Sore
yang tidak terlalu cerah. Masih ada sisa-sisa hujan berceceran di jalan. Aku
bersama seorang teman berjalan menyusuri lorong kecil, rencana hendak memenuhi
undangan kawan kami di Sokola Pesisir untuk nonton bersama film Sokola Rimba.
Kami melewati lorong sempit itu dengan sedikit tergesa-gesa, takutnya telat
memenuhi undangan. Sampai di ujung lorong, kami menoleh mencari tumpangan
angkot yang pas. Aku memilih menunggu angkot di pinggiran jalan, tempat
beberapa bentor (becak motor) sering parkir. Setelah mendapatkan tempat yang
nyaman, meski kaki belum sempat lurus benar, tiba-tiba seseorang tersenyum kepada
kami. Awalnya saya hanya membalas senyuman itu seperti biasa; ringan dan tanpa
basa-basi. Itulah kebiasaan kami saat berjalan kaki melewati lorong tersebut.
Kami selalu membalas senyum orang-orang, tepatnya anak-anak didik kami yang
bermukim di sana dan seringnya bermain dipinggiran jalan kala sore. Begitu pun
kepada para orang tua mereka yang sebagian berlalu lalang sepulang bekerja saat
sore.
Ternyata, tidak hanya senyuman.
Tanpa menunggu waktu lama, perempuan yang tersenyum itu menyuguhkan minuman
gelas untuk kami. Dia mengambilnya, dari kotak minuman jualannya. Perempuan itu
adalah ibu dari salah seorang murid kami di Kelompok Bermain Cakrawala (KBC).
Kebiasaannya memang seperti itu, setiap kali kami melewati lapak kecilnya, dia
selalu memanggil kami untuk singgah dan mencicipi dagangannya yang tak
seberapa. Tetapi sore itu, saya tidak bisa menghindar lagi, sebab tanpa sadar
ternyata kami telah berdiri rapi tepat di depan lapaknya. Dan dengan senyum
yang sumringah dia menyodorkan minuman itu. Ini sebenarnya bukan persoalan
minumannya, melainkan sontak terbersit dalam hatiku jika mengambilnya,
perempuan tersebut pasti akan rugi sebab kutahu untung dangangannya tidak
seberapa sementara dia harus membiayai hidup anaknya yang banyak. Tetapi, aku
juga tidak ingin merusak niatnya berbuat baik, dan ketulusan hatinya. Di atas
angkot, aku hanya bisa membanyangkan perempuan itu sebelum dia mengenal kami.
Hidupnya yang pas-pasan menuntut dia
sekeluarga untuk menghabiskan waktunya mencari nafkah di jalan raya. Makluk
saja, karena dia adalah seorang mantan penderita kusta yang tidak memiliki
keterampilan apa-apa. Pilihan satu-satunya saat itu adalah mengemis di jalanan,
atau berkeliling kompleks mengetuk pintu orang berpunya untuk meminta beras
guna menyambung hidup. Lalu, aku mengenalnya beberapa bulan kemudian saat
bergabung di Sekolah Rakyat Cakrawala. Salah satu anaknya bersekolah di sana,
namanya Balanda. Awalnya, anak ini sering membolos karena ikut orang tuanya
mencari uang. Namun lama-kelamaan, Balanda hampir tak pernah bolos lagi. Bahkan
jika sakit, ibunya selalu datang memberi kabar. Sejak dia bersekolah, ibunya
banyak berubah. Dia tidak lagi meminta-minta di jalan, melainkan memilih
berjualan barang campuran di pinggiran jalan, dekat sebuah pertokoan. Dia yang
dulunya sering diberi, kini mulai belajar berbagi. Usahanya memang terbilang
kecil, namun itulah yang membuatnya berjiwa besar. Entah apa yang alasan
perubahannya, sebab yang kami lakukan di sekolah hanyalah memberikan motivasi
kecil setiap kali ada Pertemuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG). Pun pada
anaknya, awalnya Balanda adalaha salah satu trouble
maker di sekolah, tetapi akhirnya kami dapati sosok lain di dirinya. Dia
adalah anak yang sangat pandai bergaul dengan anak kecil, bahkan sangat sayang
pada mereka. Dia juga, lucu dan seringkali nyeletuk dengan ucapan-ucapan khas
Makassar yang membuat kami terbahak-bahak. Setiap pagi, Balanda juga sangat
rajin mengaji, bahkan ketika gilirannya belum tiba. Anak yang luar biasa, lalu
menjadi contoh yang luar biasa pula untuk ibunya.
Setiap kali kami bepergian atau
mengadakan kunjungan, Balanda menjadi bahan perbincangan. Selain sifat dan gaya
bicaranya yang unik, serta matanya yang sipit meski sama sekali tidak bertalian
dengan bangsa Cina, namanya juga cukup unik. Semua orang jika dengar namanya
pasti akan bertanya, mengapa? Tetapi itulah dia, namanya tetap Balanda, bukan
Belanda. Dan beruntung tidak diberi nama Belanda karena jangan sampai nama itu
menjadi doa baginya. Bukankah Belanda, adalah negara begis yang pernah merampas
kemerdekaan kita. Tetapi, Balanda berbeda, dia anak baik hati yang senantiasa
menebarkan kasih sayang bagi orang-orang di sekelilingnya, khususnya
keluarganya.
Dari peristiwa sore itu, saya
tersenyum tak habis-habisnya di atas angkot. Saya juga banyak mengulang
romantisme bersama Si Balanda dengan seorang teman mengajarku di sepanjang
perjalanan. Kami lalu tersenyum bersama-sama. Sore yang gerimis, tetapi hatinya
bersinar terang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar