Dua hari yang lalu, blogku tidak bisa terbuka. Itu artinya
aku tidak bisa lagi mengutak-atiknya dan meng-update tulisan. Aku kehilangan ruang berkata-kata. Apapun yang ada
kini dalam blog itu, kini, hanya sebatas kulihat dan kubaca di beranda saja,
dia telah lepas dari kendaliku, dan dia layaknya situs-situs atau blog-blog
yang lain; hanya bisa kupandangi, kubaca-baca, atau ku copy isinya jika perlu.
Lepas kendali dari blog sendiri, sama rasanya dahulu ketika
aku masih seusia anak SD. Hobiku saat itu adalah main “bongkar pasang”. Sebuah mainan
anak kecil bermodalkan orang-orangan dari kertas yang dibeli satu set dengan
baju-baju, serta aksesoris lainnya. Memainkan mainan tersebut, sebagaimana
orang berteatrikal. Aku yang membuat desain rumahnya, dialog dan alur
ceritanya. Tanpa sadar, permainan itulah yang menggiringku diam-diam menulis
puisi, cerita, dan essai ringan yang akhirnya sering nangkring di MADING
sekolah sewaktu aku SMP dan SMA.
Bermain “bongkar pasang”, semisal mengelolah blog, dan itu
baru kusadari. Sebab, jika membuat blog, harus kunikmati berbagai
pengaturan-pengaturan yang tersedia di dasbor, agar blog tampak menarik, senada
dengan bermain “bongkar pasang”. Mengapa dinamai demikian? Karena permainan ini
dimainkan, diatur, dihidupkan dengan dialog dan alur cerita sesuka pemainnya
(kita). Setelahnya itu, seperangkat mainan tersebut dibongkar, disimpan kembali
dalam kardus kecil, sebagaimana aku menyimpannya. Atau di kantong plastik seperti
teman-temanku.
Apanya yang mirip dengan blog? Orang-orang yang pernah
bermain permainan ini, sedikit banyak pasti tahu. Jika blog membutuhkan
sentuhan estetika saat mengelolahnya, maka “bongkar pasang” juga membutuhkan
kreativitas seni orang yang memainkannya saat membuat rumah-rumahan, dan
mengatur tata letak perabotnya untuk orang-orang kertas tersebut. Jika dalam
blog, dialog hasil cipta pikiran tertuang dalam tulisan-tulisan, maka pada
permainan “bongkar pasang”, dialog cipta pikiran terumpah pada kata-kata lisan
pemainnya yang berdialog sendiri bak pemain teater monolog. Dan jika
tulisan-tulisan dalam blog menggunakan sudut pandang yang beraneka ragam, sama
halnya dengan bermain “bongkar pasang” yang bisa saja Si Pemain menceritakan
mimpi-mimpi sedih dan bahagianya sendiri lewat orang-orang kertas itu (sudut
pandang pertama), pun melibatkan orang lain di luar dirinya (sudut pandang
kedua dan tiga), sebab permainan ini bisa dimainkan dengan melibatkan banyak
orang. Tentunya dengan membawa “bongkar pasang” masing-masing lalu dibentuklah
sebuah koloni masyarakat orang-orang kertas.
Aku pun juga punya pengalaman tidak menyenangkan perihal “bongkar
pasang”. Dahulu, dikalangan teman-teman sebanyaku, aku dikenal sebagai pembuat
setting (rumah-rumahan) paling menarik. Karena itu, beberapa orang teman senang
ikut nebeng/ indekost di
rumah-rumahanku. Sisanya lagi sakit hati karena tidak kuizinkan ikut di rumahku.
Aku dan teman-teman biasanya memanfaatkan tanah liat yang
sedikit basah di perkebunan coklat belakang sekolah. Tanah liat itu kami
datarkan dengan menumbuk-numbuknya menggunakan batu pipih. Setelah itu,
dibentuklah bagian-bagian rumah mulai dari ruang tamu, dapur, kamar tidur, dan
ruang keluarga. Detail tangga-tangga, taman, dan pintu masuk pun kami buat. Perabot-perabotnya,
semisal kursi, tempat tidur, lemari, sampai pada piring, dan gelas-gelasnya,
semua terbuat dari tanah liat. Di sinilah biasanya aku mengimajinasikan diri
menjadi orang yang super kaya berumah mewah. Tetapi suatu ketika, sementara
bermain lonceng sekolah mengakhiri waktu istirahat, dan aku pun harus
menghentikan bermain. Karena niatnya ingin menyambung bermain lagi setelah
pulang sekolah, maka permainan tersebut tidak kupungut, pun tata letaknya dan
jalan ceritanya juga kubiarkan dulu (bersambung). Aku pun menutupi alakadarnya dengan
dua lembar daun jati lalu kutindih dengan seranting kayu.
Setelah jam pelajaran, bergegas kumenengok permaianku. Dan, alangkah
kangetnya saat dari kejahuan kulihat lembar-lembar daun jati itu telah
terhempas, dan setelah lebih dekat lagi, permainanku acak-acakan. Pun pada
perabot-perabotnya yang pada penyok. Jika yang melakukannya adalah angin
kencang, tidak mungkin perabot-perabot hasil kreativitasku dari tanah liat
penyok-penyok. Kulirik di samping rumah “bongkar pasang” temanku yang lain,
semuanya tampak rapi. Lalu selang beberapa waktu, kudapati kalimat, “siapa
suruhko bombeka!” yang sengaja ditulis menggunakan potongan lidi kering
(masih kudapati dekat tulisan) di lantai tanah liat bekas rumah-rumahanku. Siang
itu, kejengkelanku berbaur dengan rasa lapar, dan ujungnya aku menangis. Aku
sempat menghardik orang yang kucurigai sebagai pelaku, tetapi malah hardikanku
itu berbalik dimarahinya aku oleh salah satu guru karena yang kuhardik itu
adalah anak guruku. Dan semuanya tidak berubah, “bongkar-pasang”ku patah-patah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar