Rabu, 27 Januari 2016

Ampibian Son

Pagi, sepulang beraktivitas dengan mata yang sedikit bengkak akibat begadang semalaman, aku jalan sempoyongan. Seolah menghitung setiap senti langkah, berharap cepat sampai lalu bersua dengan tempat tidur. Namun di tengah perjalanan, seorang anak memanggil dari kejahuan. Ternyata sedari tadi dia memerhatikanku, bahkan kami sempat berpapasan. Tetapi karena konsentrasiku sedang buruk, aku sama sekali tidak tahu, sampai dia yang memanggil setengah teriak, “Ibuuuuuuu……”. Dia menghampiriku, menjabat dan mencium punggung tanganku. Masih dalam kondisi linglung, aku membagi senyum padanya. Pikirku, setelah ini dia akan berlalu, tetapi ternyata tidak. Beberapa menit kemudian, dia malah menggandeng tanganku, dan berjalan di sampingku. Terus mengikuti hingga pada sebuah belokan menuju kostku. “Bu, dari manaki? Tanyanya. Kujawab seadanya, “dari rumah teman.” Lalu lanjutnya, “lamata libur, Bu. Kapan sekolah?”. “Besok….” Kataku. Pertanyaannya terus berlanjut, tetapi selalu kujawab sekedarnya karena staminaku benar-benar hampir terkuras. Pun pada genggamannya, yang semakin kuat, seakan-akan ingin mengalirkan satu kerinduan yang telah lama tersumbat.


Karena mungkin bosan menunggu, seorang anak yang sedari tadi bersamanya teriak, “Weiiii…. Ndakmoko ikut?”. Si anak langsung berlari ke arah teriakan itu, dan lagi-lagi tak lupa menjabat tanganku. Aku termangu, anak mataku mengikuti sosoknya hingga banyangnya tak nampak. Kepergiannya seakan memberi kekuatan baru, lalu membuatku terbangun dari kelinglungan. Ujung-ujung sadarku memutar kembali memori yang baru saja terjadi. Dan aku tak habis pikir tentang anak yang satu ini, beserta pertanyaan-pertanyaan yang baru saja dia lontarkan. Dia merindukan sekolahnya??? Dia merindukan gurunya??? Luar biasa. Setahuku anak ini tidak terbiasa demikian, apalagi di luar lingkungan sekolah. Tetapi hari ini, wajah lain terlukis didirinya. Asumsi awal kami, dia anak yang aneh. Bahkan sebagian dari kami menyebutnya amphibians son karena sikapnya yang berubah-ubah berdasarkan lingkungannya. Di sekolah, dia anak yang baik dan penurut, tetapi setelah pulang, perangainya menjadi brutal, kasar, dan seringkali mengeluarkan kata-kata kotor.

Bukan hal yang terjadi begitu saja, anak ini memang hidup di lingkungan yang terbilang “keras”. Hampir setiap hari mulai dari bangun hingga tidurnya lagi, benaknya disesak dengan pertengkaran-pertengkaran, pukulan, pun kekasaran-kekasaran orang dewasa. Dan di sekolah, kami mengajarkan tentang kelembutan, kasih-sayang, dan perkataan-perkataan halus. Sehingga, kontradiksi terjadi dalam dirinya. Wajar saja, jika sewaktu-waktu anak ini baik, dan bisa pula drastis menjadi buruk. Namun hari ini, sikapnya bercerita lain. bukan di sekolah, dan dia mewujudkan wajah lembutnya.

“Semoga bukan hanya saat ini….” Gumamku, lalu melanjutkan perjalanan.

Si ampibian son, mengingatkan kita tentang hewan-hewan amfibi, pasti semua sudah tidak asing lagi. Bahwa hewan-hewan amfibi seperti katak, kodok, salamander (sejenis kadal), dll merupakan hewan yang mampu hidup di dua tempat; air dan daratan. Yang khas dari hewan-hewan ini, karena mereka memiliki cara yang unik untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan tempat dimana dia berada. Taruhlah misalnya seekor katak. Mereka meninggalkan telurnya di air, lalu menetas, berubah menjadi Berudu atau kecebong kecil dan bernafas di dalam air, layaknya ikan. Berudu ini lantas berkembang dan mengalami perubahan. Kaki mereka tumbuh dan bisa melompat ke daratan. Mereka mulai bernafas di udara. Ekornya lalu memendek, dan menghilang. Sehinggah darat dan air merupakan dua alam tempat mereka bebas mengaktualkan segala potensinya.

Sebagaimana katak, manusia juga memiliki kemampuan itu. Meski Kita tidak mampu bernapas di dalam air namun kita tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungannya dengan air. Sebab dalam tubuh kita, air (cairan) mendominasi strukturnya. Pun dengan udara, kita membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup. Jika ditarik keterhubungannya lebih jauh, bahwa jika katak mampu hidup di dua alam; air dan udara, maka manusia pun demikian. Alam yang dimaksud ini tidak hanya terbatas sebagaimana katak, melainkan pada dua kondisi yang berbeda. Taruhlah misalnya, kondisi sedih dan bahagia, di dalam dan di luar rumah. Pun manusia juga memiliki cara yang unik untuk mengompromikan kondisi ini.

Yang paling hebat, jika hal ini kita amati pada dunia anak-anak. Sebab mereka kadang mampu berekspresi secara cepat, namun kadang pula mereka menjadi lupa beda ataupun rasa “sedih dan bahagia” itu. Sebagaimana cerita yang mengawali tulisan ini, seorang anak yang terjebak dalam kondisi kehidupan penuh “rupa-rupa” akhirnya terbiasa dan tumbuh menjadi anak yang berwajah “rupa-rupa” pula. Bayangkan dalam usianya yang baru menginjak enam tahun (masa golden age bagi anak-anak yang seharusnya diisi dengan contoh-contoh yang baik), momok kehidupan keras melingkupinya. Perlakuan kasar pun menjadi santapannya sehari-hari. Belum lagi, jika mereka terpaksa berbohong karena mengharap ibah dari orang lain; ini hasil didikan orang tuanya juga, karena sikap tersebut dibutuhkan jika mencari nafkah di jalan. Maka dalam dirinya, terjadi perdebatan yang begitu hebat tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Nasibnya diombang ambingkan oleh orang tuanya, lingkungannya, dan mungkin oleh kami, guru-gurunya. Yang pasti, apapun yang terjadi pada diri seorang anak, semua merupakan tanggung jawab kita. Si ampibian son ini, mungkin saja mampu bertahan, namun kita tidak bisa menerka pasti sampai dimana batas mampunya, “sakitnya” Si anak, bisa saja terbawa hingga masa remaja, dewasa, dan tuanya.

Jika anak dibesarkan dalam kecaman, ia akan belajar menyalahkan
Jika anak dibesarkan dalam permusuhan, ia akan belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dalam ketakutan, ia akan menjadi penakut di masa depan
Jika anak dibesarkan dalam belas kasihan, ia akan belajar menyesali dirinya
Jika anak dibesarkan dalam olok-olokan, ia akan menjadi pemalu
Jika anak dibesarkan dalam restu dan persetujuan, ia akan belajar menyukai dirinya
Jika anak dibesarkan dalam kecemburuan, ia akan belajar iri hati
Jika anak dibesarkan dalam aib, ia akan belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dalam toleransi, ia akan belajar bersabar
Jika anak dibesarkan dalam dorongan, ia akan belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dalam pujian, ia akan belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dalam restu dan persetujuan, ia akan belajar menyukai dirinya
Jika anak dibesarkan dalam penghargaan, ia akan belajar memiliki cita-cita
Jika anak dibesarkan dalam suasana saling memberi, ia akan belajar murah hati
Jika anak dibesarkan dalam kejujuran dan keadilan, ia akan belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dalam rasa aman, ia akan belajar mempercayai orang-orang sekitar
Jika anak dibesarkan dalam persahabatan, ia akan mengetahui bahwa hidup ini menyenangkan

Jika anak dibesarkan dalam ketentraman, ia akan belajar memiliki pikiran yang damai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...