Senin, 17 Oktober 2016

Menakar Feminisme (Catatan Retak “Feminisme untuk Pemula”)

Datang kembali ke saya, Gongyla, di sini malam ini,
Anda, mawar saya, dengan kecapi Lydian Anda. 
Ada melayang selamanya di sekitar Anda menyenangkan:
Sebuah keindahan yang diinginkan….
                    
Tahukah siapa pemilik puisi di atas? Sappho, nama yang asing dan nyaris terlupakan dalam dunia kepenyairan. Plato memasukkan wanita kelahiran Yunani Kuno ini ke dalam sepuluh penyair terbesar dunia. Lantas apa yang hebat dari dirinya? Yaitu, dia berani memilih jalan kepenulisan, saat kaumnya tidak peduli dengan persoalan tersebut, dan saat Cleopatra lebih fokus memugar kecantikannya, Sappho menajamkan penanya, lalu menerbitkan karyanya. Dalam buku “Feminisme untuk Pemula” milik Marisa Rueda dan kawan-kawan, Sappho dituliskan sebagai contoh perempuan hebat yang pernah hidup, dan buah pikirnya tanpa diskriminasi.

Selasa, 06 September 2016

Korelasi Cinta Dan Pernikahan (Belajar dari Buku Merriage With Heart)

What Is Love

Suatu hari Plato bertanya kepada gurunya, Socrates tentang makna cinta? Socrates menjawab, “Pergilah ke ladang, petik dan bawalah setangkai gandum yang paling besar dan paling baik. Tetapi ingat satu hal, kamu hanya boleh berjalan satu arah. Setelah kamu lewati, kamu tidak boleh kembali dan kesempatanmu hanya sekali.” Lalu Plato melakukannya. Tetapi dia kembali dengan tangan kosong. Melihat ini, Socrates bertanya, “Mengapa engkau kembali dengan tangan kosong?” Plato menjawab, “Aku melihat beberapa gandum yang besar dan baik saat melewati ladang, tetapi aku berpikir mungkin ada yang lebih besar dan lebih baik dari yang ini, jadi aku melewatinya saja. Namun ternyata aku tidak menemukan yang lebih baik dari yang aku temui di awal, akhirnya aku tidak membawa satu pun.” Socrates lalu menimpali, “Itulah Cinta!”

Selasa, 07 Juni 2016

ADA KAU DALAM SEBUAH KOL

Menyiapkan hidangan buka puasa di bulan Ramadhan, merupakan hal mengasyikkan yang lain. Saya memilih sebuah kol sebagai bahan utama hidangan. Mengiris-ngirisnya, membuat ingatan juga teriris. Tetiba teringat hampir setiap bulan Ramadhan, stok sayur jenis ini melimpah di rumah. Tentunya itu adalah kiriman seorang tante (tetapi kami memangilnya Ibu) dari kampung. Dia memang adalah seorang pedagang sayur-matur yang tergolong berhasil. Saya malah sering kewalahan menghabiskan kiriman sayur-mayur beliau, dan ujungnya mengasap di dapur tetangga. Begitulah, beliau sengaja melebihkan. Katanya agar saya membagi-bagikannya juga ke kerabat lain, dan tetangga.

Rabu, 20 April 2016

Mengintip Emansipasi Baca Tulis Ala Kartini

Tiada yang salah dengan perpedaan dan segala yang kita punya.
Yang salah adalah sudut pandang kita,
Yang membuat kita terpisah.

Bagaimana  Kartini Mengawalinya?

Kutipan di atas mencoba meluruskan pikiran-pikiran miring selama ini yang selalu saja memperhadap-hadapkan posisi perempuan dan laki-laki. Bahwa perbedaan yang ada, entah itu karena alasan nurture (gender) ataukah nature (biologis) bukanlah menjadi penghalang bagi laki-laki dan perempuan untuk bermitra. Setiap kita memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan aktivitas apapun dalam proses pencerahan dan kecemerlangan pikiran. Inilah yang membuat Raden Ajeng Kartini termotivasi untuk melakukan perubahan di kalangan perempuan yang pada saat itu yang sama sekali tidak memikirkan diri dan partisipasinya dalam transformasi sosial (emansipasi). Dalam perjalanannya, terlihat bahwa Kartini tidak pernah menafikan keterlibatan laki-laki sebagai teman seperjuangannya. Ini terbukti pada potongan tulisan dalam bukunya yang terkenal, Habis Gelap Terbitlah Terang, “Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri”.

Senin, 21 Maret 2016

Lara Wirang dan Sebuah Lolipop

Sejak kecil, aku telah menghabiskan hari-hari di sebuah rumah tidak berlampu. Di sana semua gelap, meski rumah itu berjendela banyak dan berdaun pintu dua. Cahaya bisa saja masuk lewat jendela dan daun pintu, tetapi bagiku terang tidak berfungsi apa-apa. Kegelapan seakan telah menyatu pada diriku.

Hatiku juga gelap. Tidak pernah ada satu pun cinta yang meneranginya, lantaran memang tidak ingin kubuka untuk siapa pun. Aku tidak bisa menjanjikan banyak tentang hal ini, sebab aku tidak pernah mempelajarinya. Biasanya, aku hanya mendengar cerita-cerita orang, bahwa cinta itu seperti mengisap sebuah lolipop. Rasanya manis dan berwarna-warni. Seindah itukah cinta? Aku ragu.

Menulis, Puisi, dan Air Mata Darah

Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang. Kalimat ini pernah ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.  Seno memasuki ruang sadar manusia, bahwa menulis bukan hanya menyampirkan huruf-huruf menjalin kata, lalu kalimat. Tetapi lebih dari itu, menulis seumpama menata sebuah taman bunga seindah mungkin, agar yang melihatnya bahagia, meski entah siapa.

Berkarya dari menulis, efeknya mengarah langsung kejiwa yang merupakan tempat makna paling berkesan diabadikan. Olehnya itu, menulis, utamanya menulis karya sastra semisal puisi membutuhkan pembacaan dan perenungan sempurna pada hal-hal yang meruang, pun inmateri.

Senin, 08 Februari 2016

Saya Masih Anak Sekolah

Membaca judulnya saja, kuat keyakinan saya bahwa pembaca akan tergiring pada lagu “Anak Sekolah” milik Crisye. Meski bukan itu yang saya maksud, tetapi jika alasan mengleha-lehakan pikiran, silahkan saja. Tulisan ini, merujuk pada sebuah foto yang tampil di beranda facebook (FB) saya dini hari tadi. Foto yang terunggah lima tahun lalu, sebagai pembuktian bahwa saya selalu menjadi pembelajar. Dalam foto itu, saya terlihat sedang asyik memandu dua orang anak merunut abjad-abjad yang samar dikenalinya. Tetapi saya tidak ingin terburu-buru menyebut diri saya guru, meski dalam foto tersebut pada nama saya dilekatkan itu. Saya lebih senang dipanggil pelajar saja, makanya pada kartu tanda penduduk (KTP) saya sampai sekarang tetap pekerjaan saya terisi pelajar/ mahasiswa.
Alasannya sederhana, bahwa seorang guru adalah tempat bertumpuknya semua pengetahuan yang membutuhkan murid sebagai wadah peluapannya. Bukan sekadar menampung luapan saja, melainkan guru dan murid lalu mengolah lagi menjadi souvenir inovatif yang bernilai. Sementara saya tidak memiliki kapasistas demikian, sebab dalam batok kepala saya, berkumim banyak praduga-praduga benar salah yang terus didaur ulang dari buku-buku dan perilaku anak-anak setiap harinya. Semisal, teori yang saya tahu bahwa anak-anak yang pemarah tidak suka jika ditegur dengan nada keras, dan saya pun bersikap lemah lembut pada mereka. Walhasil, bukannya anak-anak tersebut tersentuh hatinya, malahan melonjak dan suka mengolok-ngolok, dan sering kali saya pun jadi sasaran olokan juga. Dari sinilah saya belajar bahwa tidak semua anak-anak pemarah bisa didekati dengan hati, tetapi selalu ada jalan lain menjagal marahnya, dan jalan itu tiba-tiba saja membentang saat masalah meruncing.

Kamis, 04 Februari 2016

Dee dan Secangkir Kopi Perjuangan

“Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak dapat kamu sembunyikan.” Demikianlah fatwa Dewi Lestari (Dee) dalam  buku kumpulan prosa Filosofi Kopi. Meski saya tidak yakin bahwa dia sepenuhnya adalah penikmat kopi. Perihal tumbuhan pendek berbiji wangi ini mendapat sanjungan pecintanya, sudah menjadi opini umum. Itu wajar, sebab tanaman impor dari benua Afrika tersebut memang mampu mengendalikan rasa di tenggorokan dan di hati. Apatah lagi, jika dijerang dengan kualitas panas air yang pas, maka aromanya akan menyeruak kemana-mana.

Pantas saya, jika Dee memberi apresiasi besar terhadap kopi dalam tulisannya. Lantas, mengapa kopi? Saya sengaja mengangkat kopi sebab beberapa tahun belakangan, kehidupan saya senantiasa berdekapan dengannya. Cerita kedekatan saya dengan minuman pekat ini berawal pada kebiasaan mengusir ngantuk saat dikepung tugas kuliah yang bejibun. Padahal dahulunya, saya takut dengan kopi, sampai-sampai jika mencium aromanya saya sontak lari dan menutup hidung; mual. Apalagi jika kopi ini sudah dijerang dalam ceret, lalu baunya menghambur kemana-mana, saya sungguh tidak suka. Berbeda halnya dengan teh. Waktu itu, saya belum terlalu familiar dengan teh celup. Saya lebih sering melihat ibu, menapis ampas teh sendiri dan aroma teh yang menyusupi celah-celah saringan teh sungguh menggoda. Saya suka minuman ini. Tetapi itu dulu, sewaktu saya masih sering membandingkan indahnya warna coklat mudah transparan teh dalam gelas, daripada kopi hitam pekat. Bacaanku saat itu masih seputar komik Candy Candy milik Kyoko Mizuki yang mengisahkan lika-liku perjuangan hidup dan cinta seorang gadis kecil bernama Candy yang bermukim di sebuah panti asuhan sejak usia 6 tahun. Karena kisah ini berakhir bahagia, maka selalu saya sandingkan komik-komiknya dengan segelas teh manis hangat nan coklat transparan.

Rabu, 03 Februari 2016

Fashion dan Runaway ala Giddens

Mampir ke sebuah kedai makanan, pandanganku tidak fokus pada menu makanan di hadapan, melainkan lebih pada sebuah meja yang tidak begitu jauh dari tempat dudukku. Di sana, tiga pasang muda-mudi duduk berhadap-hadapan, seraya bercerita banyak hal. Yang sempat kudengar, salah satu dari mereka menawarkan model pakaian terbaru yang langsung mendaulat dirinya sendiri sebagai model, dan dengan sigap wanita muda itu berpose di depan teman-teman duduknya. Mereka bersorak-sorak, bak menyemangati temannya yang berpose. Sore itu, kedai makanan riuh oleh mereka. Karena, satu persatu yang lain mencoba barang yang ditawarkan. Lalu hiteris, “sukaaa….”.  Aku terkesiap, cantik memang. Tetapi pikiranku ternganggu saat aku sempat menguping pembicaraan mereka terkait harga dan asal pakaian itu. Fantastis, anak-anak muda itu tidak tanggung-tanggung menghabiskan uang, demi pakaian yang menurut hemat saya, biasa-biasa saja.

Dari sinilah, tiba-tiba saja Anthony Giddens, Sang Sosiolog berkebangsaan Inggris mendekap pikiranku. Bahwa, meski modernisasi membuka sebuah peluang menuju masyarakat madani, tetapi sewaktu-waktu dia juga dapat bertindak sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal. Modernisasi yang dilakonkan oleh masyarakat post tradisional dianggap oleh Giddens lebih berpikiran rasional dan maju. Dan inilah yang dijadikan jembatan oleh orang-orang modern untuk mewujudkan kualitas madani dalam masyarakat. Namun tidak sampai disitu, sebab Giddens juga mewanti-wanti bahwa masyarakat modern yang dianggapnya rasional, memiliki kecenderungan besar berorientasi pada modal dan keuntungan tanpa memedulikan kelestarian nilai dan tradisi lokal.
 

Selasa, 02 Februari 2016

Belajar Altruis dari Si Leafie

"Dedaunan adalah ibu dari para bunga. Bernapas sambil bertahan hidup walau dihempas angin. Menyimpan cahaya matahari dan membesarkan bunga putih yang menyilaukan mata. Jika bukan karena dedaunan, pohon pasti tidak dapat hidup. Dedaunan benar-benar hebat…."(hlm. 85).

Dialah Leafie, nama yang diambilnya dari dedaunan pohon Akasia. Mengapa Leafie (leaf)? Sebab daun adalah sebuah media ajaib yang menyerap kekuatan kosmik untuk keberlangusngan hidup pepohonan, dan bertumbuhnya bebuangaan. Dan Leafie, memiliki kisah hidup demikian. Sebagaimana daun yang masa mudanya dihabiskan  membantu proses fotosintesis, maka Leafie pun menjagal masa mudanya dalam sebuah peternakan dengan terus menerus bertelur untuk majikannya.

Masih seperti daun, jika sudah menguning maka dia akan segera gugur, demikian pula Leafie. Saat dirinya sudah tidak dibutuhkan lagi sebab kemampuannya bertelur tergerus, dia pun terbuang. Beruntung, dia tidak berakhir dalam lubang penuh bangkai semisal daun kering yang berakhir di pembakaran sampah. Leafie masih diberi kesempatan untuk mencoba kehidupan keduanya dengan bantuan Seekor Bebek Pengelana.

Senin, 01 Februari 2016

Feminisme dan Budaya Siri’ Na Pacce

Istilah feminisme ini pertama kali dipopuliskan oleh Charles Fourier (salah satu aktivis sosialis utopis). Feminisme adalah gagasan kaum positivistik-empirik yang mencoba memilah-milah antara realitas dan pemikiran. Mengapa demikian? Karena feminisme sama sekali tidak memiliki ideologi gerakan yang jelas. Sehingga sampai sekarang banyak yang coba meraba-raba definisi feminisme berdasarkan motif kepentingannya.  Feminisme bagi kaum liberal adalah gerakan perempuan menuntut kebebasan dan kesetaraan rasionalitas, feminisme oleh golongan sosialis adalah gerakan perempuan menuntut persamaan hak dalam bidang ekonomi, kaum agamawan menerjemahkan feminisme sebagai gerakan perempuan menentang ayat-ayat yang dianggap  misoginis. Bagi para filosof, feminisme adalah aktualisasi sisi-sisi feminitas perempuan. Namun apapun definisinya, feminisme selalu saja terperangkap pada tiga asumsi bahwa, ada ketidakadilan gender, gender bukan sebagai sifat kodrati, dan memperjuangkan persamaan hak.

Jumat, 29 Januari 2016

Rinduku dan Bulir-Bulir Padi

Di luar terus hujan, meski tidak sederas pagi tadi. Dia menyaksikan titik-titik air berjatuhan di balik jendela. Sebelum menggapai tanah, sebagian terperangkap di atas dedaunan yang sedari tadi diguyurnya, lalu jatuh pelan-pelan di sela-sela batang, ke tanah, meresap, lalu kembali pada daun memalui akar. Diperhatikannya separuh lagi, terbentur di ujung rerumputan sehingga memecah kristal-kristal air lalu berbaur dengan lumpur meluruhkan bening yang melingkupinya. Dia menyukai pemandangan ini. Pada gemericik air yang memenuhi genderang telinga, seakan-akan mengirim ritme pada alam bawah sadar. “Aku rindu hamparan padi yang meliuk-liuk bersama hujan.”

                                                                        ***
Dia berlarian bersama dua orang anak lainnya mengejar ikan-ikan kecil yang akhirnya tersudut di ujung pematang sawah. “Satu… Dua… Tiga………” Setengah berbisik, dia memberikan aba-aba kepada dua orang kawannya untuk segera menjaring ikan-ikan kecil tersebut dengan jaring sederhana yang mereka buat dari perca kain tipis dengan kedua ujungnya dijepit bambu. “Berhasil….. kita mendapatkannya.” Teriak mereka, kompak. Selanjutnya mereka pulang dengan sebuah toples plastik berisi ikan-ikan kecil hasil tangkapannya. Tentunya, ikan-ikan tersebut bukan untuk disantap, melainkan untuk dipelihara atau sekedar dimainkan.

Bermain Bongkar Pasang

Dua hari yang lalu, blogku tidak bisa terbuka. Itu artinya aku tidak bisa lagi mengutak-atiknya dan meng-update tulisan. Aku kehilangan ruang berkata-kata. Apapun yang ada kini dalam blog itu, kini, hanya sebatas kulihat dan kubaca di beranda saja, dia telah lepas dari kendaliku, dan dia layaknya situs-situs atau blog-blog yang lain; hanya bisa kupandangi, kubaca-baca, atau ku copy isinya jika perlu.

Lepas kendali dari blog sendiri, sama rasanya dahulu ketika aku masih seusia anak SD. Hobiku saat itu adalah main “bongkar pasang”. Sebuah mainan anak kecil bermodalkan orang-orangan dari kertas yang dibeli satu set dengan baju-baju, serta aksesoris lainnya. Memainkan mainan tersebut, sebagaimana orang berteatrikal. Aku yang membuat desain rumahnya, dialog dan alur ceritanya. Tanpa sadar, permainan itulah yang menggiringku diam-diam menulis puisi, cerita, dan essai ringan yang akhirnya sering nangkring di MADING sekolah sewaktu aku SMP dan SMA.

Bermain “bongkar pasang”, semisal mengelolah blog, dan itu baru kusadari. Sebab, jika membuat blog, harus kunikmati berbagai pengaturan-pengaturan yang tersedia di dasbor, agar blog tampak menarik, senada dengan bermain “bongkar pasang”. Mengapa dinamai demikian? Karena permainan ini dimainkan, diatur, dihidupkan dengan dialog dan alur cerita sesuka pemainnya (kita). Setelahnya itu, seperangkat mainan tersebut dibongkar, disimpan kembali dalam kardus kecil, sebagaimana aku menyimpannya. Atau di kantong plastik seperti teman-temanku.

Rabu, 27 Januari 2016

Senja yang Bersahaja

Seperti yang kusaksikan kemarin, hari ini kudapati lagi dirinya duduk di teras rumah bersama segelas kopi hitam kesukaannya. Mungkin inilah kebiasaan menyiasati senja agar tak berlalu begitu saja. Telah hampir seminggu aku mengamati, jika melintas di depannya. Aku tertarik pada dirinya sejak diriku pindah, bermukim tepat di samping rumahnya. Bahkan, rumah yang baru kubeli itu, hanya dipisahkan oleh pagar bambu yang tingginya sekitar 60 cm. Jika kupandang, meski sejenak, kutemukan telaga dengan rerumputan hijau di matanya. Airnya bening, nyaris tanpa riak. Pun pada geraknya yang mengalun, seumpama gadis-gadis Pakkarena meriuh nada genderang. Dia seorang lelaki teduh, mungkin seusia ayahku.

Kerudung Violet Maryam

20 Agustus 2005

Sepertinya aku ingin mengajak Tuhanku, agar
kami berkata kepada adikku :
kabur terlalu samar
engkau terkasih
menepi sudah aku, dari kejauhan datangku
sembunyi sunyi
kau yang ku pilih
meski sudah aku jelang, waktu yang terjauh
kemarilah dari kerinduan
jangan simpan pucatnya matamu
kelak kugenggam tanganmu langkahi ragu
kesepian kita bersama
adalah debar janji
mengisi sunyi hidup ini

            Seringkali aku mengucapkan syair ini saat kulihat mendung selimuti wajahmu. Demikian halnya jika engkau berkeluh kesah tentang hari-harimu di kampus,  atau jika ada yang menggoda dan mengerjaimu. Namun saat ini syair itu tak dapat lagi kusenandungkan untukmu, sebab kabut terlalu tebal menutupi malam. Padahal di sana kudengar rintihanmu semakin menyayat. Tetapi apa yang bisa kulakukan selain mengutuk Tuhan yang telah salah mencipta takdir. Aku terlanjur terperangkap pada kepongahan dinding-dinding terjal dan kokohnya terali-terali besi.

Gadis yang Dirinduinya

Langit begitu cerah, tetapi kau mengatakan padaku tidak menemukan gadismu.

“Aku merindukan  gadisku yang dulu,” begitulah engkau membahasakan kerinduanmu padanya setiap kali kita berjumpa. Pun pada sore ini. Kau mengajakku bertemu di sebuah danau yang tidak jauh dari kediamanmu. Yah, bagimu, tempat itu menyimpan beribu romansa kau dan dia. Gadis yang selalu kau rindui. Katamu, kau memuja matanya yang teduh, menyukai geraknya yang lincah namun tetap bersahaja. Engkau menyukai caranya berjalan, caranya berbusana, singkatnya, kau menyukai segala hal yang ada pada dirinya. Aku sampai begitu penasaran, bagaimana sosok gadis itu.

I'm Sorry

Pagi, kegaduhan terdengar di ruang belajar. Tak lama kemudian, terdengar suara tangis, "Ibuuuu.... menangiski, Fa!" Teriak beberapa anak sembari menghampiri kami yang beraktivitas lain di ruang kantor. Sayangnya, pagi ini kami kurang peka (harus kami akui), sehingga laporan anak-anak terabaikan. Dan mereka memilih berhamburan ke luar.

Who Are You?!

William Stanley Miligan (Billy), nama yang tak asing bukan? Yah, dia adalah orang pertama Amerika yang bebas dari tuntutan segala kejahatannya karena memiliki kepribadian ganda. Kisah nyata inilah yang dimemorikan Daniel Keyes dalam buku "24 Wajah Billy". Ketajaman bercerita Si penulis saat mengangkat setiap karakter dalam diri Billy, membuat adrenalin pembaca novel lawas ini meliuk-liuk. Semisal Arthur yang pandai, Regen Si kuat dan pelindung, Allen Sang pembicara, Tommy Si pandai elektronika, dan sebagainya. Tokoh-tokoh dalam diri Billy silih berganti bermunculan yang membuat kacau dunianya. Beruntung, hadir Sang guru di akhir cerita yang mendamaikan kekacauan itu. Dan Daniel, sukses menjadi pencerita handal. 

Aku Balanda, Bukan Belanda

Sore yang tidak terlalu cerah. Masih ada sisa-sisa hujan berceceran di jalan. Aku bersama seorang teman berjalan menyusuri lorong kecil, rencana hendak memenuhi undangan kawan kami di Sokola Pesisir untuk nonton bersama film Sokola Rimba. Kami melewati lorong sempit itu dengan sedikit tergesa-gesa, takutnya telat memenuhi undangan. Sampai di ujung lorong, kami menoleh mencari tumpangan angkot yang pas. Aku memilih menunggu angkot di pinggiran jalan, tempat beberapa bentor (becak motor) sering parkir. Setelah mendapatkan tempat yang nyaman, meski kaki belum sempat lurus benar, tiba-tiba seseorang tersenyum kepada kami. Awalnya saya hanya membalas senyuman itu seperti biasa; ringan dan tanpa basa-basi. Itulah kebiasaan kami saat berjalan kaki melewati lorong tersebut. Kami selalu membalas senyum orang-orang, tepatnya anak-anak didik kami yang bermukim di sana dan seringnya bermain dipinggiran jalan kala sore. Begitu pun kepada para orang tua mereka yang sebagian berlalu lalang sepulang bekerja saat sore.

Ampibian Son

Pagi, sepulang beraktivitas dengan mata yang sedikit bengkak akibat begadang semalaman, aku jalan sempoyongan. Seolah menghitung setiap senti langkah, berharap cepat sampai lalu bersua dengan tempat tidur. Namun di tengah perjalanan, seorang anak memanggil dari kejahuan. Ternyata sedari tadi dia memerhatikanku, bahkan kami sempat berpapasan. Tetapi karena konsentrasiku sedang buruk, aku sama sekali tidak tahu, sampai dia yang memanggil setengah teriak, “Ibuuuuuuu……”. Dia menghampiriku, menjabat dan mencium punggung tanganku. Masih dalam kondisi linglung, aku membagi senyum padanya. Pikirku, setelah ini dia akan berlalu, tetapi ternyata tidak. Beberapa menit kemudian, dia malah menggandeng tanganku, dan berjalan di sampingku. Terus mengikuti hingga pada sebuah belokan menuju kostku. “Bu, dari manaki? Tanyanya. Kujawab seadanya, “dari rumah teman.” Lalu lanjutnya, “lamata libur, Bu. Kapan sekolah?”. “Besok….” Kataku. Pertanyaannya terus berlanjut, tetapi selalu kujawab sekedarnya karena staminaku benar-benar hampir terkuras. Pun pada genggamannya, yang semakin kuat, seakan-akan ingin mengalirkan satu kerinduan yang telah lama tersumbat.

Hingga Ujung Waktu

Akhirnya aku menemukanmu
Saat ku bergelut dengan waktu
Beruntung aku menemukanmu
Jangan pemah berhenti memilikiku
Hingga ujung waktu


Pada suatu perjalanan pulang, tak henti-hentinya potongan lirik ini memenuhi satu ruang di hatiku.  Aku merasa, ada kekuatan tertentu yang ingin dibisikkan lagu ini padaku, yang menyusuri terik siang tadi. Kesadaranku merasa disentuh dengan sebuah kekuatan yang begitu syahdu tentang makna mensyukuri apa yang telah dimiliki. Dalam bentangan waktu yang terus berlari memotong hari-hari, terkadang kita lupa atau bahkan menapikan peran-peran orang yang berada di sekeliling kita. Khususnya, pada orang-orang yang sebenarnya sangat mencintai kita dengan setulus hati, namun ditanggapi dengan setengah hati. Tetapi bukan manusia namanya, jika tidak menuntut yang lebih dari pada apa yang telah dimiliki, katanya!

Bintang Spesial

Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are.
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky.
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are….!

 Lagu ini pertama kali kudengar saat duduk di kelas 2 SMP. Kebetulan saat itu seorang guru fisika menyuruh kami mengamati rasi bintang dan mencatatnya, sebulan penuh. Aku melewati malam-malamku menyaksikan, mencari konfigurasi bintang di beranda rumah, sambil bersenandung lagu ini sepotong-sepotong. Berharap, tugas sekolah cepat selesai dan aku dapat tertidur pulas sebagaimana mauku. Tetapi semakin lama kuamati, pijar rasi bintang semakin memantik perhatianku. Ternyata tugas ini sangat menarik, sebab semakin kumenengadah menatapnya, bintang-bintang itu seolah terus bertambah satu persatu. Semuanya berpijar dengan terang cahaya, dan caranya masing-masing. Pun dengan ukurannya yang berupa-rupa, pesonanya semakin memukau. Dan tampaklah padanya bahwa hidup pun demikian; serba-serbi, bercorak, berjejal, tetapi harus dijalani agar bercahaya.

Narasi Satu Senyuman

Narasi Satu Senyuman


Duka Di Sudut Jendela; Suatu Hari Pastinya

Ditangan kanak-kanak,
kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang.
menjelma burung,
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma kitab suci.

Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini. (Sapardi Djoko Damono)

Dia tidak pernah meminta lebih dari hidupnya sekarang. Dia tidak juga ingin memilih sebagaimana aral yang membentang luas di hadapannya. Apalagi berani menunggu satu hal di luar mampu dan sadarnya. Dia hanyalah seorang anak, layaknya dedaunan. Tidak pernah menggantungkan hidup pada aliran muara, apalagi akan terombang-ambing entah kemana. Pun bukan pusaran angin, yang sejenak namun meluluhlantakan bangunan-bangunan kesadaran orang-orang di sekelilingnya. Sekali lagi, dia masih kecil. Hanya butuh sepetak ruang, bermain tanpa setumpuk beban yang pelan menggunung.

PELANGI DI CAKRAWALA


Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau di langit yang biru
Pelukismu agung
Siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan tuhan                                                                                                                                                           
          Mari sejenak kita bawa lirik karya AT Mahmud ini di atas pada dunia anak-anak. Sebuah dunia dengan jejak warna-warni yang selalu melukis di kanvas pikirannya. Mereka hadir dengan”wajah” dan kecerdasan masing-masing yang tak boleh kita paksakan sewarna. Sebab jika itu terjadi, maka keindahannya akan luruh, jatuh satu persatu. Coba bayangkan jika pelangi itu hanya berwarna merah, atau hijau saja. Dapat dipastikan, lagu ini tidak  tercipta, dan tak satu orang pun akan mendongak ke langit, menatapnya berlama-lama sambil tersenyum mengagumi indahnya.

“Senyuman”

“The world always looks brighter from behind a children smile….”

Senyuman anak-anak selalu tampak luar biasa di mataku. Dan beruntung karena aku selalu mendapatkannya sepanjang hari di tiap hari-hariku. Senyuman itu di pandanganku, bagai mekaran bebungaan di pagi hari, indah. Juga seperti hembusan angin sepoi, sejuk dan membuatku selalu nyaman melihatnya. Ada keteduhan dirasai jiwa mendapati satu senyuman saja dari bibir anak-anak. Bagaikan bintang kejora yang berbagi sinar paling indah dan terangnya di pelupuk mata. Seperti pula kembang gula, selalu manis diliat dan disentuh pada ujung lidah.

Toleransi Ala Si Putri Malu

Masih ada sisa-sisa hujan menggantung di dedaunan, namun aku harus bergegas ke sekolah. Waktuku tersisa sepuluh menit lagi, agar tak terlambat. Sebab jika telat sedikit saja, beberapa orang muridku pasti akan datang mencari, berteriak-teriak memanggil, dan gaduhlah seluruh penghuni kost-kostan. Ini kebiasaan mereka yang sama sekali tidak pernah kuajarkan. Bahkan kularang sekali pun, mereka tetap akan melakukannya jika aku telat ke sekolah. Olehnya itu, sebisaku datang lebih dahulu dari mereka, agar “kegaduhan” terhindari.

Ayo Pulang, Lebaran Tanpa Tetapi!

Seminggu jelang lebaran, telepon terus berdering dari keluarga saya, pun keluarga suami bertanya tentang pulang. Lebaran tahun ini, se...