Pagi,
sepulang beraktivitas dengan mata yang sedikit bengkak akibat begadang
semalaman, aku jalan sempoyongan. Seolah menghitung setiap senti langkah,
berharap cepat sampai lalu bersua dengan tempat tidur. Namun di tengah
perjalanan, seorang anak memanggil dari kejahuan. Ternyata sedari tadi dia
memerhatikanku, bahkan kami sempat berpapasan. Tetapi karena konsentrasiku
sedang buruk, aku sama sekali tidak tahu, sampai dia yang memanggil setengah
teriak, “Ibuuuuuuu……”. Dia menghampiriku, menjabat dan mencium punggung
tanganku. Masih dalam kondisi linglung, aku membagi senyum padanya. Pikirku,
setelah ini dia akan berlalu, tetapi ternyata tidak. Beberapa menit kemudian,
dia malah menggandeng tanganku, dan berjalan di sampingku. Terus mengikuti hingga
pada sebuah belokan menuju kostku. “Bu, dari manaki? Tanyanya. Kujawab
seadanya, “dari rumah teman.” Lalu lanjutnya, “lamata libur, Bu. Kapan
sekolah?”. “Besok….” Kataku. Pertanyaannya terus berlanjut, tetapi selalu
kujawab sekedarnya karena staminaku benar-benar hampir terkuras. Pun pada
genggamannya, yang semakin kuat, seakan-akan ingin mengalirkan satu kerinduan
yang telah lama tersumbat.
Karena
mungkin bosan menunggu, seorang anak yang sedari tadi bersamanya teriak,
“Weiiii…. Ndakmoko ikut?”. Si anak langsung berlari ke arah teriakan itu, dan
lagi-lagi tak lupa menjabat tanganku. Aku termangu, anak mataku mengikuti
sosoknya hingga banyangnya tak nampak. Kepergiannya seakan memberi kekuatan
baru, lalu membuatku terbangun dari kelinglungan. Ujung-ujung sadarku memutar
kembali memori yang baru saja terjadi. Dan aku tak habis pikir tentang anak
yang satu ini, beserta pertanyaan-pertanyaan yang baru saja dia lontarkan. Dia
merindukan sekolahnya??? Dia merindukan gurunya??? Luar biasa. Setahuku anak
ini tidak terbiasa demikian, apalagi di luar lingkungan sekolah. Tetapi hari
ini, wajah lain terlukis didirinya. Asumsi awal kami, dia anak yang aneh.
Bahkan sebagian dari kami menyebutnya amphibians son
karena sikapnya yang berubah-ubah berdasarkan lingkungannya. Di sekolah, dia
anak yang baik dan penurut, tetapi setelah pulang, perangainya menjadi brutal,
kasar, dan seringkali mengeluarkan kata-kata kotor.
Bukan
hal yang terjadi begitu saja, anak ini memang hidup di lingkungan yang
terbilang “keras”. Hampir setiap hari mulai dari bangun hingga tidurnya lagi,
benaknya disesak dengan pertengkaran-pertengkaran, pukulan, pun
kekasaran-kekasaran orang dewasa. Dan di sekolah, kami mengajarkan tentang
kelembutan, kasih-sayang, dan perkataan-perkataan halus. Sehingga, kontradiksi
terjadi dalam dirinya. Wajar saja, jika sewaktu-waktu anak ini baik, dan bisa
pula drastis menjadi buruk. Namun hari ini, sikapnya bercerita lain. bukan di
sekolah, dan dia mewujudkan wajah lembutnya.
“Semoga bukan hanya saat ini….” Gumamku, lalu melanjutkan perjalanan.
Si
ampibian son, mengingatkan kita tentang hewan-hewan amfibi, pasti semua sudah
tidak asing lagi. Bahwa hewan-hewan amfibi seperti katak, kodok, salamander
(sejenis kadal), dll merupakan hewan yang mampu hidup di dua tempat; air dan
daratan. Yang khas dari hewan-hewan ini, karena mereka memiliki cara yang unik
untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan tempat dimana dia berada. Taruhlah
misalnya seekor katak. Mereka meninggalkan telurnya di air, lalu menetas,
berubah menjadi Berudu atau kecebong kecil dan bernafas di dalam air, layaknya
ikan. Berudu ini lantas berkembang dan mengalami perubahan. Kaki mereka tumbuh
dan bisa melompat ke daratan. Mereka mulai bernafas di udara. Ekornya lalu
memendek, dan menghilang. Sehinggah darat dan air merupakan dua alam tempat
mereka bebas mengaktualkan segala potensinya.
Sebagaimana
katak, manusia juga memiliki kemampuan itu. Meski Kita tidak mampu bernapas di
dalam air namun kita tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungannya dengan
air. Sebab dalam tubuh kita, air (cairan) mendominasi strukturnya. Pun dengan
udara, kita membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup. Jika ditarik
keterhubungannya lebih jauh, bahwa jika katak mampu hidup di dua alam; air dan
udara, maka manusia pun demikian. Alam yang dimaksud ini tidak hanya terbatas
sebagaimana katak, melainkan pada dua kondisi yang berbeda. Taruhlah misalnya,
kondisi sedih dan bahagia, di dalam dan di luar rumah. Pun manusia juga
memiliki cara yang unik untuk mengompromikan kondisi ini.
Yang
paling hebat, jika hal ini kita amati pada dunia anak-anak. Sebab mereka kadang
mampu berekspresi secara cepat, namun kadang pula mereka menjadi lupa beda
ataupun rasa “sedih dan bahagia” itu. Sebagaimana cerita yang mengawali tulisan
ini, seorang anak yang terjebak dalam kondisi kehidupan penuh “rupa-rupa”
akhirnya terbiasa dan tumbuh menjadi anak yang berwajah “rupa-rupa” pula.
Bayangkan dalam usianya yang baru menginjak enam tahun (masa golden age bagi anak-anak yang
seharusnya diisi dengan contoh-contoh yang baik), momok kehidupan keras
melingkupinya. Perlakuan kasar pun menjadi santapannya sehari-hari. Belum lagi,
jika mereka terpaksa berbohong karena mengharap ibah dari orang lain; ini hasil
didikan orang tuanya juga, karena sikap tersebut dibutuhkan jika mencari nafkah
di jalan. Maka dalam dirinya, terjadi perdebatan yang begitu hebat tentang mana
yang baik dan mana yang buruk. Nasibnya diombang ambingkan oleh orang tuanya,
lingkungannya, dan mungkin oleh kami, guru-gurunya. Yang pasti, apapun yang terjadi
pada diri seorang anak, semua merupakan tanggung jawab kita. Si ampibian son
ini, mungkin saja mampu bertahan, namun kita tidak bisa menerka pasti sampai
dimana batas mampunya, “sakitnya” Si anak, bisa saja terbawa hingga masa
remaja, dewasa, dan tuanya.
Jika
anak dibesarkan dalam kecaman, ia akan belajar menyalahkan
Jika anak dibesarkan dalam permusuhan, ia akan belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dalam ketakutan, ia akan menjadi penakut di masa depan
Jika anak dibesarkan dalam belas kasihan, ia akan belajar menyesali dirinya
Jika anak dibesarkan dalam olok-olokan, ia akan menjadi pemalu
Jika anak dibesarkan dalam permusuhan, ia akan belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dalam ketakutan, ia akan menjadi penakut di masa depan
Jika anak dibesarkan dalam belas kasihan, ia akan belajar menyesali dirinya
Jika anak dibesarkan dalam olok-olokan, ia akan menjadi pemalu
Jika
anak dibesarkan dalam restu dan persetujuan, ia akan belajar menyukai dirinya
Jika
anak dibesarkan dalam kecemburuan, ia akan belajar iri hati
Jika
anak dibesarkan dalam aib, ia akan belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dalam toleransi, ia akan belajar bersabar
Jika anak dibesarkan dalam dorongan, ia akan belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dalam pujian, ia akan belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dalam restu dan persetujuan, ia akan belajar menyukai dirinya
Jika anak dibesarkan dalam penghargaan, ia akan belajar memiliki cita-cita
Jika anak dibesarkan dalam suasana saling memberi, ia akan belajar murah hati
Jika anak dibesarkan dalam kejujuran dan keadilan, ia akan belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dalam rasa aman, ia akan belajar mempercayai orang-orang sekitar
Jika anak dibesarkan dalam persahabatan, ia akan mengetahui bahwa hidup ini menyenangkan
Jika anak dibesarkan dalam toleransi, ia akan belajar bersabar
Jika anak dibesarkan dalam dorongan, ia akan belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dalam pujian, ia akan belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dalam restu dan persetujuan, ia akan belajar menyukai dirinya
Jika anak dibesarkan dalam penghargaan, ia akan belajar memiliki cita-cita
Jika anak dibesarkan dalam suasana saling memberi, ia akan belajar murah hati
Jika anak dibesarkan dalam kejujuran dan keadilan, ia akan belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dalam rasa aman, ia akan belajar mempercayai orang-orang sekitar
Jika anak dibesarkan dalam persahabatan, ia akan mengetahui bahwa hidup ini menyenangkan
Jika anak dibesarkan dalam
ketentraman, ia akan belajar memiliki pikiran yang damai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar