Di luar terus hujan, meski tidak sederas pagi tadi. Dia
menyaksikan titik-titik air berjatuhan di balik jendela. Sebelum menggapai
tanah, sebagian terperangkap di atas dedaunan yang sedari tadi diguyurnya, lalu
jatuh pelan-pelan di sela-sela batang, ke tanah, meresap, lalu kembali pada
daun memalui akar. Diperhatikannya separuh lagi, terbentur di ujung rerumputan
sehingga memecah kristal-kristal air lalu berbaur dengan lumpur meluruhkan
bening yang melingkupinya. Dia menyukai pemandangan ini. Pada gemericik air yang
memenuhi genderang telinga, seakan-akan mengirim ritme pada alam bawah sadar. “Aku
rindu hamparan padi yang meliuk-liuk bersama hujan.”
***
Dia berlarian bersama dua orang anak lainnya mengejar
ikan-ikan kecil yang akhirnya tersudut di ujung pematang sawah. “Satu… Dua…
Tiga………” Setengah berbisik, dia memberikan aba-aba kepada dua orang kawannya
untuk segera menjaring ikan-ikan kecil tersebut dengan jaring sederhana yang
mereka buat dari perca kain tipis dengan kedua ujungnya dijepit bambu.
“Berhasil….. kita mendapatkannya.” Teriak mereka, kompak. Selanjutnya mereka
pulang dengan sebuah toples plastik berisi ikan-ikan kecil hasil tangkapannya.
Tentunya, ikan-ikan tersebut bukan untuk disantap, melainkan untuk dipelihara
atau sekedar dimainkan.