadapanku. Dan harapanku, biarlah rasi bintang ini terus memijarkan cahayanya, sampai kehati yang menatapnya. Sampai kejiwa pecintanya.


“Tuhan berbicara lewat banyak hal, banyak mulut, dan banyak peristiwa. Tuhan pun berkisah pada banyak hal, pada awan, gunung, matahari, pun pada bintang gemintang yang tak bosan-bosannya berbagi kebahagiaan. Amati, lalu pelajari agar hidup tak serupa katak dalam tempurung….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...