Jumat, 29 Januari 2016

Bermain Bongkar Pasang

Dua hari yang lalu, blogku tidak bisa terbuka. Itu artinya aku tidak bisa lagi mengutak-atiknya dan meng-update tulisan. Aku kehilangan ruang berkata-kata. Apapun yang ada kini dalam blog itu, kini, hanya sebatas kulihat dan kubaca di beranda saja, dia telah lepas dari kendaliku, dan dia layaknya situs-situs atau blog-blog yang lain; hanya bisa kupandangi, kubaca-baca, atau ku copy isinya jika perlu.

Lepas kendali dari blog sendiri, sama rasanya dahulu ketika aku masih seusia anak SD. Hobiku saat itu adalah main “bongkar pasang”. Sebuah mainan anak kecil bermodalkan orang-orangan dari kertas yang dibeli satu set dengan baju-baju, serta aksesoris lainnya. Memainkan mainan tersebut, sebagaimana orang berteatrikal. Aku yang membuat desain rumahnya, dialog dan alur ceritanya. Tanpa sadar, permainan itulah yang menggiringku diam-diam menulis puisi, cerita, dan essai ringan yang akhirnya sering nangkring di MADING sekolah sewaktu aku SMP dan SMA.

Bermain “bongkar pasang”, semisal mengelolah blog, dan itu baru kusadari. Sebab, jika membuat blog, harus kunikmati berbagai pengaturan-pengaturan yang tersedia di dasbor, agar blog tampak menarik, senada dengan bermain “bongkar pasang”. Mengapa dinamai demikian? Karena permainan ini dimainkan, diatur, dihidupkan dengan dialog dan alur cerita sesuka pemainnya (kita). Setelahnya itu, seperangkat mainan tersebut dibongkar, disimpan kembali dalam kardus kecil, sebagaimana aku menyimpannya. Atau di kantong plastik seperti teman-temanku.

Apanya yang mirip dengan blog? Orang-orang yang pernah bermain permainan ini, sedikit banyak pasti tahu. Jika blog membutuhkan sentuhan estetika saat mengelolahnya, maka “bongkar pasang” juga membutuhkan kreativitas seni orang yang memainkannya saat membuat rumah-rumahan, dan mengatur tata letak perabotnya untuk orang-orang kertas tersebut. Jika dalam blog, dialog hasil cipta pikiran tertuang dalam tulisan-tulisan, maka pada permainan “bongkar pasang”, dialog cipta pikiran terumpah pada kata-kata lisan pemainnya yang berdialog sendiri bak pemain teater monolog. Dan jika tulisan-tulisan dalam blog menggunakan sudut pandang yang beraneka ragam, sama halnya dengan bermain “bongkar pasang” yang bisa saja Si Pemain menceritakan mimpi-mimpi sedih dan bahagianya sendiri lewat orang-orang kertas itu (sudut pandang pertama), pun melibatkan orang lain di luar dirinya (sudut pandang kedua dan tiga), sebab permainan ini bisa dimainkan dengan melibatkan banyak orang. Tentunya dengan membawa “bongkar pasang” masing-masing lalu dibentuklah sebuah koloni masyarakat orang-orang kertas.

Aku pun juga punya pengalaman tidak menyenangkan perihal “bongkar pasang”. Dahulu, dikalangan teman-teman sebanyaku, aku dikenal sebagai pembuat setting (rumah-rumahan) paling menarik. Karena itu, beberapa orang teman senang ikut nebeng/ indekost di rumah-rumahanku. Sisanya lagi sakit hati karena tidak kuizinkan ikut di rumahku.

Aku dan teman-teman biasanya memanfaatkan tanah liat yang sedikit basah di perkebunan coklat belakang sekolah. Tanah liat itu kami datarkan dengan menumbuk-numbuknya menggunakan batu pipih. Setelah itu, dibentuklah bagian-bagian rumah mulai dari ruang tamu, dapur, kamar tidur, dan ruang keluarga. Detail tangga-tangga, taman, dan pintu masuk pun kami buat. Perabot-perabotnya, semisal kursi, tempat tidur, lemari, sampai pada piring, dan gelas-gelasnya, semua terbuat dari tanah liat. Di sinilah biasanya aku mengimajinasikan diri menjadi orang yang super kaya berumah mewah. Tetapi suatu ketika, sementara bermain lonceng sekolah mengakhiri waktu istirahat, dan aku pun harus menghentikan bermain. Karena niatnya ingin menyambung bermain lagi setelah pulang sekolah, maka permainan tersebut tidak kupungut, pun tata letaknya dan jalan ceritanya juga kubiarkan dulu (bersambung). Aku pun menutupi alakadarnya dengan dua lembar daun jati lalu kutindih dengan seranting kayu.

Setelah jam pelajaran, bergegas kumenengok permaianku. Dan, alangkah kangetnya saat dari kejahuan kulihat lembar-lembar daun jati itu telah terhempas, dan setelah lebih dekat lagi, permainanku acak-acakan. Pun pada perabot-perabotnya yang pada penyok. Jika yang melakukannya adalah angin kencang, tidak mungkin perabot-perabot hasil kreativitasku dari tanah liat penyok-penyok. Kulirik di samping rumah “bongkar pasang” temanku yang lain, semuanya tampak rapi. Lalu selang beberapa waktu, kudapati  kalimat, “siapa suruhko bombeka!” yang sengaja ditulis menggunakan potongan lidi kering (masih kudapati dekat tulisan) di lantai tanah liat bekas rumah-rumahanku. Siang itu, kejengkelanku berbaur dengan rasa lapar, dan ujungnya aku menangis. Aku sempat menghardik orang yang kucurigai sebagai pelaku, tetapi malah hardikanku itu berbalik dimarahinya aku oleh salah satu guru karena yang kuhardik itu adalah anak guruku. Dan semuanya tidak berubah, “bongkar-pasang”ku patah-patah.

Perasaan ini juga kurasakan lagi saat aku lepas kendali dari blogku yang siangnya masih sempat kusesaki dengan kata-kata. Aku sempat berpikir, adakah yang kusakiti dari tulisan-tulisan sederhana di blog itu yang membuatnya tidak bisa kumainkan lagi? Tetapi, mencari kambing hitam rupanya tidak berguna, seperti halnya dulu ketika permainan “bongkar-pasang”ku diporak-porandakan. Mendingan aku membuka blog baru sebagaimana saran temanku. Agar aku kembali memiliki ruang menumpahkan kata-kata yang semoga tidak mendarahkan hati siapa pun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...