Rabu, 27 Januari 2016

Aku Balanda, Bukan Belanda

Sore yang tidak terlalu cerah. Masih ada sisa-sisa hujan berceceran di jalan. Aku bersama seorang teman berjalan menyusuri lorong kecil, rencana hendak memenuhi undangan kawan kami di Sokola Pesisir untuk nonton bersama film Sokola Rimba. Kami melewati lorong sempit itu dengan sedikit tergesa-gesa, takutnya telat memenuhi undangan. Sampai di ujung lorong, kami menoleh mencari tumpangan angkot yang pas. Aku memilih menunggu angkot di pinggiran jalan, tempat beberapa bentor (becak motor) sering parkir. Setelah mendapatkan tempat yang nyaman, meski kaki belum sempat lurus benar, tiba-tiba seseorang tersenyum kepada kami. Awalnya saya hanya membalas senyuman itu seperti biasa; ringan dan tanpa basa-basi. Itulah kebiasaan kami saat berjalan kaki melewati lorong tersebut. Kami selalu membalas senyum orang-orang, tepatnya anak-anak didik kami yang bermukim di sana dan seringnya bermain dipinggiran jalan kala sore. Begitu pun kepada para orang tua mereka yang sebagian berlalu lalang sepulang bekerja saat sore.

            Ternyata, tidak hanya senyuman. Tanpa menunggu waktu lama, perempuan yang tersenyum itu menyuguhkan minuman gelas untuk kami. Dia mengambilnya, dari kotak minuman jualannya. Perempuan itu adalah ibu dari salah seorang murid kami di Kelompok Bermain Cakrawala (KBC). Kebiasaannya memang seperti itu, setiap kali kami melewati lapak kecilnya, dia selalu memanggil kami untuk singgah dan mencicipi dagangannya yang tak seberapa. Tetapi sore itu, saya tidak bisa menghindar lagi, sebab tanpa sadar ternyata kami telah berdiri rapi tepat di depan lapaknya. Dan dengan senyum yang sumringah dia menyodorkan minuman itu. Ini sebenarnya bukan persoalan minumannya, melainkan sontak terbersit dalam hatiku jika mengambilnya, perempuan tersebut pasti akan rugi sebab kutahu untung dangangannya tidak seberapa sementara dia harus membiayai hidup anaknya yang banyak. Tetapi, aku juga tidak ingin merusak niatnya berbuat baik, dan ketulusan hatinya. Di atas angkot, aku hanya bisa membanyangkan perempuan itu sebelum dia mengenal kami.
            Hidupnya yang pas-pasan menuntut dia sekeluarga untuk menghabiskan waktunya mencari nafkah di jalan raya. Makluk saja, karena dia adalah seorang mantan penderita kusta yang tidak memiliki keterampilan apa-apa. Pilihan satu-satunya saat itu adalah mengemis di jalanan, atau berkeliling kompleks mengetuk pintu orang berpunya untuk meminta beras guna menyambung hidup. Lalu, aku mengenalnya beberapa bulan kemudian saat bergabung di Sekolah Rakyat Cakrawala. Salah satu anaknya bersekolah di sana, namanya Balanda. Awalnya, anak ini sering membolos karena ikut orang tuanya mencari uang. Namun lama-kelamaan, Balanda hampir tak pernah bolos lagi. Bahkan jika sakit, ibunya selalu datang memberi kabar. Sejak dia bersekolah, ibunya banyak berubah. Dia tidak lagi meminta-minta di jalan, melainkan memilih berjualan barang campuran di pinggiran jalan, dekat sebuah pertokoan. Dia yang dulunya sering diberi, kini mulai belajar berbagi. Usahanya memang terbilang kecil, namun itulah yang membuatnya berjiwa besar. Entah apa yang alasan perubahannya, sebab yang kami lakukan di sekolah hanyalah memberikan motivasi kecil setiap kali ada Pertemuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG). Pun pada anaknya, awalnya Balanda adalaha salah satu trouble maker di sekolah, tetapi akhirnya kami dapati sosok lain di dirinya. Dia adalah anak yang sangat pandai bergaul dengan anak kecil, bahkan sangat sayang pada mereka. Dia juga, lucu dan seringkali nyeletuk dengan ucapan-ucapan khas Makassar yang membuat kami terbahak-bahak. Setiap pagi, Balanda juga sangat rajin mengaji, bahkan ketika gilirannya belum tiba. Anak yang luar biasa, lalu menjadi contoh yang luar biasa pula untuk ibunya.
            Setiap kali kami bepergian atau mengadakan kunjungan, Balanda menjadi bahan perbincangan. Selain sifat dan gaya bicaranya yang unik, serta matanya yang sipit meski sama sekali tidak bertalian dengan bangsa Cina, namanya juga cukup unik. Semua orang jika dengar namanya pasti akan bertanya, mengapa? Tetapi itulah dia, namanya tetap Balanda, bukan Belanda. Dan beruntung tidak diberi nama Belanda karena jangan sampai nama itu menjadi doa baginya. Bukankah Belanda, adalah negara begis yang pernah merampas kemerdekaan kita. Tetapi, Balanda berbeda, dia anak baik hati yang senantiasa menebarkan kasih sayang bagi orang-orang di sekelilingnya, khususnya keluarganya.

            Dari peristiwa sore itu, saya tersenyum tak habis-habisnya di atas angkot. Saya juga banyak mengulang romantisme bersama Si Balanda dengan seorang teman mengajarku di sepanjang perjalanan. Kami lalu tersenyum bersama-sama. Sore yang gerimis, tetapi hatinya bersinar terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...